Pelepasan Remah 29

6:07:00 AM Admin 0 Comments





Pelepasan
Remah 29


Kisah selanjutnya klik disini


Ia babak belur. Wajahnya berdarah dan penuh lebam. Sebelah matanya hitam legam dan tak bisa membuka sempurna. Berulang ia mengedor pintuku, tak biasanya ia bertingkah seperti itu. Saat daun pintu itu kusibak, ia langsung menghambur ke pelukanku. Ambruk, menyerangku dengan rasa panik.
Bau tanah, keringat, sisa parfum dan minuman keras semerbak mendobrak lubang hidungku. Sesaat aku kebingungan. Linglung. Tak tahu apa yang harus aku lakukan. Saat daun pintu rumahku tertutup, ia sudah hampir tak sadarkan diri. Air mataku berjatuhan.
Susah payah aku gotong dia dan merebahkan tubuh besarnya di atas sofa. Berulang ia merintih kesakitan. Luka, lebam dan darah benar-benar membuat wajahnya hampir tak bisa aku kenali. Lekas aku berlari ke arah dapur, meraih es dan kotak P3K secepat mungkin.
Setelah kubersihkan lukanya dengan alkohol, kuusapkan perlahan obat merah pada benjolan-benjolan luka tempat darah membuncah. Di sudut bawah bibir kirinya, di bawah mata kiri dan tepat mata kanannya, di lubang hidungnya, memar-memar di kedua pipinya. Ia benar-benar babak belur.
Tak hanya wajah, di lengan dan rusuknya pun juga tak luput dari taburan luka. Lebam biru di rusuk sebelah kiri membuatnya tak berdaya. Dalam keadaan setengah sadar itu ia merintih, Willyku kesakitan. Hampir aku kembali menangis saat menotol-notolkan obat merah diatas lukanya.
Kugunting kaos berwarna hitam yang melilit tubuhnya. Tempat darah, tanah dan minuman keras bersemayam disana. Ku ambil selimut tebal dari kamar, langsung kubalutkan ke tubuh besarnya.
Sambil menahan kain berisi es batu di atas luka lebamnya, kuperhatikan benar garis-garis di wajah Willy, “Udah, nggak usah nangis,” bisiknya setelah mendapat kesadarannya kembali. Perlahan ia membuka kelopak matanya, ada genangan merah di matanya saat kutatap. Mataku yang sedari tadimendanau melihatnya akhirnya tumpah juga saat menatap sorot mata rapuh jelmaan iblis malaikat itu. Tubuhku berguncang, kuusap tumpahan air mataku dengan punggung tangan.
“Kamu habis ngapain sih? Kok babak belur gini?” kataku parau, tak bisa aku pura-pura tenang di depannya. Hampir setengah jam terakhir aku bergelut dengan rasa hawatir, aku benci melihat keadaannya sekarang, “kamu jangan buat aku hawatir kaya gini dong Will,” renggekku tertahan, sambil menangkupkan telapak tangannya diwajahku.
“Habis dihajar orang aku Bell,” Jelasnya pendek, “dipinggir jalan,” tambahnya.
“Kok bisa?” tanyaku penuh hawatir dan bingung. Air di kelopak mataku mulai kembali menggenang. Hari ini semesta kembali memberiku kejutan, kejutan yang sama sekali tak aku suka.
“Cuma salah paham doang kok, udah jangan hawatir,” Kata Willy berusaha menenangkanku.
“Nggak mungkin kalau cuma salah paham bisa babak belur separah ini,” sambarku ketus. Dari tadi aku menebak-nebak segala kemungkinan, salah satunya dia terlalu mabuk dan cari gara-gara dengan orang lain.
“Beneran sayang, ini cuma sebatas salah paham aja kok,” ucapnya lirih berusaha menenagkanku.
“Gimana bisa ini cuma salah paham?” balasku sengit sambil menekan keras-keras bekas lukanya. Membuat Willy kelonjotan menahan sakit. Lalu melototiku dengan tatapan tajam.
“Percaya deh Bell, ini cuma salah paham doang,” bujuk Willy berusaha menenangkanku.
“Emang gimana sih kronologinya sampe bisa kaya gini?”
“Tadi ada orang rese di club, dari luar kota sih kayaknya, nggak tahu ada masalah apa, tapi dia sama temen-temennya pesen minum banyak terus mulai ganggu pelanggan lain. Dari grepe-grepe cewek sampe nyiram orang pake vodka, pokoknya bikin suasana nggak nyaman, akhirnya mereka diamanin security. Eh, malah nantang, ngajak berantem, akhirnya aku sama anak-anak bantuin security buat nyeret mereka keluar. Pas tadi aku pulang, ternyata mereka masih disana. Nguntit aku sama anak-anak, bimo diserempet. Terus aku kejar sama temenku buat minta tangung jawab, eh malah kita berdua yang dikeroyok. Mereka berlima langsung cabut ninggalin kita dalam keadaan kaya gini di pinggir jalan,”
Melihat Willy dalam posisi seperti ini, dan membayangkan apa yang baru saja terjadi, membuatku bergidik ketakutan, “Kamu nggak inget sama sekali sama plat mobilnya?”
Ora sempetlah Bell,” jawabnya singkat, “tapi kalau dari logat sih anak jakarta semua,”
“Yaudah, kamu tidur dulu gih, besok pagi kita periksa ke dokter,” ujarku lembut, sedikit tenang karena bukan dia yang cari gara-gara, “mau tidur disini apa dikamar?”
Tapi Willy menatapku dengan sorot mata rapuh, “Pengennya tidur disini sambil meluk kamu,” pinta Willy kekanakan, “kalau di blowjob sekalian juga makasih banget lho, aku belum pernah ML pas badanku penuh luka kaya gini,” tambahnya dengan nada mesum.
Setelah meletakkan kotak P3K di atas meja, kuhampiri Willy dengan senyum mengembang, lalu kupencet luka lebam dijidatnya dan ditempat-tempat lain sehinggamembuatnya spontan berteriak minta ampun, “Rasain tuh!” kataku jengkel.
“Tega banget sih!,” katanya sambil memberengut, “pacarnya lagi sakit juga, bukannya di sayang-sayang malahan dipencetin lukanya,”
“Kalau lagi sakit makanya jangan kebanyakan tingkah!” sambarku langsung, kusibak selimut tebal yang membungkus tubuh telanjangnya, “liat tuh,” lanjutku mengarahkan telunjuk di luka keunguan tepat di atas rusuk kirinya, “rusukmu aja warnanya mateng gitu, mau minta peluk segala, terus minta ML lagi! Dasar mesum!”
“Yaudah, kamu tidur disini aja, kalau kamu nggak mau blowjob aku,” pinta Willy membuatku trenyuh, “nemenin aku,”
“Nggak mau. Aku mau tidur di kamar,” ungkapku congak. Lalu aku mulai berjalan ke arah kamar, meninggalkannya sendirian di ruang tengah.
“Bell, kamu mau kemana?” rengek Willy melihat langkahku menjauh. Lebam di rusuk kiri membuatnya sulit kemana-mana.
“Tidur di kamar!” jawabku sengit.
“Lha terus yang nemenin aku siapa?”
“Hantu!”
“Ah, tega banget kamu. Pacarnya juga lagi gini juga,”
Sambil mengulum senyum, kutinggal ia di dalam kamar, membiarkan dia sendirian. Setelah beberapa saat aku cekikikan sambil memeluk bantal, aku kembali menghampirinya dengan lagak congak sambil membawa dua buah selimut tebal, dua buah bantal dan sebuah guling favoritku. Aku terlelap disampingnya sambil saling berpegangan tangan.
Resah membuatku terbangun setelah lelap kurang lebih satu jam, Willy tertidur dengan wajah matang. Kuperhatikan baik-baik wajahnya, luka-luka yang tergores di wajah rupawannya, bekas darah yang belum kering benar, lebam yang berwarna ungu matang. Mungkin ini aneh dan sedikit tak wajar, tapi dia keliatan macho, jantan dan tampan. Handphoneku menyembul dari balik selimut tebalku, flash kamera berpendar sekejap saat kusimpan foto malaikatku itu untuk diriku sendiri.
Pagi hari setelah membelikannya bubur ayam untuk sarapan, aku kirimkan pesan singkat tentang keadaan Willy kepada Sandra, setengah jam kemudian dia datang ke rumahku dengan wajah panik. Aku juga mengirimkan pesan singkat kepada Andi untuk meminta ijin tak ke Reve dulu karena harus mengurus Willy.
Koe diajar sopo Will?” serang Sandra langsung saat melihat keadaan memprihatinkan adiknya.
Gur salah paham San, ra sah digawe dowo,” jawab Willy ketus, ia kelihatan tak nyaman menjadi orang yang menerima perhatian dengan sorot mata penuh belas kasian.
Tenane?” timpal Sandra tak percaya.
Koe ra percoyo karo aku?” kata Willy tajam membuat Sandra terdiam.
Ayo prikso sek, aku wes janjian karo dokter mau,”
“Nitta?”
Sopo neh nak udu deknen?” sahut Sandra lengkap dengan senyuman, “iso mlaku dewe po ra?”
“Ngrangkul aku aja, “ tawarku, “ada lebam di rusuk kirinya,”
“Oke, aku tunggu di mobil ya,” kata Sandra langsung ngacir ke depan rumah.
Setelah periksa dari rumah sakit Willy langsung istirahat di kamarku, menyisakan waktu berdua untukku dan Sandra. Dari arah dapur kami memulai pembicaraan tentang banyak hal, kami memang sudah bertemu beberapa kali, kebanyakan pas dugem bareng. Pagi itu kami berdua akan membuat sup buah untuk Willy, walaupun sebenernya Sandra yang ngotot ingin membuat sup buah dan Willy menolaknya. Cara bicara Sandra yang fulgar dan ceplas-ceploslah yang akhirnya membuatku nyaman dengannya, terkesan jujur dan apa adanya, seperti Willy.
“Sebelum sama Willy, pacaran karo sopo koe Bell?” tanya Sandra langsung tanpa basa-basi.
“Willy seng pertama kok San,”
Tenane?” ujar Sandra seakan tak percaya.
Tenan, aku pacaran baru pas selesai kuliah,” tambahku polos.
Dadi koe seng mrawani Willy no?”
Kujawab dengan sekali anggukan. Membuatnya terbahak, seolah-olah baru pacaran satu kali itu adalah hal yang memalukan.
Lha wes jajal ML karo wong wedok po rung?” tanya Sandra usil. Seolah-olah ML itu semudah membeli gorengan di pinggir jalan.
“Ya belumlah,” sahutku tanpa tedeng aling-aling, di depan Sandra, entah kenapa aku merasa tak memiliki privasi sama sekali, “Aku ML gur karo Willy thok,”
Kudune koe jajal ML karo cewek sek,” kata Sandra memberiku saran,“ngrasake vagina sek gen bener-bener yakin koe ki gay tulen opo udu, sebenernya kamu itu oke juga lho, tapi sayang, senenge pedang-pedangan karo nyilit,”
Lha aku wes nyaman karo Willy kok San, males nak rep jajal-jajal liyane. Jalin hubungan sesama itu nggak segampang hubungan cewek sama cowok. Lha nak cewek-cowok putus, gampang golek neh, lha nak koyo aku? Angel San,”
Aku yo pernah ciuman karo cewek pas mendem, tapi biasa wae. Rasane podo,
Aku tersenyum, “Kamu kok nggak risih liat hubunganku sama Willy?”
Gur wong-wong seng pikirane cupet mikir aneh-aneh karo wong LGBT, ya mungkin gara-gara aku punya banyak temen LGBT kali ya? Yang buat aku biasa aja sama mereka. Banyak kok yang tinggal serumah, dan nggak masalah. Kui uripmu, kui awakmu, karepmu rep piye-piye, kui kan urusanmu, udu urusanku, aku orang bebas kok Bell, santai aja,”
“Kamu juara!” pujiku sambil mengacungkan dua jempol untuknya.
“Eh Bell, Andi ki wes du pacar po hurung?” tanya Sandra centil.
Lha mang ngaruh deknen wes due pacar opo hurung?” jawabku dalam tawa, lalu memberinya nomor kontak Andi.
“Gitu dong,” sahut Sandra riang, “itu baru calon ipar yang baik,”
“Jangan macem-macem sama dia lho San,” kataku memberi peringatan. Tapi Sandra malah memutar bola matanya dan menatapku sambil geleng-geleng.
“Santai aja kali Bell, kita sama-sama orang dewasa yang bertangung jawab, ok?”
Setelah sup buah jadi, Sandra langsung membuatkan makan siang unuk kami sebelum akhirnya dia pulang saat tengah hari dan berjanji saat malam turun akan kesini lagi. Ketika aku masuk kamar membawa sup buatan Sandra untuk makan siang, tepat saat Willy terbangun.
“Sandra udah pulang?” tanya Willy dengan suara serak. Membenarkan posisi duduknya di atas ranjang, menganjal punggungnya dengan bantal.
“Belum lama, nggak sampai setengah jam,” jawabku menghampirinya, “nanti malam dia kesini lagi katanya,”
“Diajarin apa aja tadi kamu sama dia?”
“Nggak diajarin apa-apa kok, cuma ngobrol biasa aja,” timpalku seadanya dalam tawa, “dia lebih frontal dan lebih fulgar daripada kamu ya. Ceplas-ceplos tentang selakangan seakan-akan itu hal yang wajar,”
Willy tersenyum simpul, “Dia emang kaya gitu kok. Ngobrolin posisi sex nggak tadi?”
“Kok kamu tahu?”
“Itu topik favoritnya dia,” jawab Willy enteng, “dia udah kelas suhu kalau bahas urusan selakangan sama ngangkang,” tambahnya mengejutkanku.
“Tapi dia asik kok, seru orangnya,”
“Kalau nggak seru, gila atau nyablak sesuka hati ya bukan Sandra Bell. Sandra yang buat sup ini?”
“Iya, tadi Sandra yang buat sup itu dan ternyata rasanya enak. Aku sama sekali nggak yangka lho, kalau kalian berdua sama-sama pinter masak,”
“Udah turunan Bell, dari kecil kita emang dibiasain ibu buat bantuin dia masak, “jelas Willy sambil kusuapi sup buatan Sandra,“sejak SMP, setiap pagi kita cuma disediain bahan-bahan makanan sama ibu, jadi kita buat sarapan masing-masing sebelum berangkat sekolah. Mau beli apa-apa juga harus nabung dulu, nggak ada yang instan. Dulu aja pas aku minta sepeda gunung, aku harus nyuci semua piring yang kita gunain buat makan, setiap piring dihargai ibu dua ribu ripiah,”
“Bagus dong kalau gitu didikan ibumu?”
“Ya makanya itu, ibu udah melakukan yang terbaik buat kita, dan sekarang tinggal kita sendiri yang nentuin mau jalan kemana. Pijitin dong Bell,” pinta Willy manja. Aku baru tahu kalau dia sedang sakit berubah menjadi manusia super manja. Sebentar-sebentar minta tolong buat ambilin ini ambilin itu, minta ini, minta itu seakan-akan aku asisten pribadinya.
Petang menjelang dan permintaannya semakin menjadi-jadi, mulai dari sate ayam, nasi padang, bakso, ayam bakar, lalu jus timun, jus buah naga, jus semangka, lalu minta tubuhnya di lap menggunakan tisue basah. Minta dikipasin pakai majalah padahal ada AC sama kipas angin di dalam rumah dan yang paling menjengkelkan adalah saat ia merengek untuk dibelikan kerang pedas dan martabak manis di pertigaan Pondok Pesantren Assalam karena menurutnya kerang dan martabak manis disana yang paling enak di daerah Kartasura.
Baru saja aku terlelap saat dia membangunkanku tengah malam dan memintaku untuk mengambilkannya air es di dapur. Kuserang dia dengan tatapan jengkel sebelum akhirnya aku beranjak dari kamar menuju dapur dan mengambilkannya air es. Kubasuh wajahku dengan air dari wastafel di dapur sebelum akhirnya kembali ke lantai atas sambil membawakan air es pesanannya sambil memikirkan rencana balas dendam karena sudah mengerjaiku seharian ini.
Senyum terbesit di wajahnya saat aku membuka pintu kamar, aku pura-pura tersandung saat berjalan menghampirinya dan sengaja kutumpahkan air es dari dalam gelas tepat di atas tubuhnya. Membuatnya berteriak sebal dan menatapku sebal.
Sengera kuraih tisue di samping tempat tidur dan membersihkan tumpahan air es di atas perut tambunnya, “Kamu sengaja ya?” katanya menyelidik dengan sorot mata sinis penohok nurani. Wajahnya sengaja ia tekuk saat mencecarku dengan pertanyaan itu.
“Sengaja apanya?” sangkalku sebal, menatap baliknya dengan sorot mata sinis, pura-pura tak terima dengan tuduhan yang ia lempar, “orang nggak sengaja tumpah,” ujarku membuat alibi.
“Yaudah, cepet ambilin kaos ganti,” perintah Willy kemudian dengan ekpresi menjengkelkan.
Lambat aku berjalan ke arah almari, mengambil baju ganti dan duduk kembali ke sisi tempat tidur. Kulempar kaos itu tepat di wajah Willy, lalu kujatuhkan diriku di atas tubuhnya dan kuacak-acak penuh jengkel wajah dan rambutnya. Willy mengumpat, aku terbahak, Willy kesakitan, tawaku makin kencang, Willy misuh-misuh, tawaku menggema. Kulampiaskan seluruh rasa jengkelku hari itu yang memuncak.
Tak butuh waktu lama untuk Willy menganti posisi dan menangkapku, mengunci tubuhku dan mengelitikiku hingga aku kelonjotan tak berdaya. Berteriak-teriak minta ampun. Ia kemudian berhenti saat aku sudah tak kuat lagi mengeluarkan tawa dan menyerah, tubuhku mendadak sakit semua saat ia melepasku. Lalu dia menyandarkan tubuhnya ketembok dengan bantal sebagai alas punggung dan kepalanya. Memintaku lagi untuk membawakannya air es. Saat aku beranjak keluar kamar, kutarik bantal tempatnya bersandar dan lari kencang.
Ia mengumpat dan aku terbahak saat kepalanya terantuk tembok di belakang.
Makanya, jangan macem-macem sama Abell.



Kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: