Pelepasan Remah 11

2:44:00 AM Admin 3 Comments




Pelepasan
Remah 11


Kisah sebelumnya klik disini



Untuk pertama kalinya Willy berkunjung ke rumah kontrakanku setelah beberapa bulan kita menjalin hubungan. Nampak sekali ia sanggat cangung saat masuk rumah, ia tak santai dengan senyum cengengesan seperti biasanya. Ia nampak kaku, kaku yang aneh.
Wes, santai wae. Aku urip dewe kok nek omah iki. Ra enek pembantu. Ra enek tukang kebon. Kabeh tak urusi dewe,” jelasku agar dia tak cangung. Aneh melihat Willy yang biasanya sesuka hati tampil kikuk seperti itu.
Diatas sofa panjang warna coklat tua Willy memarkirkan tubuh besarnya, mencari-cari asbak di bawah meja lalu mulai menyalakan putung rokoknya saat aku berjalan ke arah belakang rumah.
“Mau minum apa?” tawarku dengan suara lantang, “Bir apa Whisky?”
“Emang disini ada Whisky?”
“Ya adalah,” ucapku sedikit gaya, “anak-anak sering kok buat acara disini, hampir sebulan sekalilah kita mabok sepuasnya,”
“Kamu sering minum sama mereka?” tanyanya sedikit canggung.
“Nggak terlalu, kalau lagi stres aja ngajakin mereka minum disini,” jelasku simple, “lagian aku kalau minum dikit langsung pusing. Bawaannya penginnya tidur terus, jadi kalau mereka bikin acara sampai pagi, bangun tidur aku yang beresin semuanya. Kalau lagi nggak mood minum aku duduk-duduk disamping mereka sambil cerita-cerita gitu,”
“Owh gitu,” jawab Willy sambil manggut-manggut, “yaudah bir dingin aja kalau gitu,”
Tak lama kemudian ia bangkit dari sofa dan berjalan ke ruang tengah. Ia lalu mengamati rak-rak berisi action figur, buku dan film yang menjulang sampai langit-langit rumah. Di depan patung kepala Budha, ia iam cukup lama sampai akhirnya aku datang ari arah dapur sambil membawa nampan berisi wisky dan mangkuk berisi keripik kentang.
“Ini semua koleksi kamu?” tanyanya heran melihat rak yang menjulang tinggi hingga langit-langit rumah.
“Kalau buku-buku itu kebanyakan koleksiku, tapi kalau koridor film sama koleksi action figur itu kebanyakan punya Andi,”
“Terus yang di Reve itu juga punya Andi semua filmnya?”
“Iya, itu punya dia semua,” Ucapku sambil meletakkan nampan itu di atas meja ruang tengah, “Tapi yang di taruh disini khusus buat film-film yang sulit dicari, kebanyakan film festifal soalnya,”
“Wah keren banget ya sampai segini banyaknya,” pujinya tulus, “habis berapa duit ya kira-kira?”
“Wah kalau masalah itu relatif sih Will, tapi kalau udah nyangkut masalah hobby sih, uang nggak ada harganya, ngukurnya pakai kepuasan pribadi sih soalnya,”
“Iya sih Bell, tapi ini banyak banget lho,”
“Lha wong ngumpulinya dari pas zaman SMP dulu kok Will, ya banyaklah. Sorry ya, cuma tinggal keripik doang cemilannya,”
“Udah biasa aja, kaya sama siapa aja kamu Bell. Ada gitar nggak?”
“Ada,” sahutku ringkas, “emangnya kamu bisa main gitar?”
Weleh-weleh, ngece cah iki. Ngene-ngene mbiyen aku due band lho,
“Band apaan?”
“Ya band buat seru-seruan aja pas SMA dulu,”
“Lha kenapa sekarang nggak ngeband lagi?”
“Kalau sekarang udah pada sibuk sendiri, aku keluar dari band pas semester dua kalau nggak semester tiga,”
“Lha kenapa keluar Will?”
“Beda prinsip. Klise kan?” jelasnya sambil tertawa. Menertawakan diri sendiri.
“Hahaha... iya, alasan sejuta anak band tuh. Aku ambilin gitar bentar ya,” kataku beranjak dari sofa ruang tengah, “eh bentar. Gimana kalau kita gitaran di balkon belakang aja? Disana pemandangannya lumayan, tapi rada panas, area jemur soalnya,”
“Oke, seru tuh kayaknya,” sahut Willy penuh semangat, ia lalu membawa nampan dan berjalan di belakangku.
Angin sepoi dan kelebat seprai menyambut kami saat menginjakkan kaki di area jemur itu. Balkon luas di belakang rumah ini adalah salah satu spot yang paling aku sukai di rumah ini, karena dari balkon ini aku bisa melihat pemandangan sawah yang membentang luas. Saat itu sore baru mau menjelang, memadukan sinar senja dengan bulir-bulir padi yang menguning. Membuatnya seakan-akan seluruh hamparan padi itu tertutup tirai lembut berwarna kuning transparan. 
Di area jemur itu terdapat sepasang kursi rotan reyot untuk menghempaskan pantat dan sebuah meja kayu ala kadarnya. Batang rokok kembali beradu dengan bara api sebelum akhirnya petik gitar memenuhi udara. “Mau lagu apa?” tanya Willy dengan mulut berdesis, mengeluarkan gelontoran asap dari rongga mulutnya.
Coldplay, Fix You, itu lagu wajib kalau aku gitaran disini sama Andi,”
Belum selesai kalimatku, jari-jari Willy mulai beradu dengan senar gitar, mengudarakan nada Fix You di udara. Aku tertegun dengan suara Willy saat ia menyanyikan bait pertama. Aku kembali terpesona karenanya, cara ia memejamkan mata saat menyanyikan lagu yang aku gemari, membuatku kelimpungan karenanya.

When you try your best but you don’t succeed...
When you get what you want but not what you need...
When you feel so tired but you can’t sleep
Stuck in reverse...
               Ant the tears come streaming your face
When you lose something you can’t replace
When you love someone but it goes to waste
Could it be worse?
Light will guide you home
And ignite your bones
And i will try fix you

Setelah menyelesaikan Fix You dengan sanggat manis, ia langsung memainkan lagu Fall For You dan your call milik Secondhand Serenade sambil pamer skill permainan gitarnya yang mempesona. Lagi-lagi aku dibuatnya terpesona saat ia memainkan lagu Bed of Roses milik Bon Jovie.
Aku langsung bertepuk tangan saat ia selesai memainkan lagu Bon Jovie, “Wah! Kamu keren banget lho sayang main gitarnya,” pujiku tulus penuh kekaguman, aku benar-benar tak menyangkan jika ia bisa memainkan gitar secanggih itu, ”kenapa nggak dilanjutin aja sih ngebandnya?”
“Nggaklah Bell, anak-anaknya nggak seasik dulu.” Tukasnya kalem sambil menghirup batang rokok di sela bibir tipisnya dalam-dalam, “Lagian komitmen diumur kita sekarang sama pas SMA dulukan beda. Mencoba realistis aja,”
“Terus kenapa dulu kamu nggak buat band baru aja?”
“Sejak keluar dari band, aku udah males gabung-gabung band lagi Bell. Yang ngajak gabung sih banyak, tapi udah keburu teralihkan sama dunia disaign waktu itu, sampe akhirnya coba-coba buat kaos terus patungan bikin distro sama anak-anak,” kata Willy setengah menerawang masalalunya, “tapi kadang aku masih sering kok main akustikan di cafe-cafe temen, walaupun cuma buat iseng-iseng doang tapi udah cukup buat nuntasin kangen ngebandlah,”
“Wah kalau tahu gitu kamu mendingan ngisi Reve deh kalau Weekend, kayaknya bakal dahsyat banget kalau kamu duet sama Andi. Dia juga jago banget gitarannya, suaranya juga bagus. Makanya aku sering nyanyi-nyanyi ngawur sama dia,”
“Beres deh Bell kalau urusan itu,” ujarnya santai sambil menengguk whisky di depannya.
“Kapan-kapan aku main ke rumahmu boleh nggak?”
“Boleh-boleh aja,” sahut Willy hampir tanpe ekspresi apapun, “mau ke rumahku kapan emangnya?” tanya Willy terkesan menantang.
“Sekarang?”
“Boleh,”
“Besok?”
“Boleh,”
“Ntar minggu?”
“Boleh.”
“Kok boleh terus sih jawabannya?” ocehku sok manja di depannya. semerbak rasa damai memenuhi hatiku. Kurebahkan kepalaku di lengannya sambil menatap cahaya senja yang tak terlalu menohok mata.
“Ya masa pacar mau main ke rumah nggak dibolehin sih Bell?” jawab Willy dengan suara lembut, mengecup keningku sebentar lalu kembali memetik gitar, memainkan nada-nada indah yang hinggap di telinga.
“Keluargamu ada yang tahu nggak Will kalau kamu kaya gini?”
“Ehm, kakakku tahu kalau aku bisexual,”
“Ceritanya gimana emangnya?” tanyaku antusias.
“Ya kapan-kapan aku ceritainlah, tapi intinya dia bisa baca aku dari tingkah lakuku. Walau dia bukan anak psikologi, tapi dia paham sama ilmu itu. Walau sifatnya binal banget, sebenernya dia baik dan perhatian banget kok orangnya,”
“Wah enak dong kalau dicurhatin? Namanya siapa Will?”
“Namanya Sandra, kalau kamu sering ke club malam, kamu pasti kenal sama dia. Dia pasty goers-nya Solo Bell,”
“Kaya kamu tapi Versi cewek?” sahutku iseng.
“Ya kaya gitulah,” jawabnya simpul, “Bell, aku boleh tanya sesuatu nggak?”
“Kalau mau tanya-tanya aja kali Will, nggak usah pakai permisi segala, kaya sama siapa aja,”
“Agama kamu apa sih?”
BOOM!!
Rasa damai yang baru saja menggelayuti batinku langsung lenyap seketika.
“Kenapa kamu tiba-tiba tanya itu?” jawabku sedikit tergagap.
“Sebenernya aku nggak ada masalah sih sama apapun agamu, tapi pas masuk di rumah ini tadi aku bingung aja,”
“Bingung gimana emangnya?”
“Ya bingung aja Bell, di ruang tamu tadi, kamu pasang ukiran arap dari kuningan, terus di ruang tengah tadi ada beberapa kepala budha. Terus di atas tempat tidurmu tadi, pas kita ngambil gitar, ada salip yang nagkring disana. Dan sekarang kamu pakai kalung bintang dewa daud? Kamu nggak nganut semua agama di bumikan?” tanyanya dengan ekspresi komikal. Berusaha menyembunyikan rasa ingin tahunya.
“Kamu kok detail banget sih merhatiinnya?”
“Ya gimana nggak detail Bell? Orang itu anomali banget kok,”
Fikiranku melayang-layang, tatapanku terlempar diantara awan, “Itu adalah pertanyaan yang belum bisa aku jawab sampai sekarang Will. Faktor awal pemicu konflik dengan orang tuaku,” jawabku terbata. Topik ini masih begitu tabu untukku. Agama, keluarga dan masalalu.
Saat aku sibuk dengan dunia angan, tiba-tiba bibirku terantuk daging empuk berbau asap rokok dan bir. Kenyal, lembut dan empuk. Kufokuskan pandanganku, kulihat wajah Willy yang begitu dekat hingga titik-titik lubang pori-porinya nampak jelas. Ia kulum beberapa kali bibirku, sebelum akhirnya ia berhenti dan memetik gitar kembali.
 Ia melantunkan You Are I Need, White Lion dengan sangat indah saat angin sepoi-sepoi kembali menghempaskan pakaian-pakaian kering. Ku lepaskan pandanganku ke atas langit, melihat awan yang bertumpuk disana, senja sebentar lagi tuntas saat Willy menyudahi lagunya. Ia sandarkan gitar disampingku saat ia berdiri di depanku sambil menenggak whisky, menutupi sorot cahaya senja di wajahku.

Perlahan ia melucuti pakaian dari tubuhnya, satu-persatu, membuatku was-was, gugup, dan takut jika ada petani atau orang di sawah yang melihat kelakuan ajaibnya. Mau ngapain lagi nih anak? Batinku tak menentu melihat tingkahnya. Tak butuh waktu lama untuk Willy telanjang bulat di depanku, ia lalu menarikku agar ikut berdiri bersamanya dan menatap lurus ke arah matanya, tempat bermuara beragam perasaan yang tak bisa aku jelaskan. Tapi ada satu hal yang jelas di sore magis itu, ada perasaan damai, rapuh dan apa adanya yang memerangkap lubuk hatiku. Hingga tubuhku bergetar menikmati sensasi yang menghujam.
“Bell,” ucapnya lirih sambil menuntun tanganku agar bersandar di dada bagian kirinya, tepat di depan jantungnya yang berdegub tak menentu, “kalau boleh jujur, cuma sama kamu aku bisa kaya gini. Di depanmu aku nggak perlu lagi berpura-pura menjadi siapapun atau apapun. Bell, inilah aku apa adanya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang aku punya,” ia memberikan jeda panjang sebelum melanjutkan lagi kalimatnya, “denganmu hidupku bermuara, karena kamu hidupku kembali berwarna. Kamu, adalah hal terindah yang pernah tuhan berikan untukku. Dan aku sangat berterimakasih untuk itu. Aku sayang banget sama kamu Bell,”
Lama aku terdiam, tak tahu harus menanggapi bagaimana, haru menyeruak, hampir memacu air mataku untuk keluar dari inangnya. Di depanku, Willy telanjang bulat, kembali mengungkapkan perasaannya padaku, lenkap dengan cahaya senja yang membingkainya dengan begitu sempurna dimataku. Kurekam erat-erat moment itu difikiranku, kerlingan mata nakalnya, senyum mesum cengengesannya, tumbuh gempalnya, wajah rupawannya. Aku jatuh cinta dengan peranakan iblis-malaikatku.
“Aku sayang banget sama kamu Bell, jangan pernah ninggalin aku ya,” pinta Willy dengan nada yang membuat hatiku berdesir tak karuan. Ia lalu memelukku erat sebelum akhirnya kembali mengecup bibirku.
“Apa-apaan sih kamu Will?” sambarku sengit setelah terhanyut momen-momen gilanya. Lekas kulepas tubuhku dari jerat peluknya, “edan koe Will, gimana kalau tadi ada orang yang lihat kita? Ini area terbuka geblek” tambahku sedikit sewot.
Tawa berderai dari bibirnya, sambil menatapku ia kembali mengenakan pakaiannya, “Udah lama ya nggak diromantisin orang?” kata Willy menggodaku, “sampai merah gitu wajahmu Bell,” senyum cengengesannya mutlak mengganguku.
“Nggak tahulah! Bodo! Pokoknya jangan macem-macem lagi!”
“Lha kenapa emangnya?”
“Soalnya kamu nggak bisa ditebak. Nggak bisa dibaca atau dipetakan. Itu yang bikin aku was-was kalau jalan sama kamu, aku si buta dan kamu orang yang terlalu banyak kejutan,”
“Lha katanya kamu suka sama kejutan?”
“Ya tapi nggak sekonyol itu juga kali Will,”


. . . . # # # . . . ...

Piye bos?” ucap Andi langsung saat melihat Willy duduk lesehan tak jauh dari salah satu warung hik. Sigap, ia langsung mengambil tiga bungkus nasi, dan satu piring penuh gorengan dan beberapa tusuk sate, “wes sue awak dewe ra futsal bareng, igek wani po ra ki?”
Hadeh, koe kok nantang aku futsal. Langsung tak tandangi no,” balas Willy congkak sambil menyeruput kopi josnya.
Halah, gayamu Will, Will,” sahut Andi sambil geleng-geleng, seakan memaklumi orang penuh gaya di depannya, “gur main setengah jam we wes ngos-ngosan rep nandangi aku ro konco-koncoku, gimana rencananya buat minggu depan?”
Aku pengene ngei kejutan ge Abell, Ndi,” kata Willy langsung to the point, “Aku pengin acara kui berkesan ge deknen. Sederhana tapi bermaknalah intine,
Terus koe pengene piye? Butuh bantuanku piye?” kata Andi sambil melahap beragam kudapan di depannya. dengan wajah serius is mendengar satu-persatu rencana Willy untuk minggu depan, sesekali ia menginterupsi dan memberi masukan layaknya seorang sahabat.


kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Banyak typos, beberapa kata ga konsisten dan ga sesuai KBBI. Terus karakter abell sama willy ga mencerminkan pribadi cowo, mas. I mean, walaupun mereka hombreng, seengganya bikin mereka rada brengsek gitu. Like a bro! Juga tolong percakapan dalam bahasa non-indonesia dikasih catatan kaki biar pada ngerti.-. Overall, kul! Pertama kalinya baca cerber LGBT yg agak liar~ syemangad, mas!

    ReplyDelete
  3. hahahha agak liar.... makasih banyak ya black udah mau baca sampe remah segini... thnx buat kritiknya bakal buat perbaikan ke depannya.... hahahah iyaya... kalau typo pas tak baca ulang tadi ternyata banyak kwkwkwk

    ReplyDelete