Pelepasan Remah 6

7:26:00 AM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 6

Kisah sebelumnya Klik disini


“Willy,” kata lelaki tambun itu renyah mengundang selera, memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan. Senyum cengegesan dan gaya slengean langsung menyedot perhatian Abell saat pertama kali bertemu.
“Abell,” balas Abell simpul, lalu menyambut uluran tangannya, merasakan kehangatan yang berkumpul disana dan kehangatan di matanya. Ia tersenyum saat mata mereka berpapasan. “Lama ya tadi nunggunya?”
“Ah, enggak.” Sahut Willy cepat dengan nada menyenangkan, “lagian tadi nyantai kok jalannya. Nak ge koe, sedino yo tak enteni Bell,”
Senyum kembali timbul di wajah Abell, “Halah, tenane?” ujar Abell sedikit kikuk.
Yoiyolah! Ngajak ketemuan koe we ndhadak nunggu ameh setahun we tak lakoni, mosok yo gur nunggu setengah jam we ra iso?”
“Sorry Will, mau ono urusan dadakan soale,”
Masalah cafemu?”
“He’em” jawab Abell sambil mengangguk.
Senyum terulas di wajah Willy, membuat Abell senantiasa ingin terus memandangnya, “Nggak masalah Bell,” jawabnya mantap, “rep ngopi? Koyone mantep nak angine semriwing ngene ngopi bareng,”
“Ide yang bagus!” jawab Abell antusias, “ayo lakndhang! Sikat!”
Berteman kopi dan pisang goreng, mengalirlah beragam topik pembicaraan antara mereka berdua. Bagai sahabat yang lama tak jumpa, mereka berkisah tentang banyak hal, lalu tertawa, tercengang, terbahak, bingung, tersenyum simpul saat ada hal yang tidak dimengerti, mengerinyit, hingga terpingkal karena banyak hal.
Ternyata Willy penuh kejutan, dan itu membuatnya semakin menarik bagi Abell.
Setelah cukup menyumpal perut, mereka lalu meninggalkan warung yang berjajar di bawah tulisan New Selo dan berjalan menyusuri track pendakian gunung Merapi. Satu persatu mereka mulai bercerita tentang diri masing-masing, seakan-akan menjalin hubungan intens melalui telefon dan media sosial setahun terakhir tak berarti apa-apa untuk mereka. Hanya ada warna coklat, hijau dan biru yang terhampar di track menuju puncak Merapi tersebut, tapi di dalam hati Abell beragam warna silih berganti untuk saling mengisi dan melengkapi.
Seiring jalan yang kian menanjak dan berdebu, Willy dan Abell kembali menurut kisah yang mereka ceritakan lewat pesan singkat atau telefon. Membenarkan apa yang salah, melengkapi apa yang kurang, menceritakan kembali kisah yang sudah genap mereka lakukan untuk mengalami kembali pengalaman yang ingin mereka rasakan berdua.
Setelah berjalan urang lebih empat atau lima kilometer dari New Selo, mereka memutuskan untuk istirahat sejenak di salah satu tebing. Berteduh di bawah pohon rindang berdaun lebat, mereka berdua duduk bersisian. Mendengarkan angin yang berderu sendu dan menggoyangkan dedaunan, atau sekedar menyapukan telapak tangan di atas rerumputan tempat tubuh mereka bersemayam.
Willy merebahkan tubuhnya diatas rerumputan dan Abell duduk tenang di sampingnya, sorot matanya menyusuri warna hijau dedaunan yang berbeda. Sekali-kali dia juga menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Berusaha meresapi aroma pegunungan yang terlampau memabukkan untuknya.
Wes sue yo ora nek gunung?” tanya Willy dengan wajah sumringah, memandang Abell dengan tatapan memabukkan.
Iyo,Will,” jawab Abell kalem, mengulas senyum sambil membuang pandang pada tebing di depan, “wes sue banget. Kaet aku diusir ko omah karo bapakku, terus aku mulai mbangun cafe karo Andi. Aku ra pernah dolan nek endi-endi, paling gur nonton nek bioskop thok. Akeh seng kudu diurusi siji setengah tahun wingi,”
Willy mengangguk pelan, “Tapi nyatane yo saiki cafemu rame terus ngono Bell, ra sia-sia tho siji setengah tahun ora mblayang,”
Asline ora gur siji setengah tahun thok Will gawe cafe kui. Nak diitung-itung yo arep limang tahun setengah,” Jelas Abell sambil membayang masa-masa awal perjuangannya dengan Andi, “soalnya kan aku sama Andi buat coffe both dulu di beberapa tempat, terus kedai susu kecil-kecilan baru akhirnya bisa buat cafe itu,”
“Keren koe Bell!” puji Willy tulus.
“Kamu juga keren kok, desain-desain kaos di distromu juga bagus-bagus. Tapi kayaknya segmented banget ya?”
“Iya, emang gitu kok. Lagi musimnya hardcore sama racing soalnya,”
“Nggak kepikiran buat teman lain?”
“Kamu punya ide apa emangnya?” tanya Willy antusias. Menatap lurus ke mata Abell, membuatnya tak nyaman.
“Sebenernya aku nunggu edisi yang beda aja dari distromu. Aku nggak terlalu suka dengan kaos-kaos bertuliskan kata-kata kasar apa bergambar nggak karuan tentang apapun, bagiku itu membosankan dan nggak keren lagi. Udah jenuhlah intinya. Mungkin iya kalau anak muda jaman sekarang kalau pakai kaos yang ada tulisannya ‘bajingan’ atau ‘kimcil’ atau apapun itu, menurut mereka keren. Tapi bagiku enggak. Bagiku itu konyol. Jaman udah berantakan gini, nggak ada kesantunan lagi, anak kecil bilang ‘asu’ ‘bajingan’ ‘tai’ kaya nggak ada beban lagi. Kata-kata itu penting lho Will, sanggat berpengaruh. Harusnya kamu buat kaos-kaos dengan lebih bijak Will,”
Butuh sekian detik untuk Willy menelan itu semua, tapi sekian detik berikutnya, ia merasa jika apa yang dikatakan Abell itu ada benarnya juga, “Tapikan mereka berkata-kata seperti itu bukan hanya karena tulisan-tulisan di kaosku Bell, lingkungan rumah sama pergaulan juga punya pengaruh yang besar lho,”
“Emang bener sih Will kalau lingkungan dan pergaulan menjadi faktor utama, tapi kalau kamu mau lihat lebih jernih kaos itu menjadi salah satu sarana di pergaulan dan lingkungan lho. Liat deh anak SMP atau SMA jaman sekarang, mereka semua itu kaya di cetak dengan gaya yang sama. Kaos yang seperti itu, baju yang kaya gitu, topi, tas, sepatu, semuanya hampir seragam,”
“Okey, terus kamu usul gimana?” tanya Willy serius.
“Ya ini cuma sekedar usul sih, kamu tolak ya nggak masalah, kamu terima ya alhamdulilah. Kalau aku sih usulnya begini Will, kamu buat kaos-kaos dengan desain sekeren biasanya tapi dengan muatan kata-kata positif. Contohnya ya kaya Dream, Believe and make it Happen, apa Tut Wuri Handayani, atau pepatah-pepatah zaman dulu. Bagiku itu lebih keren dan unik daripada kata-kata kotor atau pisuh-pisuhan yang nggak ada gunanya ama sekali. Gimana menurutmu?”
Willy menimbang-nimbang, “Lumayan sih idemu, keren. Nantilah coba aku obrolin sama anak-anak dulu. Kalau mereka setuju, kita babat idemu.”
“Okey,”
“Nanti jadi nginep disinikan?”
“Ya jadilah,” sahut Abell sumringah, “itung-itung liburan jugakan?. Ngapain sih ngeliatin melulu? Risih tahu nggak!” protes Abell, daritadi ia tak nyaman dengan sorot mata Willy yang mengamatinya.
“Kalau dilihat-lihat. Kamu lebih keren aslinya daripada di foto Bell, apalagi mata kamu,” ujar Willy santai. Membebaskan bungkus rokok dari tas selempangnya, menyelipkan sebatang rokok di bibir tipisnya, dan menyulutnya dengan korek bercorak bendera jerman, “ngrokok?” tawarnya dengan ekspresi lucu. Membuat Abell kembali tersipu dan mengambil sebatang lalu menyulutnya.
“Halah, bisa aja kamu,” jawab Abell kege-eran, “anomali kan mataku?”
“Iya, jarang aja lihat orang pribumi dengan mata selain cokelat dan hitam,”
“Mata Ibuku juga kaya gini kok Will, entah kelainan genetik apa kecacatan genetik, aku nggak tahu,”
“Aku kira dulu kamu pakai softlens lho!”
Aku tertawa, sudah terlalu banyak yang mengira jika aku memakai softlens, “Gila aja kamu! Dikira aku banci yang tiap malam minggu nongkrong di mall kali. Tapi banyak kok yang bilang gitu, emang sial terlahir dengan warna mata seperti ini di Indonesia. Terlalu banyak orang yang salah sangka,”
“Kalaupun itu kelainan apa kecacatan, menurutku kamu beruntung dengan mata seperti itu kok Bell. Kamu indah dan mempesona, dan karena mata itulah aku tertarik sama kamu sampai akhirnya jatuh cinta sama kamu,” puji Willy tulus, kembali membuat Abell kelimpungan. Bingung ingin melakukan apa. Membuatnya kembali memperhatikan pemandangan di depannya.
Pelan, Willy menarik halus dagu Abell. Mendekatkan wajahnya dengan wajah orang yang ia kejar setahun terakhir. Di lihatnya mata Abell membesar, ia membaca gairah disana. Di saksikan kabut tipis yang menyelimuti dedaunan rimbun dan semilir angin dingin khas pegunungan. Akhirnya, ia mengatup bibir Abell dengan bibirnya. Menciumnya lama seakan-akan hanya bisa ia lakukan sekali itu saja.
Setelah itu, ciuman-ciuman kecil terus didaratkan Willy saat melihat Abell tersenyum, berfikir, atau diam. Entah kenapa ia tiba-tiba tak bisa mengontrol dirinya saat berhadapan dengan Abell.
“Maaf Bell, daritadi aku nggak tahan buat nyium kamu,” ucap Willy sedikit menyesal dengan sisi liar dirinya yang tiba-tiba keluar. Ia pandang bibir Abell yang kemerahan akibat ciuman liarnya, beberapa kali ia mengigit bibir orang yang kasihi.
Tapi Abell hanya tersenyum melihat orang yang sejak bertemu tadi begitu dominan dan spontan, menjadi kikuk tak berdaya. Tanpa basa-basi, kini giliran Abell yang merenggut bibir Willy dalam ciuman panjang.


Pelepasan Remah ke Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: