Pelepasan Remah 30

6:09:00 AM Admin 4 Comments




Pelepasan
Remah 30


Kisah sebelumnya klik disini


Aku langsung membantu beberapa staf menyiapkan Reve sebelum buka pagi itu, ada yang sedang menyapu lantai di teras, ada yang mengelap meja dan ada yang sedang menata bahan makanan dan minuman di dapur.
“Gimana? Willy udah baikan?”sapa Andi setelah aku absen empat hari mengurusi Reve, dari arah dapur ia beranjak ke arah tanaman mini di dalam ruangan lalu menyiraminya dengan air bercampur pupuk lalu pindah ke arah teras, tempat tanaman-tanaman berukuran besar bersemayam disana.
“Dia udah baikan kok sekarang, tinggal nunggu lebamnya hilang aja dari wajahnya,” jawabku tenang sambil menata cangkir-cangkir bermotif rumit ke dalam kail-kail besi berukuran besar yang menggantung di atas kepala, “lagian Sandra juga ada di rumah kok buat ngurusin dia,”
“Party goers itu?” tanya Andi seakan-akan tak percaya. Sandra memang ada di dalam lingkar sosial Andi di Solo yang tak terlalu luas.
“Iya, sebenernya dia care kok orangnya. Siangnya setelah kejadian itu, aku hubungi dia dan dia langsung dateng bantuin ngurusin Willy,”
“Dia fine-fine aja sama hubungan kalian berdua?”
“Nggak jadi masalah kok kata dia, cinta ya cinta aja dia bilang, nggak ada urusan sama strata, status soasial atau jenis kelamin,”
Andi tersenyum simpul, “Kelanjutannya gimana?”
“Suram. Nggak ada yang tahu plat nomor dan lokasi kejadian nggak ada CCTV sama sekali, Willy sama temen yang dia boncengin buat ngejar Bimo yang diserempet sama parahnya,” jelasku, “ya, mungkin lagi apesnya mereka aja,”
“Resiko kerjaan juga sih,”
. . . . # # # . . . ...

Senin yang seharusnya menjadi hari libur untuk kami berdua akhirnya aku harus aku habiskan seorang diri, setelah tepar hampir lima hari, Willy menggunakan jatah hari liburnya untuk bekerja.Subuh, dia mengajaku bangun dan lari pagi keliling kompleks rumah, mandi bersama dan menyiapkan sarapan untuk kami berdua. Nasi goreng spesial, walaupun aku tak terlalu suka dengan makanan berminyak di pagi, tapi setelah mencoba satu sendok, aku ketagihan.
Setelah Willy berangkat dengan skuter ajaibnya, aku lalu menyeduh kopi, menjemur pakaian di balkon belakang rumah, menyapu halaman, menyirami tanaman, dan membaca berita pagi di beranda rumah. Bersantai sejenak mendengarkan lagu-lagu jazz dan reage untuk menandaskan waktu. Setengah jam kemudian aku masuk ke dalam rumah, tepatnya di dapur, menyiapkan peralatan masak dan membuat pai apel sebagai kudapan ringan. Satu jam berlalu dan pai apel itu aku bagi menjadi tiga bagian, untuk diriku sendiri, untuk Willy dan untuk Andi dan anak-anak Reve yang akan kuantar tengah hari nanti.
Jam sembilan lebih kuputar film The Dark Knight yang disutradari Christopher Nolan, aku bisa digolongkan salah satu die hard fans film-film superhero, tapi hanya film TDK inilah yang bisa membuatku jatuh cinta habis-habisan. Jika banyak orang yang mencintai film superhero karena kisah originalnya, karena motivasinya menjadi pahlawan, gadget cangih mereka atau kekuatan super yang dahsyat. Jika kebanyakan orang mencintai film superhero karena hal-hal itu, aku berada di koridor yang berbeda dengan mereka, aku mengemari film superhero karena supervilian mereka, dan cintaku mentok di Joker dalam film ini. Aku mencintai humor kelamnya, sisi maniaknya, banditnya, liciknya, dandanan menor super menakutkannya dan yang paling penting karena kecerdasannya saat bermain-main dengan Batman.
Karena Joker, saat ada film-film superhero lain yang aku tunggu-tunggu adalah kehadiran sosok villian dan motivasinya menjadi penjahat di film tersebut, tapi sampai saat ini, aku kecewa karena tak ada yang bisa membuatku berpaling dari Joker.Dan seperti tak akan ada supervilian yang bisa mengantikan posisi Joker di dalam hatiku.
Sebelum tengah hari aku beranjak ke garasi menghampiri motor maticku, menaruh dua bungkus pai apel ke dalam bagasi dan berkendara menuju Reve, lalu ke distro Willy sebelum akhirnya mampir ke Gramedia di depan Sriwedari dan melihat-lihat buku terbitan terbaru disana, membeli satu atau dua buku baru, ke pasar tradisional membeli bahan makanan untuk persediaan lalu muter-muter kota sebelum akhirnya pulang ke rumah dan menyetrika baju-baju yang sudah kering.
Siang lekas berlalu, dan sore mulai menjejak angkasa, kubasuh lama tubuhku dibawah kucuran air hangat. Menghela nafas pelan, menikmati benar detik-detik yang mulai beranjak pergi. Uap masih melatar belakangi tubuhku saat aku keluar dari kamar mandi, meraih boxer dan baju tanpa lengan dari almari, lalu menuju balkon belakang rumah. Memasukan pakaian kering ke dalam keranjang, membawanya ke ruang samping dapur untuk disetrika esok hari. Menyambar jajanan ringan dan bir dingin dari kulkas dan kembali ke balkon belakang rumah.
Matahari masih terik, jadi kuputuskan untuk memakai kacamata, membaca buku yang belum aku selesaikan dan menyetel musik lewat headset yang mengantung di telinga.Sambil manggut-manggut menikmati alunan musik di telinga, keripik kentang dan bir dingin membuat sore itu begituindah untuk dinikmati dengan diri sendiri. Waktu yang tepat untuk tenggelam bersama kisah di dalam buku.
Waktu berlalu, menit bertalu dan alam menghadirkan senja yang indah kala itu, seakan-akan berusaha menyempurnakan hariku. Menambah sensasi relaks dan santai, saat lembaran sawah yang membentang di belakang rumahku tercetak gradasi indah warna ungu, merah muda, kuning kesemasan, biru kelam dan selaput hitam membingkai sorot-sorot cahaya yang menembus tumpukan awan.
Senyum singah lama di wajahku, jika Andi atau Willy disini, pasti kita sudah bernyanyi dengan petikan gitar. Melantunkan banyak lagu era 80an dan 90an. Sayang, aku sama sekali tak bisa memainkan alat musik itu, jadi kuganti kehadiran mereka dengan playlist lagu-lagu terbaik di handphoneku. Kuabadikan moment itu dalam potretan kamera dan kukirimkan ke Willy agar setelah pulang kerja tak mampir kemana-mana.
“HOY!!!” teriak Willy lantang tepat di telinga kananku, tubuhku tersentak, jantungku berdegub kencang, ternyata aku terlelap beberapa saat. Matahari sukses tergelam di ujung sana, menyisakan semburat cahaya yang sebentar lagi pupus tertutup langit kelam.
“Iseng banget sih jadi orang!” kataku sinis sambil membenarkan posisi dudukku.
Willy masih terbahak saat kulempar buku di wajahnya, membuatnya langsung memberengut karena tulang buku menghantam pelipis kirinya.
“Impas!” ucapku cengegesan.
Ngopo koe nek kene magrib-magrib? Lampune ora diuripke sisan. Kesambet baru tahu rasa kamu! Suami capek-capek pulang kerja malah ditinggal bobo sore disini,” ujarnya dengan gaya menjengkelkan, kepulan asap rokok menghantam wajahku saat dia selesai bicara.
Asle, belum pernah nggak dijatah satu bulan ni bocah, kataku dalam hati, “Siapa bilang aku mau jadi istrimu?” balasku congak, “mulut kalau nggak pernah dingajiin ya kaya gitu, asal njeplak! Sembuh juga barusan, udah mau cari gara-gara lagi,” tambahku sebal.
Mungkin otaknya sedang dalam keadaan normal sore itu, biasanya dia akan membalas dan berakhir dengan saling mengelitiki hingga salah satu kami nyerah. Tapi, dia malah diam di depanku dengan tatapan berbinar dan tersenyum aneh.
“Kamu ngapain sih lihat aku kaya gitu? Risih tau nggak?” ocehku saat kecupan mesra mendadak mendarat di atas alisku, aku terdiam, memejamkan mata saat perpaduan aroma parfum dan keringatnya menimbulkan gejolak aneh di dalam diriku.
“Ngapain aja kamu hari ini?” tanya Willy saatmenarik bibir tipisnya dari jidatku. Aku suka sekali saat ia mengecup jidatku.
“Standar. Baca, masak pai apel, beli buku ke gramed,”
“Pai buatanmu tadi enak banget Bell,” puji Willy menerbitkan senyum di wajahku.
“Halah yang bener?” selorohku memastikan itu basa-basi atau pujian asli.
“Bener sayang,’ sahut Willy meyakinkanku,“anak-anak juga bilang gitu kok tadi, sayang cuma dikit katanya,”
“Pas buat tadi sih banyak, tapi aku bagi jadi tiga. Buat kamu, aku sama anak-anak Reve. Kalau mau nambah masih kok di dapur,”
“Lagi dengerin lagu apa sih?” tanya Willy ikut-ikutan merebahkan diri di sofa reyot, merebahkan kepalaku di dadanya dan meraih salah satu headset di telingaku. Setengah jam kemudian kami hanya diam, mendengarkan lagu yang mengalun pelan dengan mata menerawang. Berulang ia mengeratkan pelukan dan mengecup jidatku mesra. Aku nyaman dalam pelukannya dan senang dengan wangi parfum yang berbaur bau keringat di leher berlipat yang berkilat karena keringat.
“Masuk yuk Bell,” ajak Willy lembut, “mulai diserbu nyamuk nih,”
“Makanya, kalau habis kerja itu langsung mandi,”
“Yuk mandi bareng!” kata Willy penuh semangat.
“Aku barusan mandi sayang, sore tadi,”
“Yah,” sahut Willy lesu, “Mandi lagi aja kalau gitu,”
“Udah, cepetan mandi sana!” perintahku bangkit dari sofa dan mulai mendorongnya ke arah kamar mandi, “gantian aku yang buat makan malam,”
“Waduh, aku tadi mampir beli ayam bakar dulu sebelum pulang,”
“Yah Willy, kenapa nggak bilang-bilang dulu sih?”
“Yaudah, besok gantian kamu aja yang buat sarapan,”
“Deal,” kataku setuju, “yaudah mandi sana,”
“Siap bos!”
Lima belas menit berlalu saat Willy keluar dari kamar mandi, telanjang bulat seperti biasanya, handuk mengelayut di pundaknya. Air masih menetes dari ujung-ujung rambutnya yang basah saat menghampiriku di tempat tidur. Langsung menelusup di bawah elimut tebalku dan mencupang pangkal pahaku, membuatku mengelinjang tak karuan menahan sensasi nikmat. Ia gigit-gigit kecil kulit disekitar selakanganku sambil melucuti satu persatu pakaian di tubuhku.
Di bawah selimut tebal kita bergumul, berawal ciuman-ciuman mesra, lidahnya lantas dengan cerdas menuruni lekuk tubuhku dan kembali berhenti di selakanganku. Bermain-main disana, membuat batang kemaluanku mengeras, dan membuatku gerah. Kusibak selimut tebal yang menutupi tubuh telanjang dua lelaki dewasa, kucengkram ujung bantal erat-erat menahan nikmat yang terus menjalar hingga aku meleguh kencang tanpa bisa aku tahan.
Saat aku kelonjotan akan mengeluarkan sperma, Willy langsung menghentikan permainannya, mengecup mesra bibirku lagi, ia tak ingin permainan malam ini berakhir begitu saja. Ku balas permainannya, kutindih balik tubuhnya dan aku duduki perut buncitnya. Kujalarkan lidahku disekitar putingnya, mengemut, mengulum, menyedot dan mengigit-gigit kecil hingga dia meleguh tak karuan. Lalu kupindah permainan lidahku ke balik telinganya, dan mengulang permainan disana, membuatnya mengelinjang terserang nikmat.
Kondom membungkus batang kemaluannya yang berkilat karena cairan pelicin yang juga teroles di selakanganku. Sambil mencium kasar bibirku dia masukan batang kemaluan itu ke dalam lubang pantatku, membuatku merintih kesakitan di awal dan meleguh nikmat detik berikutnya. Willy seperti kesetanan malam itu, beragam gaya dia coba, membolak balik tubuhku seakan-akan aku tak bertulang. Bulir-bulir keringat membasahi tubuh kami hingga nampak mengkilap di bawah sorot lampu, setelah aku orgasme dua kali, barulah dia menarik penisnya dari lubang duburku yang terus berkedut-kedut kencang karena sensasi terbakar. Desah nafasnya masih tak beraturan saat tiduran disampingku dan merebahkan kepalaku diantara lengan dan lengan kirinya.
“Enak banget barusan,” kata Willy terengah-engah, “hebat banget kamu malam ini,” tambahnya sambil mengecup singkat jidatku.
“Kamu yang kesetanan, capek tahu ngimbangin permainanmu tadi,” timpalku cepat, “masih kliyengan aku gara-gara permainan sintingmu itu,”
“Kamu kapan pulang ke rumah?”
“Dua tiga hari lagi, biar lebam diwajahku nggak terlalu keliatan. Sandra bilang sama ibu kalau aku lagi pameran kok, makanya nggak pulang,”
“Enak ya punya ibu kaya ibumu, santai, asik dan nggak rewel,”
“Ya mungkin karena dia ngerasa pas muda jiwanya satu aliran kaya aku sama Sandra, jadinya woles aja. Kalau ibu bilangnya sih gini ‘anak itu kaya anak panah yang melesat bebas, punya takdir dan jatah masing-masing’ dan yang paling penting dia paham karakter anaknya masing-masing, dan menerima kami apa adanya. Itu yang buat Ibu keren banget di mataku, dia percaya kalau kita bisa bertangung jawab sama hidup kita masing-masing,”
“Aku baru tahu lho Will kalau Sandra I.O top di Solo, Andi yang bilang kalau dia itu ngurus banyak acara keren di kalender event kota Solo,”
“Iya dia sama sahabatnya mulai bisnis itu lebih dari sepuluh tahun yang lalu, sekarang dia udah kepala tiga dan sama sekali nggak kepikiran buat nikah, tapi pengen cepet-cepet punya anak buat hidup bareng,”
“Wah,” selorohku sambil tepuk tangan, “satu aliran dong kita, aku juga nggak pengin nikah tapi punya anak buat hidup bareng,”
“Mau ngadopsi apa?”
“Kayaknya aku belum siap buat hal itu,”
“Kalau kamu udah siap, langsung hubungin aku. Aku selalu ada buat kamu,”
Kulampirkan tanganku di atas perut tambunnya, berusaha sebanyak mungkin mengeruk rasa nyaman dalam peluknya, keringat masih mengkilap saat kupererat pelukanku. Berharap jika detik ini bisa membeku, dan bisa aku singahi kapanpun. Berdoa jika hubunganku dengan Willy akan abadi.
Tapi satu hal yang harus kita pelajari tentang kehidupan ini, bahwa tak ada yang abadi. Terutama di dunia abu-abu penuh opera sabun ini.



Kisah selanjutnya Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

4 comments:

  1. Kok lanjutannya gak ada lagi, hehehe pengen tau endingnya.

    ReplyDelete
  2. Iya mana nih lanjutannya? Klo bisa bumbu sexnya tambah dikiiiit lagi biar tambah gurih

    ReplyDelete
  3. sabar ya teman-teman, soalnya bab penting jadi saya buat secara hati-hati sekali. sebelumnya saya ucapkan terimakasih karena telah mau membaca serial pertama saya ini, salam kenal, triztan famous

    ReplyDelete
  4. oiya, tambahan, masih jauh kok endingnya, kan baru remah 30 dari 44 yang direncanakan, hehehe, mohon sabar ya

    ReplyDelete