Pelepasan Remah 17

2:38:00 AM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 17


Kisah sebelumnya klik disini


Willy menyusulku saat aku hampir selesai mandi, dibawah kucuran bulir-bulir air dari shower ia memelukku dari belakang dan mengecup tengkukku hingga membuatku mengelinjang akan kelakuannya, “Kamu seneng banget sih meluk aku dari belakang,” tanyaku sambil terus menyabuni diri.
“Ya karena hanya lewat cara itu aku yakin bisa memilikimu sepenuhnya,”
Cukup dengan satu kalimat ia membungkam bibirku yang seringkali tak terkendali saat berucap. Aku memutar tubuhku dan memeluknya lama, tanpa kecupan dijidat, atau ciuman dilidah. Ia, adalah orang yang membuatku bersyukur akan banyak hal. Bagiku, satu kalimat indah dipagi hari adalah amunisi untuk menghabisi rintangan sepanjang hari.
“Aku milik kamu sepenuhnya Will,” bisikku penuh perasaan dalam peluknya. Posturnya yang tinggi menjulang, dan tinggiku yang hanya sepundaknya adalah satu hal yang aku syukuri. Saat kami berpelukan, kepalaku selalu bersandar di depan dadanya yang bidang dan gempal. Salah satu anggota tubuhnya yang paling aku suka, karena mampu memberikan perasaan nyaman.
Pelukan jugalah yang akhirnya bisa menyalurkan perasaan saat kata-kata tak lagi mampu mengungkapkan rasa bahagia yang meletup indah di dalam dada, perasaan haru yang begitu hebat, dan beragam beludak rasa lainnya yang membuatku hanya bisa melampiaskan lewat sebuah pelukan.

. . . . # # # . . . ...

Jika banyak pasangan yang merayakan hari jadi selama satu tahun di restauran mewah atau dengan jalan-jalan ke tempat wisata untuk mengumbar kemesraan, hal itu tak bisa berlaku untuk kami. Kami merayakan hari jadi dengan tidak bertemu dan tidak berhubungan sama sekali selama kurang lebih satu minggu dan kemudian merayakannya di rumahku tanpa hadiah satupun.
Pagi hari tepat saat hari jadi kami, Willy datang membawa satu kardus lilin berwarna putih dengan berbagai ukuran, seikat bunga mawar dan dua plastik besar berisi bahan makanan. Sedetik setelah pintu tertutup, aku langsung menghambur memeluknya. Aku kangen banyak hal darinya, aku rindu bau tubuhnya, kebiasaannya, hadirnya.
“Baru nggak ketemu seminggu aja kangennya udah sampe ubun-ubun Will,” kataku sambil mendekapnya erat.
“Tapi kalau aku pameran kan kadang lebih dari itu Bell,”
“Tapi kan kalau ini beda sayang,” ucapku sedikit manja,“pertama karena kita nggak boleh berhubungan sama sekali, nah, pas kamu pameran kan kita telefonan terus sampe subuh. Terus yang kedua, karena kita bakal ngabisin waktu bareng setelah seminggu nggak ketemu dan nggak berhubungan sama sekali.”
“Iya-iya paham, mau langsung dekor sekarang?”
“Yaiyalah!”
Setelah memindahkan sofa ruang tengah, dan mengelar karpet tebal di pusat ruangan, aku langsung memasang lilin-lilin diberbagai tempat dan Willy mulai sibuk didapur membuat berbagai masakan untuk hari spesial kami ini.
Saat hari mulai petang dan matahari berganti kelamnya malam, satu-persatu lilin yang mengitari karpet tebal di tengah ruangan mulai aku sulut dengan api agar suasana semakin semarak, sayup-sayup alunan musik akustik menjadi latar belakang kegiatan kami. Sebuah meja di tengah ruangan mendadak penuh saat Willy mulai memindahkan berbagai masakannya ke ruang tengah.
“Lho kok ada kue ulang tahun segala?” tanyaku kebingungan saat melihat ia membawa kue ulang tahun berbalur krim berwarna putih dengan lilin angka satu di tengahnya. “akukan mintanya makan malam biasa aja,”
“Ya kan yang ulang tahun hubungan kita,” jawabnya simple, “sekali-kali nggak masalah kan sayang? Seminggu kemarin ngapain aja?”
“Ngelakuin banyak hal yang ada di list itulah,” jawabku penuh semangat, “dapet ide darimana sih kamu?”
“Ya pengen ngelakuin perayaan yang beda aja sih Bell. Setahun ini kan kita barengan terus, kamana-mana berdua, nggak pernah pisah. Nah, aku pengen sekali aja kita nggak barengan. Kita ngabisin waktu sendiri tanpa pasangan. Waktu khusus untuk diri kita sendiri dan sahabat-sahabat terdekat. Barulah setelah satu minggu kita nggak ketemu, nggak berhubungan sama sekali. Kita ngerayain satu tahun hubungan kita berdua aja,”
Setelah steak spesial tandas dari piring, Willy membawa dua buah botol anggur dari arah dapur. Bulir-bulir air disekitar botol kaca terasa begitu menggairahkan untuk segera dikecap. Sesuai kesepakatan, malam itu kami tak saling memberi hadiah berupa barang, tetapi menghadiahkan diri sendiri untuk pasangan.
Musik akustik tak lagi menyapa gendang teligaku saat denting gitar mulai bergema di tengah ruangan. Sambil menyulut batangan rokok, ia memainkan lagu Lovesong hasil coveran Adele, Bila Aku Jatuh Cinta dan lagu Sempurna sebelum akhirnya kami bercerita kegiatan kami satu minggu terakhir sambil menyanyikan banyak lagu cinta bersama-sama.
Usai makanan tergilas asam lambung dan bulir-bulir fermentasi anggur menguasai molekul-molekul darah, Willy membopongku dalam pelukannya, aku memagut bibir tipisnya dan sesaat kita meneguk manisnya asmara. Di atas tempat tidurku ia turunkan tubuhku dengan pelan, saling melumat dalam jangka waktu yang lama dan bergegas melucuti baju masing-masing.
Bibirku bergetar dan jantungku berdetak kencang saat menatap mata Willy, untuk pertama kalinya aku melihat sorot matanya yang liar dan terlampau nakal terlumat habis birahi. Malam itu, di depan tubuh telanjangnya aku pasrah, dari belakang telinga, leher, puting susu, pusar dan selakangan semuanya ia kecup dan gigit-gigit kecil hingga membuatku tak kuat menahan nikmat yang begitu hebat.
Setelah mencupang bibirku beberapa kali, ia mulai memasang kondom di penisnya, mengoleskan cairan pelumas di kondomnya dan di selakanganku. Permainan lidah liarnya di spot-spot orgasmik membuatku terus menerus mengerang perlahan menahan rasa nikmat. Sambil memeluk dan memagut bibirku kasar, Willy mulai memasukkan penisnya ke lubang pantatku. Rasa sakit dan perih yang membakar membuatku merintih kesakitan. Berulang ia terus berusaha memasukkan batang kemaluannya ke duburku, saat aku meronta dan berusaha menarik tubuhku menjauh dari pelukannya, ia langsung menarik kembali tubuhku ke dalam pelukannya, menambah keliaran permainan lidahnya dalam mulutku.
Teriakan panjang antara leguhan penuh nikmat dan sakit terdera karena rasa panas di selakangan menjadi pertanda saat tubuh kami bersatu. Deru nafas Willy terdengar tak beraturan saat ia mulai menggerak-gerakan batang kemaluannya di selakanganku. Aku merintih, ia berdesis penuh nikmat, aku kesakitan, ia meleguh penuh kepuasan, tapi beberapa menit kemudian hanya ada desah penuh nikmat yang menggema.
“Bell, aku copot ya kondomnya,”
“Kenapa emangnya Will?” jawabku ngos-ngosan.
“Kurang nikmat kalau pake kondom,”
“Terserah kamu deh, ngikut kamu aja,”
Rasa rindu yang begitu bertalu membuat seks kali ini begitu liar, aku cukup kesulitan mengimbangi Willy yang nampak seperti orang kesurupan. Setelah membolak-balik tubuhku beberapa kali, ia menggedongku, memposisikan tubuhku agar duduk di atas tubuh terlentangnya, menindihiku, mengangkat tubuhku ke udara. Beragam gaya kami coba, dari yang romantis hingga buas kita lakukan demi kenikmatan.
Banjir keringat membuat bunyi kecipak saat kulit kami bertemu, sudah dua kali penisku menyemburkan sperma tapi Willy masih ingin terus berpadu denganku. Dengus nafasnya mulai satu-satu hingga akhirnya dia hanya diam memelukku, keringat deras mengalir, detak jantungnya terpacu kencang dan kurasakan semburan berulang di dalam anusku. Kecupan-kecupan ringan terus ia daratkan dikulitku hingga detak jantungnya normal dan nafasnya tak lagi ngos-ngosan.
Rasa panas dan perih masih setia mengitari lubang duburku saat penis Willy mengempis ke ukuran semula. Leguhan panjang dan buangan nafas berat mengakiri seks kami pada malam itu. Derai keringat membuat kulit kami luar biasa lengket dan lembab, setelah mengatur nafas beberapa saat, Willy mulai berganti posisi. Ia merentangkan tubuh besarnya di atas tempat tidur dan mendekapku dalam pelukannya, ia kecup jidatku lama sebelum akhirnya aku hanya bisa memejamkan mata di atas dada kenyalnya yang penuh keringatnya. Rasa lelah yang begitu dahsyat tiba-tiba mendera tubuhku, saat Willy mengajakku untuk membersihkan diri di kamar mandi.
Saat akan menyusul Willy di kamar mandi, beberapa kali aku menghentikan langkahku. Gesekan kulit selakangan saat aku berjalan terlampau perih untuk diabaikan, tubuhku bergetar saat sensasi terbakar itu kembali menyeruak dari selakanganku.
“Sayang, kamu kenapa?” tanya Willy memergokiku kesakitan, ia langsung beranjak dari kamar mandi, memanggulku kembali ke atas ranjang. Memintaku nunging di depannya dan memeriksa dengan seksama pantatku.
“Aku nggak apa-apa Will,” jawabku bohong.
“Nggak apa-apa gimana? Lecet gini lho pantatmu. Maafin aku ya kalau tadi mainnya kasar sama kamu,” katanya penuh penyesalan, “cepetan bersihin diri dikamar mandi, terus kita periksa ke dokter,”
“Ini udah jam sepuluh malem Will, mana ada dokter buka jam segini?” balasku realistis, aku tak mau jika harus ke rumah sakit karena hal ini.
“Aku punya kok temen dokter, dia pasti mau bantuin kamu sekarang,” jawabnya cepat, “bentar, aku telefon dia dulu,” tambahnya cemas.
Saat Willy menelfon temannya, aku berjalan pelan ke kamar mandi sambil sekuat mungkin menahan rasa panas yang masih bercokol hebat diselakanganku. Ketika aku selesai membersihkan diri dari kamar mandi, Willy sudah berganti pakaian dan menyiapkanku pakaian untuk periksa.
“Udah deh Will, besok juga udah baikan lho. Nggak usah cemas gitu kenapa?” selorohku mengajaknya bercanda. Tapi raut wajah seriusnya sama sekali tak bisa diabaikan, membungkam mulutku dan memutuskan untuk menuruti semua kemauannya.
Dan esok harinya adalah hari yang menjengkelkan, prostatku memang lecet karena gesekan penisnya yang terlalu kencang. Dari teman dokternya itu kudapat obat pereda nyeri dan salep, bahkan pagi harinya aku sudah merasa baikan. Tapi Willy memperlakukanku bagai orang lumpuh.
Ia tak memperbolehkanku turun dari ranjang, diatas ranjang aku tak memakai celana, hanya berselimut sarung saja dan Willy melayaniku apapun padahal aku sama sekali tak butuh pelayanannya. Bahkan dengan kondisi seperti itu aku yakin kalau aku bisa kerja di Reve seperti biasanya. Tapi aku malas berdebat dengan Willy sekarang, dia akan berubah menjadi pribadi yang sangat galak dan menjengkelkan jika tak dituruti permintaannya.


Kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: