Pelepasan Remah 18

2:39:00 AM Admin 0 Comments





Pelepasan
Remah 18


Kisah sebelumnya klik disini


Ada yang berbeda dengan wajah minggu pagi itu, entah karena apa kita berdua sama-sama terbangun menjelang subuh, saat pagi menguarkan udara yang membuat tubuh mengigil. Satu dua kali angin bertiup, mengecap kulit kami dengan sentuhan udara yang membuat bulu kuduk berdiri. Setelah bangun, Willy langsung beranjak ke almari, mencari baju untuk melapisi tubuhnya dari dinginnya udara subuh itu.
Saat kubuka daun jendela dapurku, udara pagi langsung menyeruak, mengetuk-ngetuk lubang hidungku. Kuhirup udara pagi itu dengan serakah, sekedar membuat rongga dadaku merekah dengan kenikmatan udara yang tersaji pagi itu. Sebagian langit masih tertumpuk awan hitam, tapi kebanyakan sudah tergerus habis, sebentar lagi cakrawala menutup malam.
Usai mencuci muka, mengosok gigi, mencuci piring dan gelas lalu menyampu lantai, kuhamburkan tubuhku ke halaman depan rumah, tanpa alas kaki, kusapa alam.Membisiki tanaman, menyapa kembang yang aku tanam. Kusibak lagi telapak kakiku menyusuri rumput tempat embun pagi bersemayam, kuhayati benar sensasi saat embun-embun pagi itu menyentuh jai-jari kakiku. Usai menyirami tanaman dihalaman, kutanggalkan ranting dan daun-daun layu dan aku semayamkan di tempat sampah.
Kunikmati lagi aroma pagi itu, sisa-sisa kabut masih memenuhi sekat-sekat udara dingin yang menguarkan hawa sejuk dan segar yang terlampau kuat untuk diabaikan. Ah, nikmatnya. Jauh di batas langit, garis-garis cahaya matahari mulai menembus awan, perlahan menandaskan malam yang tak lagi kuasa menebarkan jaring-jaring kelam.
Dengan membawa dua buah cangkir berisi kopi hangat, Willy menghampiriku memakai kaus polos tanpa lengan dan boxer tipis berwarna biru kelam. Ia lalu duduk diatas ujung keramik yang menjadi tapal batas antara teras dan halaman rumah, menyiksa pantatnya meresapi dinginnya udara yang tersimpan di dalam ubin berwarna abu-abu, “Berrr... ademe ra nguati,” katanya dengan nada jenaka, “aku buatin kopi spesial nih buat kamu. Dua sendok kopi, satu gula, nol krimmer,”
“Lho kok nggak tiga kopi, satu gula, nol krimmer?” protesku.
“Sekali-kali beda nggak masalah, buat semesta yang berani tampil beda pagi hari ini,” jelasnya kusetujui dengan anggukan pelan.
Kuhirup aroma kopi buatan Willy sebelum akhirnya kuseruput pelan, lidahku berkecap-kecap karena sensasi rasa yang nikmat sebelum akhirnya kusiramkan kopi hangat itu ke dasar lambung, “Tumben banget ya, kita bisa bangun pagi barengan gini,”
“Ya kalau hawanya nggak sedingin ini juga nggak bakal bangun lagi,” sahut Willy ringan, menyulut batang rokok sambil sesekali menyesap cangkir kopi di sampingnya, “semprul tenan kok, ngasi ndrodok awaku mau,
“Tapi dinginnya seger banget Will,” jawabku sambil mengulas senyum untuknya, memainkan telapak kakiku diantara rumput jepang yang tebal, “sejuk gitu rasanya,”
“Gimana nggak sejuk? Orang kamu jalan ke taman nggak pakai sendal. Deloken wae nak ngko koe midak tai kucing,” jawab Willy sengaja membuatku jengkel.
“Aku mau jawab semua pertanyaanmu,” ucapku pelan menyedot habis perhatian Willy, “satu-persatu secara detail,” aku tahu kalau dia sudah lama menunggu saat-saat ini.
Dengan sorot mata tak percaya Willy menatapku, “Jangan bilang gara-gara kamu ngerasa aneh pagi ini terus kamu ikut-ikutan bertingkah aneh kaya gini?”
“Ya enggaklah Will, nggak sesimpel itu juga kali pemikiranku,” jawabku serius, “tapi kadang emang sesimpel itu juga sih pemikiranku,” tambahku dengan senyuman maut.
“Lha terus?”
“Ya karena aku udah lama mikirin ini semua,” jawabku mantap, “mungkin ini saatnya aku cerita semuanya sama kamu,”
Lalu mengalirlah semua sampah, kenangan dan kisah di hatiku. Kuceritakan semuanya mulai dari saat aku SMP, saat aku mulai merasakan berbagai keganjilan di dalam diriku. Saat aku mulai sadar kecenderunganku dan mulai menyangkal berbagai hal, titik dimana aku mulai kalut dengan orientasi seksual dan agama warisan dalam keluargaku.
“Satu hal yang membuatku bertahan waktu itu adalah Andi. Aku nggak tahu kata yang tepat buat ngegambarin dia, tapi dia adalah segalanya buatku. Saudara ciptaan alam yang tahu bagaimana hidupku jumpalitan hingga akhirnya mulai menetap seperti sekarang Saksi saat aku tahu orientasi seksualku, menyangkalnya, mengakuinya dan mulai menerimanya. Dia juga saksi yang tak mempermasalahkan sudut pandangku tentang agama. Sahabat yang nggak bakalan menghakimi apapun pilihanku, menghargai pilihanku dan selalu siap sedia kapanpun aku butuhkan. Dan jika harus aku mati untuk seseorang, maka seseorang itu adalah Andi,” kataku sambil mengenang.
Willy tertawa mendengar kalimat terakhirku, “Tahu nggak Bell, hal konyol yang ada di fikiranku saat lihat kamu sama Andi?”
“Apa emangnya Will?” sahutku cepat.
“Aku cemburu banget sama dia,” jawab Willy mengejutkanku, “aku cemburu liat interaksi kalian, tapi juga iklas kalau kamu sama dia. Bukan iklas ngerelain kamu buat pacaran sama dia lho ya, tapi iklas yang memposisikan diriku agar berhati lapang gitu lho. Sulit jelasinya,” tambah Willy kebingungan.
“Paham kok Will, aku paham kok sama sifat-sifat posesifmu.”
“Ini bukan cuma posesif Bell, tapi tentang merelakan karena dia yang terbaik. Kalau kamu rela mati buat Andi, aku juga cuma rela kalau kamu sama dia doang. Kalau sama selain dia bakal aku libas semuanya, Ya gitulah pokoknya. Ngerti nggak?”
“”Nggak,” jawabku terbahak. Aku senang melihatnya kebingungan menentukan rasa seperti ini. Kikuk yang aneh.
Yo wes lah nak ra ngerti,” jawabnya malas.
“Tapi intinya aku sayang banget sama kalian berdua. Nggak bisa milih antara kamu apa Andi, karena kalian sama-sama berarti,” ungkapku sungguh-sungguh, “banyak pelajaran yang aku dapat setelah atau sebelum aku menerima diriku kalau aku Gay. Banyak banget masalah yang kadang bikin aku ngerasa kalau belum saatnya aku ngalamin itu semua, banyak banget orang yang datang dan pergi dari hidupku Will, dari yang suka memanfaatkan, yang datang pas lagi kesusahan doang, teman yang cuma sebatas kenalan dari dulu sampai sekarang, temen yang ada pas aku seneng doang, dan banyak hal lain yang buat aku sadar kalau mendingan cuma punya sahabat deket dua doang yang bener-bener bisa diandalin daripada punya dua ribu sahabat tapi nggak bisa diandelin sama sekali. Aku bener-bener butuh orang yang bakal ngingetin aku atas apapun pilihanku,”
Kuseruput kembali kopiku yang tak lagi terasa hangat dilidah, “Awal-awal SMA aku mulai cari-cari segala hal tentang homosexual dari website, berita, buku, majalah dan lain-lain hingga aku paham kalau itu bukan penyakit dan nggak bisa disembuhkan. Homosexual itu berproses secara alami di dalam diri kita, kaya pas kita punya mimpi. Sealami itulah yang aku alami, aku nggak punya kejadian traumatik pas kecil, aku tumbuh dilingkungan yang baik, lingkar pendidikan yang baik, tapi kenapa aku jadi seperti ini?Menjadi sosok cacat dari sudut pandang banyak orang. Aku berontak, aku nolak, tapi semua itu cuma buat aku lelah. Bikin hatiku ngerasa capek sendiri. Pada akhirnya, dalam peristiwa seperti ini, kita hanya bisa nerima itu semua. Menjadi Gay itu adalah takdirku, ini proses alamiah dan natural. Aku sadar kalau di Indonesia sampai kapanpun nggak bakal ngesahin jenis kelamin ketiga atau pernikahan sejenis, karena banyak banget lapisan yang harus kita hadapi disini. Tapi jauh di lubuk hatiku aku juga pengen banget Indonesia sedikit membuka pikiran untuk itu semua. Bagiku kalau Indonesia bisa nerima itu semua, itu adalah langkah besar untuk negara ini. Aku ingin orang-orang sadar kalau kita nggak bisa nyembuhin itu karena hal itu bukan penyakit. Kita nggak bisa diterapi apapun, karena itu bukan sesuatu yang nggak beres juga soalnya. Tepat pada saat aku berhenti berontak, berhenti menolak, disanalah aku mulai menerima itu semua, titik dimana dunia mendadak memiliki wajah yang berbeda,”
“Beberapa kali aku denger kamu ngigau Bell pas tidur,” kata Willy pelan, berjaga-jaga jika hal itu masih mengusik hatiku, “kamu bilang nggak mau jadi orang munafik sama nggak mau tertekan lagi. Niatnya sih aku pengin tanya sama kamu pagi harinya, tapi pas liat air matamu, aku nggak jadi tanya soal itu semua,”
“Kamu lihat aku nangis pas lagi tidur?” tanyaku memastikan.
“Iya Bell,”
“Kapan?”
“Udah lama sih, pas awal-awal kita jadian kok,”
“Oh, gitu, mungkin pas itu alam bawah sadarku belum sepenuhnya terbebas sama hal-hal itu,”
“Hal yang gimana Bell?”
“Rasa muak, tertekan dan munafik yang aku hadapi setiap hari pada akhirnyalah yang membuatku berani mendobrak banyak hal. Dulu aku tipe anak rumahan yang nurut sama orang tua Will, tipikal anak baik-baiklah pokoknya. Sering menang lomba, bisa diandalkan, juara kelas, ikut banyak kegiatan sosial, seneng belajar, gimana nggak seneng coba orang tua yang punya anak kaya gitu?” sekelebat ingatanku melayang-layang kemasa lalu, “tapi satu hal yang membuat orang tuaku cacat dimataku Will, karena mereka nggak pernah memerlakukanku sebagai sesama manusia. Mereka menganggapku kaya patung lilin yang bisa mereka arahin sesuka hati. Dari dulu mereka memperlakukanku sebagai seorang anak yang hanya dan harus nurutin semua keinginan mereka. Mereka nggak pernah ngelihat banyak hal, dari sudut pandangku atau sekedar mempertimbangkan bagaimana perasaanku. Padahal keinginanku simpel lho, cuma pengin dianggap manusia aja di depan mereka, bukan hanya sebagai anak dan orang tua, tapi sebagai sesama manusia aja. Simpel kan?”
“Gagalnya mereka melihatku dari sudut pandang itu, semakin parah dengan banyaknya hal yang bikin aku muak sama keinginan mereka. Les-les yang dari dulu nggak pengin aku pelajari, kegiatan-kegiatan yang sama sekali aku tak mengerti, tambahan-tambahan pelajaran yang tak berarti. Hingga akhirnya aku ngerasa kalau aku hidup sebagai orang lain di dalam hidupku sendiri. Aku mereka bentuk menjadi sosok yang mereka inginkan, anak yang mereka dambakan tapi kosong dan hampa. Hampa yang menyakitkan. Hampa dan perasaan kosong itu juga yang buat aku ngerasa kalau prestasi, peringkat atau juara tak punya harga lebih saat aku tahu betapa sulit dan mahalnya untuk menjadi diri sendiri,” air mataku menetes pelan dari kelopak mataku, jatuh cepat melewati pipiku, membawa luka lama yang masih bersemayam di dalam diriku.
“Aku tahu kalau di umur itu, dimasa itu kita masih mencari-cari jati diri, tapi aku juga paham kalau gay itu sampai kapanpun akan tetap jadi bagian dari jati diriku. Kaya bayangan diri kita pas lagi jalan gitu. Perlahan, aku nyaman dan mulai nerima apa adanya semua itu. Tapi sisi lain aku juga muak, kalut, dan ngerasa pengecut banget karena nggak bisa ngungkapin itu semua sama orang tuaku. Aku nggak berani ngelawan rasa takutku sendiri, nggak berani ngelawan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Tapi baru sekarang aku maklum sama sifat pengecutku itu, aku nggak lagi nyalahin diriku sendiri karena hal itu. Aku mikir kalau itu adalah proses yang harus aku lalui.
“Sejak dulu aku ngerasa kalau agama itu bukan sesuatu yang penting dan patut untuk diprioritaskan. Aku percaya tuhan, tapi aku nggak suka aturan-aturan yang diciptakan. Aku terlahir di keluarga Islam tulen dan kita sama-sama paham kalau agama Islam sama sekali nggak ngasih celah untuk golongan homosexual kaya aku gini. Kadang aku juga mikir kenapa sih tafsir-tafsir Al-Quran itu sudut pandangnya terlalu heterosexual banget? Serasa nggak ngasih ruang buat orang dengan orientasi sexual berbeda dari kebanyakan orang. Lagian juga homosexual juga udah ada sejak zaman nabi. Padahal kan agama itu harusnya menjadi sumber kedamaian seseorang, tapi kenapa aku semakin tertekan di dalam rumah? Kenapa aku yang sudah diatur-atur dirumah, disekolah dan masyarakat masih juga diatur-atur sama hal lain lagi? Harus gini, harus gitu, nggak boleh gini, nggak boleh gitu. Aku kan muak sama semua itu. Aku capek di tekan terus. Sampai sekarang, aku hidup tanpa agama, dan hidupku baik-baik aja kok, yang penting aku nggak jahat sama orang lain, nggak ngerugiin mereka, nggak nambah beban mereka, dan yang paling penting, aku memanusiakan mereka.
“Aku sadar sebenernya Will kalau aku itu sebenernya tipe orang berkepribadian rumit, tekanan dari keluarga dan lingkunganlah yang pada akhirnya membuatku menyembunyikan banyak hal tentang diriku sendiri. Di indonesia, nggak ada institusi yang mengajarkan orang untuk menjadi diri sendiri. Dulu, aku mimpi bangun sekolah dimana kita diajarkan untuk mengenali diri sendiri dan bangga menjadi diri sendiri lho Will. Mungkin ini konsekwensi karena aku selalu diajari untuk menjadi orang lain, menjalani kegiatan orang lain, hobby orang lain, berfikir seperti orang lain, bertingkah seperti orang lain dan harus menjadi orang lain hingga kadang-kadang aku ngerasa kalau orang lain itu aku dan aku kehilangan diriku sendiri.
“Itu salah satu faktor yang membuatku semakin muak sama banyak hal di kehidupanku, tapi aku juga nggak bisa ngelakuin apa-apa. Aku ngerasa pengecut banget saat-saat itu, tapi apa yang aku pendam selama beberapa tahun pada akhirnya meledak juga. Coba deh Will kamu bayangin, dengan usia seperti itu, pergulatan batin seperti itu, aku yang terlalu takut dan pengecut untuk membantah perintah orang tua, dan tetep nggak mau buat mereka kecewa. Mengorbankan diriku sendiri untuk terus-terusan terluka. Apalagi kalau sifat penyendiriku kumat, semua itu membuatku makin frustasi dan tertekan.
“Sampai ada fikiranku buat bunuh diri, aku nggak kuat hidup seperti itu terus-terusan. Tapi akhirnya aku mikir ulang lagi, daripada aku bunuh diri, mendingan aku hidup jadi diri sendiri. Bahagia untuk diri sendiri, cuek sama pendapat orang lain. Menjadi orang yang bebas dan merdeka. Aku berusaha untuk merubah tekanan itu menjadi sesuatu yang lebih positif dan produktif. Aku yang sudah dibiasakan oleh orang tuaku untuk menabung dari kecil, lebih giat menabung lagi dan mulai berusaha untuk terus memutar uang yang tak seberapa itu. Dengan Andi, aku mulai berwiraswasta dengan keinginan simpel, yaitu berpenghasilan lebih dari cukup dan hidup jauh dari orang tua, kalau perlu minggat sekalian dari rumah,” jelasku masih terbayang-bayang sosok remajaku yang begitu naif. Tawa dan air mataku berpadu pagi itu.
“Barulah pas lulus SMA dan mau kuliah aku jujur dengan Andi tentang diriku sendiri yang ternyata dia dan temen-temen nongkrong sudah tahu kalau aku cenderung seperti itu. Keinginan untuk hidup jauh dari orang tua makin lama makin hebat pas aku mulai kuliah dan kost di Solo sambil ngurusin banyak both kopi dan susu disini. Berbulan-bulan sebelum wisuda aku selalu bahas tentang tekad dan berbagai konsekwensi yang bakal aku terima kalau aku mengakui jati diriku. Berbulan-bulan juga kita berdebat akan segala kemungkinan yang bakal aku alami dan kebanyakan jadi kenyataan.
“Satu persatu rencana mulai aku petakan, mulai dari mengumpulkan lebih banyak uang untuk tabungan modal hidup tanpa orang tua, mencari beasiswa, menulis artikel di koran dan banyak hal lain yang bikin aku mantap sama jalan yang aku pilih ini. Apalagi both kopi dan susu yang sudah bisa diandalkan untuk hidup sederhana di Solo,”
“Dan sekarang, hampir tiga tahun aku pergi dari rumah. Aku bisa hidup baik-baik saja walau kadang masih kangen banget sama ibuku, sama ponakanku, sama ayahku. Kadang kalau lagi kangen banget sama rumah itu, aku cuma bisa nangis sendirian di kamar sampai mataku bengkak, terus ketiduran dan pas bangun sadar kalau nggak semua keinginanku bakal jadi kenyataan. Soalnya aku nggak bisa pulang ke sana lagi, aku bukan lagi anak di rumah itu dan bukan lagi bagian dari rumah itu. Kalau ditanya sedih sih, sedih banget hubunganku dengan mereka sekarang jadi kaya gini. Tapi itu semua konsekwensi atas pilihanku, harga kebebasanku menjadi diri sendiri, yaitu kelihangan keluargaku.
“Mungkin bagi kamu aku arogan, egois atau keras kepala karena akhirnya milih jalan ini. Tapi kalau difikir-fikir lagi, aku nggak bakal diposisi ini kalau aku nggak punya sifat-sifat itu dan cenderung ambisius mengejar banyak hal di dalam kehidupan. Tapi yang buat aku bersyukur, aku ngerasa sangat hidup saat ini. Aku ngerasa bahagia untuk diriku sendiri. Dan yang paling penting sekarang, aku bangga terlahir dijalan ini. Banyak hal yang harus aku korbanin dan harus aku bayar untuk kebebasan ini. Untuk menjadi orang yang merdeka. Karena itulah aku sangat menghargai setiap helaan nafasku sekarang. Aku cinta diriku yang menjadi diri sendiri,”
Lama aku terdiam, mengenang segala hal yang telah terjadi dan berlalu bersama waktu. Punggung tanganku mengilas butir-butir air mata yang terus berjatuhan. Kuhembuskan nafas perlahan, menyesap damai yang merambat pelan di dalam diri.



Kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: