Pelepasan Remah 16

2:34:00 AM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 16


Kisah sebelumnya klik disini


Angin malam menampar-nampar ringan wajah kami, menghempaskan nikmatnya udara Solo dikala malam hari, mengingatkanku akan kenangan-kenangan lama. Solo memang tak semenarik Jogja, tapi selalu sensasi yang beda di tempat ini. Mungkin karena dari kecil aku hidup di Jogja dan baru saat kuliah memutuskan untuk pindah kesini, atau mungkin jika ditarik alasan yang lebih personal karena Sololah yang menjadi titik balik hidupku.
Mulai dari tempat kuliah, mengembangkan both kopi dan susu disini, mulai hidup mandiri, dibuang dari keluarga, terwujudnya cafe impian, bertemu dengan Willy, tapi yang paling penting adalah, aku bisa hidup baik-baik saja dan bahagia. Karena rasa sakit dan tertekan yang dulu terasa menghimpit, kini perlahan melepaskan jeratnya saat aku mulai bisa menerima konsekwensi atas pilihanku.
Dibelakang boncengannya, aku hanya diam memeluk Willy, menatap lampu-lampu di jalan yang silih berganti memendari kami. Sekuat mungkin aku menahan tawa dan rasa malu yang membuncah, sehingga membuatku beberapa kali membenamkan wajahku dibalik punggung Willy yang hangat dan nyaman. Sambil menyetir motor dengan kecepatan pelan, Willy merokok dengan santainya, menghembuskan asap dengan hikmat seakan-akan tak ada yang baru saja terjadi. Kupererat pelukanku, berterimakasih atas cinta yang terus tumbuh.
“Kamu kedinginan?” tanya Willy penuh perhatian.
Kulonggarkan sedikit rangkulan tanganku di lingkar perutnya, “Enggak, kok,”
“Lha kok kenceng banget meluknya? Susah nafas tahu!” protesnya.
“Akukan meluk perutmu bukan dadamu!”
“Ya kan aku nafas lewat pori-pori di perutku Bell,”
“Dasar dodol!, Willy dodol!”
“Kamu beneran nggak kedinginan?”
“Enggak Will, kepanasan iya. Sampai gerah tubuhku, daritadi cekikikan sepanjang jalan. Kamu sih, konyol banget jadi orang,”
“Sekali-kali nggak masalah kali Bell, kita juga butuh hal-hal konyol untuk dikenang,”
“Sekali-kali apaan? Kamu konyol tiap hari sayang, kamu tuh hobby ngerjain orang tahu nggak?” jawabku setengah merajuk,“dari dulu aku terus yang jadi korban kekonyolanmu,”
Setelah beberapa kali meraskan tubuhku bergetar, akhirnya ia menepikan sepeda motornya, melepas jaket kulitnya dan menyuruhku memakainya.
“Aku nggak kedinginan kok Will,”
“Udah pake aja, aku kebal kok sama angin malam. Kamu lebih butuh jaket itu daripada aku,” jawabnya sedikit memaksa “lagian aku malah kegerahan gara-gara kejadian tadi,”
“Lha kamu sih, ngapain juga pake nantang-nantang gitu?”
“Namanya juga spontan Bell, pas liat stand pakaian dalem tiba-tiba ide itu muncul, yaudah deh. Dibuat ngerjain kamu aja, pasti lucu,”
“Itu nggak lucu Will, itu konyol dan menjengkelkan!” semburku langsung, masih belum bisa menerima dikerjai Willy seperti itu, “malu tahu nggak dilihatin ibu-ibu tadi pas beli cawet. Kamu nggak tahu sih gimana ekspresi kangetnya ibu-ibu itu pas aku muncul di tengah mereka. Otak kamu kayaknya udah beneran sengklek deh sayang, kapan-kapan ke dokter yuk,”
“Ngapain ke dokter segala?”
“Periksa dong, medical chekupstandar aja, penasaran aku. Kayaknya beneran ada yang nggak beres deh sama otak kamu,”
“Enak aja kalau ngomong, dari dulu otakku emang gini ya sayang. Kamu yang santai, nggak udah medical chekup segala, semua onderdilku baik-baik aja kok. Apalagi yang ada di selakangan,”
“Mulai ngeresnya,” jawabku gerah. Jika sudah mulai ngebahas sekalangan, akhirnya pasti ngajakin ngamar.
“Enggak-enggak, lagi nggak pengin kok Bell. Tapi kalau kamu mau sih aku siap-siap aja ngeladeninya,”
“Udah deh, lagi males tahu,” kupererat pelukanku, kusandarkan kepalaku di pungungnya yang nyaman, damai menyertaiku malam itu, “kamu masih gerah?”
“Udah nggak terlalu kok,”
“Kamu sama sekali nggak malu ya aku suruh kaya gitu tadi?” tanyaku hati-hati. Aku takut jika ia akan membalasku lebih parah dikemudian hari.
“Ngapain malu segala? Biasa aja kali, lagian cuma pakai cawet sama BH doang,” jawabnya ringan, “urip ki woles wae Bell,”
“Makainya doang sih nggak masalah Will, tapi yang jadi masalah itu lokasinya itu lho sayang, ini pasar malam, bukan di dalam rumah. Tambah geblek deh kamu lama-lama, jadi was-was kalau keluar sama kamu. Takut kamu kerjain lagi,”
“Lho? Kenapa harus was-was? Aku aja yang make BH sama cawet suantai pol lho,”
“Itu karena urat malu kamu udah putus lama, makanya kamu malah seneng aku suruh gitu, bukannya malu apa tertekan,”
“Lha kenapa harus malu? Nikmatin aja kali Bell,” jelasnya santai, “lagian kalau kamu nggak diturutin juga bakal mencak-mencak, kamu kan kalau ngambek lama banget, moody banget lagi. Apalagi kalau galau, apa sedih, bisa tiga hari empat hari,”
“Jadi nyindir nih ceritanya?” jawabku sebal.
“Halah, kaya ngaruh aja kamu kalau aku sindir, mau kemana lagi nih juragan?”
“Ke Alfamart dulu aja ya pak supir, lagi pengin beli jajanan,”
“Siap juragan!”
Setelah jalan-jalan malam mengitari jalanan Solo yang mulai melengang, sekitar tengah malam kami mampir ke Alfamart sebelum akhirnya pulang. Sesampainya di rumah, kita tak langsung terlelap, sambil ditemani berita tengah malam kami ngobrol naglor-ngidur, membahas apapun, dari yang penting sampai nggak penting. Barulah saat hampir jam 2 pagi kami memutuskan untuk mengakiri hari itu dalam lelap.
Saat kami beranjak ke kamar, tiba-tiba Willy mengajak untuk tidur di atas sofa saja, kebetulan sofa di ruang tengah berukuran besar, jadi cukup untuk menampung tubuh dua orang dewasa. Seperti biasa, Willy mencopot semua pakaian di tubuhnya saat aku datang dari kamar membawa bantal dan selimut tebal, ia lalu membuka lengan lebar-lebar dan langsung mendekapku erat saat aku menghambur memeluknya. Selain telanjang, ada kebiasaan baru lain saat Willy tidur, yaitu mendekapku erat. Menempatkan kepalaku diantara dada dan lehernya.
Sekitar jam tujuh pagi aku terbangun, aku singkap lengan besar Willy dan selimut tebal dari tubuhku sehati-hati mungkin agar dia tak terbangun. Jika Willy mempunyai kebiasaan baru yaitu memeluk tubuhku erat saat tidur, aku juga mempunyai kebiasaan baru, yaitu memandanginya saat terlelap.
Ada rasa tenang yang timbul saat melihatnya memejamkan mata, saatku mengurut pelan garis-garis di wajahnya, memperhatikan dengan jelas dagunya yang ditumbuhi cambang kehijauan, memandangi warna gelap di sekitar cekungan matanya, mengamati bibirtipis merahnya yang mulai menghitam karena putung rokok yang berlebihan. Sensasi tenang, nyaman dan membuai inilah yang selalu jadi sarapan utamaku tiap pagi saat ia tidur disini. Sensasi yang mampu membuatku terus tersenyum hingga siang nanti.
Ada orang yang mengatakan jika cinta itu gila, irasional, dan membuat IQ turun beberapa point, untuk hal itu aku setuju. Ada rasa kagum yang aneh saat melihat orang yang kamu cintai habis-habisan melakukan kegiatan orang kebanyakan. Contohnya seperti saat aku melihatnya terlelap, membasuh muka setelah bangun tidur, caranya mengosok gigi, dan banyak hal kecil lainnya. Kegiatan normal yang remeh, tapi jika hal itu dilakukan oleh orang yang kamu cintai dengan cara yang menakjubkan, hal itu berubah menjadi kegiatan yang kau damba untuk peroleh bahagia.
Setelah cukup mengeyam keindahan di wajahnya, aku langsung semangat mengerjakan banyak hal. Mulai dari menyiapkan kopi untuknya, membersihkan diri, menyapu halaman rumah, mencuci baju, menjemur pakaian, dan mengepel lantai, menyirami tanaman di halaman depan dan belakang rumah. Semuanya aku lakukan dengan hati gembira.
Ia terbangun saat pekerjaanku selesai, “Rajin banget sih kamu Bell, bangun jam berapa tadi?” katanya dengan nada kelelahan.
“Jam tujuan tadi Will,”
“Lha kok nggak bangunin aku?”
“Nggak tegalah, pules banget soalnya kamu,”
“Oh,’ jawabnya singkat, mencari-cari bungkus rokok di sekitarnya, “rokokku mana Bell? Kok nggak ada?”
“Aku buang, kan udah habis,”
“Masa sih?” ungkapnya dengan mimik wajah penuh lelah.
“Ya kalau masih nggak mungkin aku buanglah Will,”
“Yah, pagi-pagi gini kalau ngopi nggak ditemenin rokok nggak asik nih,” katanya memberi kode.
“Yaudah, aku cariin rokok di warung depan dulu,”
Senyum langsung terbesit di wajahnya, “Aku nggak nyuruh lho ya,”
“Kamu nyuruhpun aku tetep mau kok Will, sekalian mau beli bumbu buat nasi goreng soalnya. Nanti kamu yang masak ya?”
“Kalau urusan masak, beres. Serahin aja semuanya sama aku,” katanya sambil beranjak ke kamar mandi.
Ia selesai mandi saat aku sedang mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat nasi goreng, dalam posisi telanjang ia menyusulku di dapur. Memelukku dari belakang dan mengecup pelan tengkukku, menimbulkan sensasi merinding yang membuat tubuhku mengelinjang selama beberapa saat.
“Kamu sekali-kali pakai baju kek di rumah,” protesku sambil memotong sosis,“jangan telanjang melulu,”
“Lha kenapa emangnya?” jawabnya santai, menghampiri kulkas dan menenggak air mineral disana,“Kamu risih aku nggak pake baju kaya gini?”
“Aku sih nggak ada masalah sama itu, tapi ya nanti kalau ada tamu atau nggak Andi tiba-tiba dateng kesini sama anak-anak kan jadinya runyam Will,”
“Andi kalau mau kesini pasti ngabarin dulu dong,” jawabnya ngeyel,“dia kan juga jaga hubungan kita biar orang-orang nggak tahu Bell. Lagian kalau cuma Andi yang lihat juga nggak masalah, kalau perlu kita panjang-panjangan terus kamu yang ngukur,” tambahnya cengengesan.
“Dasar bego, ya nggak gitu jugalah. Ini juga masih rumah dia kali, mau ngabarin apa enggak kan dia masih punya kunci serep rumah ini, terserah dia dong?”
“Katanya rumah ini udah sah punya kamu Bell?”
“Iya kalau udah lunas. Nyicil aja baru tiga kali Will,”
“Kamu pake boxer doang kan nggak masalah,”
“Nggak mau ah, aku lebih nyaman telanjang gini kalau di rumah. Kalau kena angin sensasinya semilir,”
“Emangnya kenapa sih kamu seneng banget telanjang gitu di rumah?”
“Ya kebiasaan dari kecil aja sih Bell, kalau kamu nyuruh aku pakai baju sama aja kamu nyuruh aku makan pake tangan kanan. Ribet! Nggak nyaman. Kebiasaan dari kecil itu susah ya kalau mau diubah,”
“Lha emang ibu sama kakakmu nggak masalah lihat kamu kaya gitu mondar-mandir rumah?”
“Ya kalau di rumah sekarang aku pake boxer Bell, trauma soalnya,”
“Kamu trauma? Yang bener?” kataku dengan nada mengejek, Willy? Bisa trauma?“gimana ceritanya? Kalau kamu disana mau pakai boxer kenapa disini enggak?”
“Ada deh, mau tahu aja.”
“Argh!!! Willy mah gitu,cerita dong.”
“Kapan-kapan aja,”
“Aku maunya sekarang Will, penasaran banget nih, masa seorang Willy yang urat malunya udah putus bisa trauma juga?”
“Trauma nggak cuma bisa dihubungin sama rasa malu kali Bell,”
“Tahu Will, paham, udah deh cerita aja,”
“Oke-oke aku cerita. Jadi hari itu aku pulang pagi, soalnya habis ada acara sama anak-anak, mabuk berat gitu deh pokoknya. Pas nyampe rumah, aku copot baju terus tidur. Nah, aku bangun pas kebelet pipis, aku langsung turun ke bawah aja, sekalian ngambil makanan di dapur. Nggak tahunya di bawah ada ibu-ibu Rtku mau ngaji di rumahku, mereka shock liat aku nggak pake baju sama sekali, bahkan ada yang sampe teriak pas aku lari balik ke kamar. Ngumpet. Malem harinya aku dimarahin ibuku habis-habisan, bahkan hampir satu bulan aku kalau libur nggak mau keluar rumah,”
Tawaku meledak hebat saat mendengar dan memvisualisasikan apa yang baru saja ia katakan, “Gila! Serius kamu telanjang dilihatin ibu-ibu yang mau ngaji?”
“Seriuslah! Untungnya sih baru dikit aja yang dateng. Kalau semua udah dateng bakal brabe bangetlah Bell,”
“Hidupmu kok kocak banget sih sayang?” kataku masih dengan tawa yang membuncah hebat.
“Kocak, konyol, bego, tolol, percaya deh Bell. Kata-kata itu artinya sama, Cuma beda kasta aja,” jawabnya tanpa beban, “kalau kamu tanya alasan personal kenapa aku telanjang kaya gini, jawabannya simpe. Karena aku suka sensasi bebas, lepas dan apa adanya aja. Aku ingin kamu melihatku hanya sebagai sesama manusia, bukan manusia yang melindungi diri atau membuat kesan dari apa yang dia kenakan,”
“Tapi kalau kamu ingin membuatku melihatmu sebagai sesama manusia, nggak usah pakai aksi telanjang kaya ginipun aku udah lihat kamu sebagai sesama manusia kok Will,” balasku penuh perasaan, “karena hal itulah yang membuatku jatuh cinta sama kamu, karena kamu menerimaku dengan segala kondisiku, nggak berusaha untuk merubahnya atau berusaha memperbaikinya, tapi yang paling penting, kamu memanusiakan aku saat banyak orang nggak melakukan itu,”
“Baru juga bangun tidur belum sarapan, udah ngajakin ngobrol berat aja nih,”
“Ya kamu sih ngarahin topiknya ke sana. Yaudah, silahkan nikmatin singasana dapurmu, tolong buatin nasi goreng ya nikmat ya sayang! Semangat!” kataku sambil meninggalkan dapur. Ia sama sekali tak suka diganggu jika sedang memasak di dapur, baginya, memasak itu bagai ibadah sebelum menyajikan karya untuk orang tercinta.
Sambil menyeruput kopi, aku berjalan ke arah ruang keluarga, mengambil sebuah CD bertuliskan “Semangat Pagi”, CDberisi kompilasi lagu-lagu pembangkit semangat pagi hari dari dalam laci dan memutarnya dengan suara kencang. Meraih tablet di atas meja, bersandar di sofa lalu mulai membaca berita-berita onlinedari website CNN.


Kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: