Pelepasan Remah 10

8:35:00 PM Admin 0 Comments



Pelepasan
Remah 10


Kisah Sebelumnya Klik disini


“Ke pantai yuk!” tawar Willy menggiurkan saat sampai di pelataran parkir Reve. Semenjak mereka meresmikan hubungan, hampir setiap hari Willy mengantar jemputnya di cafe.
“Sekarang?” jawab Abell sambil cengengesan. Ia dan pantai, adalah hal yang tak bisa di pisahkan. Entah mimpi apa dia kemarin malam hingga tiba-tiba ia ditawari ajakan yang mustahil untuk dia tolak.
“Iya!” balas Willy penuh energi, senyum merekah di wajah Abell, “udah disiapkan kok baju ganti sama keperluan yang lain,” kali ini, ujung bibirnya bisa ia rasakan mau menyentuh kuping.
Lho kok iso?” katanya tambah semangat.
Uwes di siapke Andi kok wingi, dadi dino iki gur karek mangkat thok, niate gawe kejutan Bell,”
Hampir saja, Abell lompat-lompat kegirangan di lahan parkir itu saking senangnya mendengar hal itu.
“Kalian berdua baik banget sama aku!,” pujinya tulus, “terus tasnya mana?”
“Udah ada di dalem cafe, ambil aja,”
“Siap bos!,” kata Abell cekatan, ia lalu berlari masuk ke dalam cafe, mengambil tas punggung berukuran besar, berpamitan dengan Andi, lalu kembali ke halaman parkir dengan senyum gembira.
“Mau ke Jogja apa ke Pacitan? Yang deket aja ya, kalau ada libur panjang, baru yang jauh sekalian nggak masalah,”
“Jogja aja deh Will, kalau malem, nongkrongnya enak,”
“Motoran apa mobilan?”
“Motor aja, biar semangat petualangannya lebih dapet!”
“Halah, gaya, cuma ke Jogja aja pake semangat petualangan segala,”
Sedetik kemudian, Abell langsung duduk di jok belakang sambil memeluk erat Willy, Cabut!!!”
. . . . # # # . . . ...


Debur ombak berulang menghantam kasar tubuh Abell, membuatnya kuyup. Berulang ia berlarian di bibir pantai, mengelinding di atas hamparan pasir, menabrakan diri saat ombak besar datang, atau sekedar bermain pasir dan membentuknya menjadi sebuah rumah dan tak lupa juga menggambar hati di sana. Menuliskan namanya sendiri, gambar hati dan nama Willy di bawahnya, kemudian terbahak sendiri. Seakan-akan minta dimaklumi karena tingkah bocahnya.
Sementara Abell mengulang masa kecil di hadapan samudra, di salah satu balai-balai, Willy cukup memandanginya dan tersenyum melihat kekasihnya bahagia. Berteman secangkir kopi pahit, bir dan batangan rokok, ia rekam betul-betul momen-momen bahagia itu. Kejutannya berhasil.
Belasan menit kemudian, Abell menghampirinya dengan wajah sumringah dan nafas terengah-engah, “Laper banget! Kamu udah pesen makan apa belum Will?”
“Udah kok,” jawab Willy santai, lalu menyerahkan handuk tebal untuk menyeka bulir-bulir air yang menempel di kulit kekasihnya itu, ”bentar lagi juga bakal dateng makanannya,”
“Nanti aja,” tolak Abell, “aku masih mau main-main lagi,”
“Lagi?” tanya Willy memastikan, sudah hampir satu jam kekasihnya bermain-main di atas pasir, dan itu rupanya belum cukup untuknya.
“Ya, sampai matahari tenggelam,” jawab Abell mantap, lalu terbahak sendiri, seakan minta dimaklumi, “aku kaya anak kecil ya?” tanya Abell sambil melahap roti tangkup di depannya.
“Iya kamu kaya anak kecil, tapi aku seneng lihat kamu bahagia kaya gini. Belum pernah aku lihat kamu segirang ini sebelumnya,”
Abell terbahak.
“Kenapa? Ada yang salah?” tanya Willy kebingungan.
“Nggak ada yang salah sih Will, tapi ya... dari dulu memang aku tergila-gila sama laut, aku jatuh cinta sama deburan ombak, aku bahagia karena lihat karang, atau ikan. Aku juga hobby ngumpulin pasir dari banyak pantai, kapan-kapan aku lihatin deh koleksi pasirku!”
“Baru cerita kamu Bell tentang hal ini,”
“Pelan-pelanlah Will, aku bakal bagi semua tentang diriku secara penuh sama kamu, tapi perlahan, kita nikmati dulu semua ini,”
“Iya,iya... sering banget sih kamu ngomong gitu,”
“Kamu tadi pesen apa emangnya Will?”
“Udang, cumi sama gurami, nggak apa-apakan? Kamu nggak alergi udangkan sayang?”
“Nggak kok Will santai aja, aku nggak ada pantangan apapun. lagian, hidup nggak bakalan sempurna kalau kita nggak bisa makan seafood,”
“Setuju,”
Sajian makanan laut tandas setengah jam kemudian setelah datang. Abell kembali lagi menceburkan diri ke pantai, namun kali ini bersama Willy. Setelah berlomba menahan nafas di dalam air dan berenang menantang ombak, mereka mengentaskan diri menikmati matahari yang akan tenggelam. Berteman batangan rokok dan bir yang tak lagi dingin, mata mereka menerawang ke satu titik.
Angin gersang membawa butir-butir pasir berterbangan, mengambang di tengah udara lalu terpuruk jatuh akibat gravitasi. Bulir-bulir air yang masih hinggap di tubuh Willy, membuat Abell senantiasa menatapnya terus menerus. Menelanjanginya hingga puas, walau hanya lewat tatapan mata. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tidak menyarangkan kepalanya diantara lengan dan dadanya, atau sekedar memeluknya, atau sekedar mengecup kecil bagian-bagian tubuhnya.
“Kamu lebih dari Indah Will, satu tingkat di atas sempurna,” puji Abell tulus. Setelah bersama sekian waktu, ia belajar agar menjadi manusia yang jujur.
Willy tersenyum simpul, dengan wajah berseri-seri, “Seandainya Bell, satu hari saja kita bisa tukeran jiwa, kamu bakal ngerti gimana aku sayang sama kamu, kagum, bahkan kadang sampai kaya muja kamu. Biar kamu berhenti bertanya-tanya tentang banyak hal,”
“Seandainya kita bisa saling bertukar sudut pandang seperti itu,”
“Seandainya bisa, kita bakal jadi pasangan paling bahagia di dunia ini,”
“Bukankah kita sudah bahagia sekarang?”
“Kamu benar,”
Belasan menit kemudian mereka berdua hanya berdiam. Sekedar menikmati pemandangan, mendengarkan deburan ombak sambil mengesek-gesekan jemari kaki dengan pasir pantai.
“Jika kita diberi kesempatan untuk mengulang kehidupan di dunia ini, apa yang ingin kamu lakukan?” tanya Abell pelan, ia perhatikan kulit di tangannya yang mengkerut. Menikmati sore di pinggir pantai sambil melihat matahari terbenam, membuatnya ingin mempertanyakan banyak hal kepada kekasihnya itu.
Setelah menengak bir kalengan dan menghembuskan kepulan asap panjang, barulah Willy mulai menjawab, “Jika aku diberikan kesempatan itu,” katanya pasti, “aku akan menemukanmu lebih cepat, agar aku bisa mencintaimu lebih lama lagi,”
Abell terkisap, jantungnya serasa berhenti berdetak saat mendengar untaian kalimat yang baru saja ia dengar. Willy tersenyum, melihat mimik wajah Abell yang memerah, “Kalau kamu Bell? Apa yang ingin kamu lakukan?”
“Entahlah,” jawab Abell seadanya, tiba-tiba ia bingung, ling-lung, tak tau apa yang ingin ia katakan, “selama ini, aku nggak terlalu banyak menyesali banyak hal,” lanjutnya dengan suara serak, gelondongan episode-episode masa lalunya tiba-tiba menyeruak. Sampai sekarang, ia masih tak bisa berdamai dengan masa-masa itu.
Rasa sakit itu. Kesepian itu. Kesendirian itu.
“Mengulang ora mesti goro-goro nyesel Bell,” ucap Willy hampir tak terdengar, ia lalu mengubah posisi duduknya, hingga matanya dapat berinteraksi langsung dengan Abell, “mengulang, kadang juga bisa untuk memperbaiki,”
Aku ra pengen ndandani opo-opo nek uripku Will,” balas Abell berusaha memastikan, tapi getaran yang hadir dalam suaranya sama sekali tak membantu, “nak wong-wong ndelok uripku, mesti daraki uripku cacat. Diusir ko ngomah, ra diakoni anak meneh, ora due sopo-sopo. Sopo tho seng pengen urip koyo aku ngene?” jelas Abell getir, sudut matanya mulai dipenuhi air yang mengambang.
“Bell, nggak peduli mau gimanapun hidupmu, cuma kamu yang punya hak buat menilai hidupmu sendiri, nggak aku, nggak Andi, nggak orang lain. itu hidup kamu Bell, kamu yang nentuin sudut pandangnya sendiri. Kalau menurutmu hidupmu cacat, ya hidupmu cacat. Tapi kalau menurutmu hidupmu indah, ya hidupmu bakal indah Bell. Bukan berarti pendapat orang banyak itu lebih benar daripada pendapat orang yang lebih sedikit kok Bell,”
Kowe bener Will,” jawab Abell lugas lengkap dengan wajah sedikit sumringah, “urip dadi Gay ki wes abot, nak ditambahi beban liyane neh, bakalan tambah abot uripku, nak gur mikirke hal-hal seng ora penting koyo ngono,”
Seng abot ki gur masa penyangkalan, penerimaan sama coming out aja Bell, dengan catatan kalau nggak mau jadi orang munafik lho ya,”
“Dan yang jelas, Gay itu bukan penyakit,”
“Sebenernya yang sulit di sini cuma menyetarakan pemahaman aja sih Bell, intinya semua bakal indah kalau kita bisa saling menghargai, menghormati, memahami dan yang paling penting adalah saling memanusiakan satu sama lain,”
Ingin rasanya ia memeluk Willy pada saat itu, tapi, posisi mereka yang masih tak lazim di depan umum, mengurungkan niatan tersebut. Jadi, ia pun hanya bisa memegang tangan Willy selama beberapa saat sebelum akhirnya dia lepaskan lagi.
“Makasih buat hari ini ya sayang, aku bahagia banget hari ini,”
“Sama-sama Bell,”
“Udahan yuk Will, udah mulai kedinginan nih aku,”
“Ntar mau langsung pulang apa jalan-jalan dulu?”
“Ngopi aja deh, banyak tempat ngopi yang asik di Jogja. Tapi kita makan dulu di bukit bintang ya,”
“SIAP!!”


kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: