Pelepasan Remah 14

6:27:00 PM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 14


Kisah sebelumnya klik disini


Setelah membuatku lumpuh selama beberapa hari, Willy kembali mengantar jemputku di cafe. Malam itu, langit benderang, lengkap dengan paket taburan bintang di angkasa. Rasa salah masih bersemayam di hati Willy, membuat dia terus melakukan berbagai hal untuk menebus kesalahannya. Karena tak ada film yang menarik malam itu, ia lalu mengajakku melihat pasar malam di tengah kota.
Setelah memakirkan motor, aku mengajak Willy mampir di salah satu tempat makan lesehan. Saat Willy memesan makan dan minum, aku sengaja memilih tempat duduk yang paling jauh dan sepi dari warung itu. Tak lama kemudian ia datang dengan sepiring sate dan gorengan yang baru saja di bakar, beberapa bungkus nasi dan es yang dibawa mas-mas dibelakangnya.
Wes sue yo Bell awak dewe ra mangan lesehan nek pinggir dalan ngene,”
Iyo Will, wes sue banget koyone. Padahal aku seneng lho mangan nek pinggir dalan ngene. Sensasine juara banget!”
Usai membuat makanan di depan kami tandas, aku mulai sesi khusus untuk malam itu.
“Will, aku mau ngomong sesuatu sama kamu,” kataku pelan sambil menyentuh punggung tangannya sebentar.
Ngomong opo?” tanyanya dengan ekspresi serius.
“Aku mau jelasin perkara yang kemarin itu,”
“Okey, coba jelasin semuanya,”
“Yang pertama, aku baik-baik aja, okey?. Kamu nggak usah merasa bersalah kaya gitu. Kemarin itu bukan salah kamu kok, emang akunya aja yang lagi dalam posisi rapuh. Kamu sama sekali nggak punya salah sama aku. Malam itu nggak tahu kenapa batinku lagi kacau aja, aku ngerasa hampa sama banyak hal. Aku ngerasa capek, lelah, enek. Tapi anehnya aku nggak tahu kenapa ngerasain hal itu. Dari dulu memang ada hal-hal sensitif yang nggak bisa orang bahas sembarangan sama aku. Yaitu tentang masalalu, agama, dan keluargaku. Aku masih nggak bisa nahan emosi kalau dihadapkan sama ketiga hal itu. Butuh keadaan yang sanggat setabil kalau mau bahas ketiga hal itu sama aku.”
“Sebelumnya aku juga mau minta maaf sama kamu Bell tentang malam itu. Maaf kalau aku lancang sama kamu. Aku ngomong kaya gitu juga karena aku nggak bisa ngontrol diriku buat nunggu kamu cerita semua kisahmu sebelum sama aku,” ucap Willy membuat hatiku bergidik ngeri, ingin rasanya aku memeluknya saat itu juga, “maafin aku kalau terlalu egois pengin tahu semuanya tentang kamu,”
“Sekali lagi ya Will, kamu nggak salah apapun. emang aku aja yang terlalu sensitif malam itu. Makanya jadi nggak enak, maaf juga kalau setelah beberapa bulan kita jalin hubungan, aku belum cerita banyak tentang masalaluku. Demi tuhan kadang aku sama sekali nggak kuat buat nginget-inget luka itu. Mungkin aku butuh waktu yang lebih lama lagi buat cerita semuanya sama kamu. Tapi yang jelas bukan sekarang ya Will,”
“Aku bakal nunggu sampai kamu siap cerita semuanya sama aku Bell, semuanya dengan lengkap, jujur dan apa adanya,”
“Aku janji bakal cerita semuanya sama kamu Will,”
“Yaudah yuk, kita samperin pasar malam itu!”
. . . . # # # . . . ...


Melihat sorot lampu warna-warni penusuk mata, kerumunan orang hingar bingar dan tubrukan berbagai macam aliran musik, membuat hatiku cerah mendadak. Seperti barusaja disiram berbagai macam kebahagiaan. Sebelum memasuki kawasan pasar malam tadi, Willy menyempatkan diri untuk membelikanku sepasang arum manis berwarna hijau terang dan merah muda. Hanya karena hal kecil itu, hatiku senang bukan kepayang, ia pintar mengambil hatiku dan membuatku bahagia.
Senyum kembali terulas di wajah tampan Willy, senyum iklas bercampur tatapan nakal yang membuatku sedikit merasa bersalah karena telah membuatnya hawatir selama beberapa hari. Usai menyalakan rokok dan mengepulkan asapnya beberapa kali, ia merangkulku yang sedang sibuk melahap arum manis berwarna merah jambu. Ia selalu seperti itu, menjagaku agar tak jauh-jauh dari dirinya.
Selama beberapa saat, kita berjalan-jalan perlahan sekedar menikmati malam, pasar malam dan keramaian orang banyak. Ada sebuah rasa nyaman yang menggelayuti hatiku saat Willy merangkulkan lengannya di pundakku, perasaan yang membuatku sering berlama-lama di sampingnya. Bahkan saat kami tidur bersama, tidurku akan lebih nyenyak jika terlelap dalam dekapannya.
Tak seperti orang dewasa kebanyakan yang akan duduk-duduk di bangku atau sekedar menonton orang-orang bermain di area permainan. Ada sisi kekanakan kami berdua yang ingin selalu di tuntaskan saat melihat berbagai macam wahana di pasar malam. Malam itu kami berdua naik bianglala yang cukup sempit untuk dua orang lelaki dewasa seperti kami, setelah itu kami naik ombak banyu dan dua kali naik kora-kora untuk menuntaskan adrenalin.
“Seneng nggak?” tanya Willy dengan tatapan pelumer hati. Walau sudah beberapa bulan menjalin hubungan dengannya, sampai sekarang hatiku masih sering tak karuan saat mata kami berpapasan.
“Seneng bangetlah! Lagian udah lama juga aku nggak kepasar malam,” seruku tulus, “makasih ya buat malam ini,” tambahku menerbitkan senyum di wajahnya.
“Kamu kaya anak kecil pas makan arum manis tadi. Gemesin. Jadi pengin nyium,”
“Cium aja kalau berani,” jawabku keceplosan, sedetik kemudian langsung kuralat jawabanku, “nggak jadi deng,” kataku cepat, sebelum ia mengambil langkah gilanya, ”awas kalau kamu macem-macem,” ancamku serius.
 Willy tertawa terbahak-bahak, “Takut ya kalau aku nekat disini?”
“Ya siapa yang nggak takut Will? Orang urat malumu udah putus kok, yang ada aku yang jadi korban kejahilanmu terus,” jawabku sewot sambil mengingat-ingat berbagai macam kejahilan yang sudah ia lakukan padaku.
Sambil menghisap batang rokoknya, ia hanya mesam-mesem melihatku.
“Ngapain sih ngilihatin melulu?” semprotku cepat. Aku mulai was-was jika ia mulai menunjukkan gelagat nggak waras di depanku. Di otaknya pasti ia sedang merencanakan hal jahat untukku.
Halah, mososk gur ndheloki bojone we yo nggak entuk?
Bukane ora entuk Will, biasane koe nak ndeloki aku sue kayo guya-guyu ra cetho ki igek ngrencanake macem-macem ke aku!” jelasku waspada.
Lho kok iso?
Aku kan ora kenal koe sedino rong dino Will. Awas yo nak macem-macem!” ancamku lagi, kali ini dengan tatapan galak. “aku mau ke toilet bentar,”
“Mau dianter nggak?” tawarnya dengan sorot mata jahil.
“Nggak usah. Kaya anak kecil aja, ke WC diekorin,”
“Yaudah kalau gitu, aku tunggu disini ya. Awas kalau kecantol cowok lain! bakal aku arak orang itu keliling pasar malam,” lanjutnya dengan ekpresi lucu.
Beberapa menit kemudian aku kembali menghampiri Willy dengan membawa satu bungkus kacang rebus, ada kesan yang berbeda saat aku berjalan menghampirinya. Lelaki tambun rupawan itu nampak begitu tanpan di mataku, malam itu ia mengenakan topi butut warna putih, jaket kulit hitam, jeans belel, persing hitam di kedua telinganya. Sekilas ia seperti preman, atau nampak seperti lelaki berandalan, sosok yang aku cintai.
“Kamu ganteng kalau pakai topi kaya gitu,” pujiku tulus saat menghampirinya. Membuatku terus curi-curi pandang mengaguminya.
“Halah tenane?”
“Beneran, kaya tipe-tipe cowok berandalan yang aku suka gitu,”
“Ya bagus deh kalau kamu senang kalau aku tampil gini,”
Dari saku dalam jaket kulitnya ia kembali mengeluarkan bungkus rokok, menempelkan satu batang di bibirnya dan menyalakannya. Dalam satu hari ia bisa menghabiskan lebih dari dua bungkus rokok, pernah aku bicara baik-baik dengannya sebagai sesama orang dewasa. Kita berbicara agar dia mengurangi jumlah rokok yang ia konsumsi selama satu hari, dan hal itu berakhir sia-sia. Ia sudah terlampau kecanduan batang nikotin itu, sama seperti ia harus minum kopi di pagi hari setelah sarapan dan malam hari sebelum tertidur lelap.
Baginya, rokok adalah meditasi, media untuknya menelusuri berbagai hal, terutama hal-hal kreatif di pekerjaannya. Ia sama sekali tak bisa mendesain baju, tas atau topi jika tak sambil merokok dan di temani kopi. Sedangkan aku adalah kebalikannya, aku sama sekali tak mau berurusan dengan batang tembakau itu. Selama ini aku berusaha untuk hidup sebagai vegetarian, tapi aku selalu tergoda dengan aneka ragam daging yang dibakar, apalagi jika anak-anak mengadakan acara bakar-bakar, seketika aku menjadi orang yang paling rakus menghabiskan makanan. Kecuali daging kambing, kepalaku seketika akan pening dan tubuhku akan langsung bergetar tak karuan hanya dengan melahap beberapa tusuk saja.
Sambil melahap kacang rebus, fikiranku melanglang buana. Mesam-mesem sendiri membayangkan banyak hal, bahkan kadang cekikikan jika membayangkan hal-hal yang begitu lucu di fikiranku. Fiuh! Kepulan asap mendadak menabrak wajahku, masuk ke rongga hidung dan membuatku terbatuk-batuk.
“Apaan sih? Ganggu aja!” semprotku langsung dengan tatapan ganas!.
“Kamu ngapain sih cekikikan sendiri gitu? Kesambet setan di WC tadi ya?” jawab Willy langsung dengan sorot mata penuh curiga, “atau jangan-jangan kamu lagi bayangin yang enggak-enggak sama yang jaga WC?”
“Edan!” sergahku jengkel sambil menoyor jidatnya, “kalau cemburu mikir-mikir juga, pakai otak! Jangan ngomong ngawur kenapa sih?”
“Ya habisnya kamu tingkahnya nggak jelas gitu habis dari WC,” jawab Willy jengkel melihatku, “ketemu orang ganteng di jalan pas mau ke WC apa pas pulang dari WC?”
“Ah males ah kalau kamu mulai cemburu buta kaya gini,”
Tak ada angin, tak ada hujan, bahkan geledekpun juga tak ada. Tiba-tiba ia tertawa terbahak melihatku jengkel sekaligus kebingunan dengan sifatnya.
“Pantatmu lagi panas ya? Dasar geblek, tadi marah-marah, terus sekarang ketawa ngakak,”
“Hahaha... bercanda Bell,”
“Bercandamu aneh!”
“Eh Bell, tak kasih tantangan berani nggak kamu?” tawar Willy jenaka lengkap dengan sorot mata nakal plus jahil andalannya. Alis matanya naik turun beberapa kali. Membuat jantungku berdegub tak karuan.


Kisah selanjutnya Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: