Pelepasan Remah 25

1:38:00 AM Admin 0 Comments





Pelepasan
Remah 25

Kisah sebelumnya klik disini


Setelah sembilan hari tak bertatap muka dengan Willy, malam hari ke sepuluh ia langsung menghampiriku di Reve dengan wajah berbinar. Jaket biru bergambar ukiran rumit dan sepatu santai warna merah padam ia sodorkan padaku dalam balutan tas berwarna coklat tua. Setelah menungguku di Reve hingga dua jam, ngobrol dengan Andi dan bersantai di lantai dua, kita meninggalkan cafe dengan hati sumringah. Ingin cepat-cepat sampai rumah agar rindu yang melilit dada, dan membuat nafas tak beraturan cepat tandas.
Setelah mampir membeli martabak, roti bandung dan satu kresek besar berisi aneka cemilan di alfamart. Kami langsung beranjak ke halaman belakang rumah, menyalakan belasan lilin di bawah sisa jemuran yang belum kering benar. Denting gitar mengocok keheningan malam saat aku beranjak dari dalam rumah membawa Jhonie Walker dan Jack-D. Setelah lewat beberapa tengak, malam mendadak riang, dan hatiku gembira. Dimulai dari serangkaian lagu The Beatless, I Wan’t Hold Your Hand, A Day In The Life, Strawberry Fields Forever, Abbey Road Medley, While My Guitar Genty Weepss, dan Something menjadi lantunan yang begitu membakar.
All You Need Is Lovemenjadi penutup sesi pertama saat Willy mulai berceloteh tentang sembilan hari yang ia lalui di Bandung, kuletakkan kepalaku di atas pahanya saat ia bercerita tentang desaign-desaign yang ingin ia buat setelah terinspirasi banyak hal selama dua kali berturut-turut pameran. Ia bahagia industri yang membakar passion-nya berkembang pesat akhir-akhir ini.
Di bawah taburan cahaya bintang dan belasan lilin yang berjuang melawan kelam, kuperhatikan wajah Willy dari bawah, cara dia bercerita, bibir tipisnya yang berkecap saat dia mengucapkan kata, sungingan senyum saat dia berbicara dan lensung pipit di sisi kiri pipi tambunnya. Kurekam moment itu erat-erat dan takkan kulepas. Aku jatuh cinta dengannya lagi dan lagi, dan aku harap itu untuk seterusnya.
I’ll Be There milik King Of Popmerutuki malam saat aku bangkit berdiri dan mulai membebaskan diri mengikuti nada yang dipetik, hatiku bertabur kebahagiaan malam itu. Berulang aku menyimak dan ikut menyanyikan lagu-lagu yang kami tujukan untuk mengoyak keheningan malam. Kusahut rokok yang baru saja Willy sulut, aku hirup hingga masuk kerongkongan dan kuhembuskan lewat hidung. Baju yang melekat di tubuhku terlampir di tali jemuran, malam itu suasana membuatku gerah. Aku menari mengikuti alunan lagu-lagu yang dimainkan oleh Willy.
Saat tubuhku terlampau lelah untuk mengikuti irama gitar, aku merebahkan diri dan bersandar di pundak Willy, membantunya menyulut rokok sekali lagi, “Coba deh Will kamu rokok semuanya ini, kayaknya seru deh kalau di foto,” bujukku sambil mengoyang-goyangkan bungkus rokok yang masih penuh.
Ayo dijajal,” sahut Willy mengiyakan permintaanku, lalu aku keluarkan semua rokok dari dalam bungkusnya, membentuknya dalam satu lingkaran di sekitar bibir Willy dan menyulutnya. Aku terbahak melihat ekspresi wajah Willy yang konyol. Flas kamera handphone berpendar sesaat ketika aku mencupang leher Willy.
“Bagus nggak fotonya?” tanyaku sambil menyodorkan layar handphone ke arah Willy.
“Keren! Tapi lebih keren kamu kalau foto sambil nyupang selakanganku,” jawabnya jahil sambil menghembuskan asap super tebal. Flas kamera kembali berkelebat di tengah kelam saat aku menggigit bibir bawah Willy yang masih menghembuskan asap dari belasan rokok.
“Kalau ini gimana?” tanyaku lagi meminta pendapatnya.
“Mendingan kamu nyupang leherku bentuk segitiga atau melingkar seleher sekalian biar kaya kalung,” ujarnya santai, sambil menenggak minuman keras langsung dari botolnya.
Lalu kuturuti permintaannya, mencupang leher Willy dengan pola melingkar menyerupai kalung, ia masih mendesah panjang saat aku selesai, “Kaya gini?” tanyaku setelah memotret lehernya beberapa kali, menyodorkan layar handphone di depan wajahnya yang memerah.
“Sekalian di badanku Bell, bikin pola vertikal biar kaya kancing baju,” pinta Willy langsung aku iyakan setelah menenggak alkohol beberapa kali. Kuhirup asap rokok yang masih bersarang di dalam bibir tipisnya dalam sebuah ciuman penuh maksiat.
Aku tak tahu kapan tapi tiba-tiba baju dan celananya sudah tanggal menyisakan celana dalam berwarna biru kelam yang mencetak jelas kemaluannya yang mulai mengeras, “Kenapa sih Bell kamu sayang sama aku?”
“Will!” kataku setengah membentak, sesaat kemudian aku terbahak mendengar pertanyaan itu, “kita udah jalin hubungan lebih dari satu tahun, dan kamu baru tanyain pertanyaan klise itu sekarang?”lalu aku tangkupkan telapak tangan di wajah rupawannya. Mencari-cari jejak lelucon disana, tapi tidak ada, ternyata dia serius dengan pertanyaan itu. Aku cium dengan kasar bibir tipisnya.
Arep klise kek, ora kek, ra tak gagas. Penting di jawab,” jawab Willy gusar membalasku, ia gigit tipis bibir bawahku.
“Karena kamu membuatku ngerasa komplit,” kataku menerbitkan senyum di wajahnya, “aku suka sama usahamu buat dapetin perhatianku, kasih sayangku dan seluruh diriku. Aku belum pernah diperlakuin kaya gitu sama orang lain, tapi yang paling aku suka dari hubungan kita adalah proses pendewasaan kita. Kamu ngajarin aku buat jadi orang jujur, apa adanya, dan merdeka menjadi diri sendiri tapi tetap bertangung jawab sama banyak hal,” ku kecup kedua kelopak matanya sebelum melanjutkan, “karena kamu spontan, penuh kejutan dan posesif nggak ketulungan. Pas kamu lagi gila-gilaan aku nggak mau apa-apa lagi di dunia ini, Tuhan ngasih kamu buat ada di hidupku itu udah lebih dari cukup,”
“Sadar nggak Bell, kalau orang-orang kaya kamu di masa lalu itu kaya bom waktu?” tanya Willy dengan paras yang membuatku ingin mengulum bibirnya terus.
“Sangat sadar kalau tentang itu Will,” jawabku mantap, “dulu aku juga mikir kaya gitu, kalau terus-terusan tiap hari aku nimbun sampah di hati, tertekan sama banyak hal, dituntut macem-macem, aku bakal meledak dan ngancurin semuanya. Walaupun sekarang hubunganku dengan keluarga rusak, tapi ibu dan kakakku terus berusaha buat memperbaiki lagi semuanya. Ya mungkin karena aku sama ayahku sama-sama keras kepala kali ya, jadinya nggak ada yang mau ngalah,”
“Mungkin mereka penginnya kamu singgah ke rumah mereka sebulan sekali Bell, sekedar say hello atau bilang ‘yah, bu, aku bahagia dan aku baik-baik aja’ bisa aja lho. Kalau nggak kamu sekedar mampir bentar, basa-basi, terus pulang lagi ke rumah ini,”
“Sebenernya aku nggak masalah sama hal itu Will, tapi aku masih ngerasain sakit pas mau masuk komplek rumah orang tuaku. Dadaku masih sesek inget rasa sakit yang itu,”
“Ya kalau kamu ngerasa gitu pertanyaanku berubah jadi gini, sampai kapan bersikap kaya gitu? Sampai kapan kamu menghindari rasa sakit yang harusnya udah kamu atasi sebelum menjadi orang yang bener-bener bebas?”
“Sampai batinku bener-bener siap dan merekonsiliasi hubungan kami,” jawabku lantang membuat Willy terdiam, “selama tiga tahun ini, ibu sama kakakku masih menghubungiku lewat Andi, mereka pengin aku pulang ke rumah, memperbaiki semuanya. Tapi ada yang ganggu dari permintaan mereka, mereka minta aku buat memperbaiki jati diriku atau hubunganku sama mereka?” tambahku dengan sorot mata menerawang, “kalau mereka nyuruh aku buat perbaiki jati diriku sebagai gay, itu nggak mungkin. Tapi kalau mereka mau aku perbaiki hubunganku sama mereka, itu mungkin, tapi bakal butuh waktu yang lama,”
Willy hanya diam, menenggak minuman keras dan menyerap lintingan rokok sesekali, “Kita udah lama nggak wisata kuliner lagi ya?” kata Willy membuat fikiranku melayang, aku lalu teringat saat pertama kali kami makan sate luwak di Karanganyar, lalu walang goreng di Wonosari, sate ular kobra, rica-rica anjing, sate kuda, dan babi guling.
Aku terbahak sendiri, “Tapi yang paling menjijikan buatku pas kita minum susu sapi langsung setelah diperas, nggak dimasak dulu, langsung di telan. Kadang aku masih inget rasanya pas susu itu masuk ke tenggorokanku, mana bau lagi,”
“Sampai kapanpun kamu nggak bakal lupa lho Bell sama hal-hal kaya gitu,”
“Pengalamannya yang buat kita nggak bisa lupa,” sahutku riang, “kalau kamu? Kenapa kamu sayang banget sama aku?”
“Karena cuma kamu yang mencintaiku dengan cara yang tepat, pas dan lengkap,” ucap Willy sebelum memagut bibirku lama, melucuti celana panjangku hingga akhirnya sama-sama telanjang bulat dan memulai malam panjang penuh desahan nikmat.

. . . . # # # . . . ...

Deru angin, kelebat pakaian koyak dan sengatan sinar matahari menjemput kami dari alam mimpi. Berbalut selimut tipis kami berdua terlelap di balkon belakang rumah. Aku biarkan Willy kembali terjerat alam mimpi saat aku mulai mencabuti sisa-sisa lilin yang menempel di lantai semen, lalu mengumpulkannya ke dalam kotak martabak dan kubuang ke tempat sampah bersama satu plastik berisi bungkus makanan ringan dan botol minuman keras.
Handphoneku berdering kencang usai aku membersihkan diri, tumben Andi telefon sepagi ini, batinku, “Hallo-,” jawabku ringan penuh semangat.
“-GOBLOK!!!” teriak Andi di ujung telefon, menyentak seluruh kesadaranku, membuatku mengigil ketakutan.
Koe nopo tho?” ujarku berusaha santai, “enek masalah opo Ndi?
“Bell, kalau kamu nggak kuat mabuk, mendingan nggak usah pegang hape! BUKAFACEBOOK SEKARANG!”
Langsung kuputus panggilan Andi, dan kubuka halaman facebookku, tanganku bergetar hebat dan keringat dingin langsung membebat.Nafasku lenyap saat menatap apa yang tersaji di hadapanku. Bangsat, makiku pada diri sendiri. Foto-fotoku semalam dengan Willy, foto saat kami balapan menitup kondom menjadi balon, foto saat aku berpose seperti kelinci dengan telinga dari balon kondom, foto saat aku mengigit kulit kemaluan Willy, foto saat aku mengulum kemaluan Willy, foto saat kami berciuman dan masih banyak lagi foto-foto fulgar yang aku tandai ke banyak temanku. Tak sampai satu menit kemudian aku langsung me-nonaktifkan akun facebookku.
Mendadak kepalaku pening bukan main, bukan semata-mata pening karena efek minuman keras, tapi pening karena ketololanku tak bisa mengendalikan diri saat mabuk.Kenapa aku bisa seteledor ini? Kenapa aku segoblok itu? Kenapa aku kemarin ngepost foto-foto bangsat itu di facebook segala? ASU!, makiku tanpa suara.





Kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: