Pelepasan Remah 34

7:52:00 PM Admin 2 Comments





Pelepasan
Remah 34

Kisah sebelumnya Klik disini


Di lantai tiga cafe itu, aku dan Andi merenung, hampir dua minggu aku tak berkunjung ke tempat itu. Aku mengungsikan diri ke Jogja, menginap di tempat beberapa sahabatku di sana. Entah sampai kapan aku akan begini, tapi selama di Jogja, aku malah mendatangi tempat-tempat favorit kita untuk menggenapkan kenangan dan patah hati yang sekarang aku rasakan. Dua buah minuman dan sebuah mangkuk kripik kentang menyapaku sebelum akhirnya Andi datang.
Andi datang dengan wajah berbinar, menyambutku dengan pelukan sebelum duduk santai di sampingku, “Willy ngubah banyak hal yang aku tahu tentang kamu Bell,” celetuknya langsung mengungkit rasa sakitku. Perih yang masih terus mengiris. Nama itu masih menjadi candu, dulu yang membuat ngilu karena rindu, sekarang hanya membuatku terpuruk dalam haru.
“Maksud kamu?” sahutku sambil berusaha menjejalkan senyum di wajahku, tapi aku tak bisa. Aku tak mampu merasakan kebahagiaan belakangan ini. Aku masih menginginkan Willy, membuatku bingung menentukan banyak hal.
“Abell yang dulu aku kenal, paling benci sama asap rokok, sekarang kamu nggak bisa lepas dari rokok. Bakal mabuk parah kalau udah beberapa kali tenggakan, sekarang hampir tiap malam kamu ngajakin anak-anak buat mabuk. Hidupmu dulu tertata, bangun di jam khusus, sarapan dua tangkup roti, nyetel lagu buat bangikit semangat dan dateng ke cafe sambil senyum-senyum nggak jelas. Sekarang? Kamu nggak ada bedanya sama orang-orang yang hidup di jalanan, ragamu hadir, tapi jiwamu entah ada dimana,” ucapnya santai, seperti sudah ia persiapkan sebelumnya. Aku tahu jika dia sedang menyindirku, tapi di sisi lain aku juga tahu jika itu fakta.
Kusesap rokok di jariku sebelum menjawabnya.
“Gimana? Masih dalam proses patah hati?” tanya Andi lagi dengan nada pengusik hatiku. Aku benci jika dia berbicara dengan nada seperti itu. Tapi aku sadar, dia berhak memperlakukanku seperti ini.
“Masih, dan kayaknya belum ada rencana buat berhenti,” jawabku ketus, tanpa emosi sedikitpun, “aku tahu kalau aku salah, nelantarin banyak hal terus ngilang beberapa hari beberapa kali, ok?”
“Dua minggu,” ralat Andi membenarkanku.
“Oke, dua minggu. Maaf Ndi,” kataku tulus, “tapi setidaknya kamu juga ngerti posisiku dong,”
“Aku paham posisi kamu Bell,” jawabnya melunak, ”tapi setidaknya kalau kamu masih nganggep aku abangmu, kamu bilang dulu kalau mau nginep di Jogja dua minggu atau mau kemana dulu kan bisa ijin, bilang kek mau merek bentar ke Jogja atau mau kumpul-kumpul sama grub LGBT pasti aku ijinin. Aku paham keadaanmu sekarang, tapi kamu juga punya tanggung jawab disini,”
“Iya Ndi maaf,”
“Jadi gimana perasaanmu sekarang?”
“Aku masih kacau tanpa dia Ndi, kaya nggak punya arah. Cuma Willy yang aku butuhin, aku samperin ke distronya, sekarang posisi dia di pegang Sandra, aku pergi ke klub, dia udah nggak kerja disana. Aku ke rumahnya, kata ibunya sekarang dia kerja di Bandung, aku mau nyusulin dia kesana Ndi,”
“Kalau dia tetep mau putus sama kamu? Atau nggak mau ketemu lagi sama kamu?”
“Setidaknya dia ngasih pejelasan kenapa kita harus pisah, kita udah bangun hubungan ini sama-sama, saling ngorbanin banyak hal, masa iya nggak bisa di omongin baik-baik?”
“Kalau hubungan kalian emang udah kadaluarsa? Dan nggak bisa di daur ulang lagi?”
“Kamu suportif dikit kenapa sih?” kataku sengit.
“Bukannya nggak suportif Bell, cuma ngasih opsi cadangan aja biar omonganmu nggak ngelantur kemana-mana. Kamu nggak mau ngelepas dia? Udah hampir empat bulan lho kamu kaya gini? Nggak capek apa hatimu nangung perasaan itu terus-terusan? Dia juga berhak bahagia lho, hati itu makanannya damai sama bahagia biar tubuhmu nggak kenapa-napa,”
“Setidaknya aku butuh satu kepastian lagi kenapa dia ninggalin aku gitu aja, sebenernya aku juga capek gini terus. Aku kangen sama hidupku yang dulu, hidupku sebelum ada Willy. Seperti yang dulu kamu bilang, hubunganku sama Willy itu sangat intens, aku pengen lepas dari dia, tapi aku sadar itu bakal sulit Ndi. Tiap malam, aku selalu mikirin dia, mikirin kenangan-kenangan kita, tapi aku juga nggak mau hidup kaya gini terus,”
“Setidaknya kamu sudah ada di pilihan yang benar Bell, tiap malem kamu nangis, kebayang kenangan tentang dia, terus sakit hati, kecewa, nyari-nyari kesalahan sebelum tidur pakai obat tidur. Sampai kapan kamu mau kaya gitu terus? Sampai kapan kamu mau nyakitin dirimu terus? Kenapa kamu nggak ngelapsin semua ini dan biarin semuanya berlalu?”
Alisku bertaut, menimang-nimang apa yang baru saja Andi katakan, asap rokok kamu berdua membumbung ke udara sebelum menjadi kasat mata.
Andi menenggak air minum di depannya sebelum kembali melanjutkan, “Sebenernya nggak ada yang salah sama kenanganmu, yang salah cuma sudut pandangmu. Dulu, pas kamu sama Willy buat kenangan itu, bikin kamu ngerasa sakit hati atau kecewa apa nggak? Tapi kenapa sekarang pas kamu inget kenangan itu buat kamu sedih? Itu cuma soal persepsimu aja Bell. Emang begitu jalannya, itu rutenya buat nglepasin semuanya. Kamu nangis, kamu kesiksa, kamu kecewa, itu proses yang wajib kamu lalui dengan sepantasnya aja, jangan kamu hancurin kenangan indah yang kalian buat selama beberapa tahun cuma karena kalian putus,”
“Terus habis ini aku harus gimana Ndi?” ucapku seperti orang bodoh, aku benar-benar tak tahu apa yang harus aku lakukan.
“Jujur aja ya Bell, sebenernya aku takut kamu terpuruk lebih lama lagi Bell, aku takut kamu terbiasa dengan ini semua. Masa lalu itu bisa kita ibaratkan seperti penjara dengan jeruji terbuka, kita bisa kapan aja keluar dari tempat itu, sering kali kita sendiri yang memilih bertahan, kaya narapidana yang sudah lama tinggal disana, dia bakal takut keluar dari sel itu karena sudah terbiasa. Saking nyamannya sama penjara itu, kita terbuai dengan kenyamanan palsu. Padahal kita bisa lho jalan keluar begitu aja, simpelkan?”
“Itu cuma sebatas teori aja Ndi, praktinya lebih susah daripada itu,”
“Pertama kamu harus yakin Bell, kamu ngelepas Willy itu bisa dan baik untuk kamu lakukan, tanpa keyakinan itu kamu cuma berjalan di tempat aja. Kamu ngelakuin itu bukan buat aku, atau siapapun, tapi buat kebaikan dirimu sendiri. Terus kamu ngomong sama dirimu sendiri, sudah cukup buat tersiksa, sedih, kecewa, patah hati. Bilang kalau kamu ingin bahagia dan sekarang jatahnya kamu buat bahagia. Gampangnya gini Bell, anggap aja kamu sekarang ada di pinggir jurang dan di depanmu ada sebuah tangga ke nirwana, kamu punya pilihan buat naik tangga dan terjun ke jurang. Kamu mau pilih yang mana?”
“Yang menuju nirwana,”
“Nah, kalau kamu mau ke nirwana, kamu harus ambil sebongkah batu di pinggir jurang itu, visualisasiin semua masa lalumu di situ, hal-hal yang kamu lupakan, luka yang hanya menambah dera, pengalaman-pengalaman burukmu, kalau perlu tulis ‘MASA LALUKU’ di batu itu, terus kamu buang ke jurang dan janji nggak bakal ngungkit-ngungkit hal itu lagi. Kita berdua sama-sama tahu gimana kerjanya alam bawah sadar saat menghadapi trauma. Jika kita punya trauma atau konflik batin yang belum selesai, maka alam bawah sadar bakal terus-terusan memunculkan situasi dimana kita terus menghadapi trauma dan konflik batin itu sampai selesai dan tuntas. Seperti itulah keadaanmu sekarang Bell, sekuat mungkin kamu menyangkal, sekuat itu pula alam bawah sadar bakal menghadirkan hal itu untuk segera kamu tuntaskan. Sekarang mendingan kamu pulang ke rumah, singkirin barang-barang yang ngingetin kamu sama dia,”
“Hampir semua barang-barangku di rumah itu bisa ngingetin aku sama Willy Ndi,”
“Ya udah kalau gitu kamu mulai sekarang tidur di rumahku aja, ambil beberapa baju sama kebutuhan pribadimu disana terus kamu stay di rumahku dulu,”
“Kamu takut aku bakal aneh-aneh ya?”
“Anggap aja buat jaga kesadaranmu tetep utuh Bell,”
Sejak saat itu tinggal di rumah Andi dan lebih sering meluangkan waktu bersama anak-anak down sindrom. Saat aku datang, aku mendapatkan pelukan erat dari mereka. Hampir air mataku tumpah saat mendapati pelukan dari belasan anak-anak itu. Mereka memberiku kehangatan hati yang aku inginkan. Beberapa kali aku mengunjungi mereka, sekedar mengajari mereka menggambar, bermain bersama dan menyuapi mereka saat makan. Mungkin aku melakukan ini semata-mata untuk pelampiasan atas rasa sakit hatiku saja, tapi aku tak peduli.
Usai mengurus cafe, sore hari kuhabiskan keliling Solo tanpa arah hingga matahari benar-benar tenggelam, ke bioskop, menonton dua film sekaligus, makan, lalu kembali ke rumah sebentar lalu kembali ke tempat andi dan bersemayam disana sampai pagi. Jika akhir pekan, aku berkumpul bersama anak-anak, mabuk bersama, atau sekedar jalan-jalan bersama ke Jogja, menonton festifal musik atau pameran disana, nongkrong sampai pagi, jalan-jalan ke objek wisata baru, dan menghabiskan waktu dengan mereka sebanyak mungkin. Berusaha mendetoksifikasi diriku dengan mereka kembali.
Sekuat tenaga aku tak menyempatkan diri untuk berkubang dalam rasa sedih, kujaga cafe dari pagi sampai malam bergulir, bekerja dua kali lipat, membaca lebih banyak buku, menonton lebih banyak film dan memotret lebih banyak objek hingga aku tak punya waktu untuk melamun dan membayangkannya kembali.
Tapi, jauh di lubuk hatiku, aku tahu jika itu hanya untuk sesaat. Aku masih sering memikirkannya di malam hari dan kembali mencari obat tidur untuk terlelap bersama gelapnya malam.
Saat aku menginap di rumah Andi, aku terbangun dalam keadaan linglung, berlarian keliling rumah dalam keadaan bingung, mencari-cari keberadaan Willy seolah-olah ia kemarin hanya pergi sebentar untuk pameran. Saat aku sepenuhnya sadar dengan beragam ornamen dan perabot di rumah itu, barulah aku diam terpaku. Kesadaran menyakitkan hinggap di alam pikirku.
Lesu aku kembali ke kamar Andi, meringkuk di bawah selimut merutuki diri, sebegitu parahkah aku kehilangan sosok itu? Lalu aku terlelap dan terbangun ketika sore hari, berlari ke kamar mandi saat aku merasakan desakan dari dalam tubuhku yang ingin keluar. Aku memuntahkan udara kosong, dadaku sesak dan jemariku mendingin. Kuselipkan kembali tubuhku kebalik selimut.
Kusuarakan tangisanku, tak mampu lagi kumenahannya lagi. Tubuhku bergetar, lututku lemas, aku terpuruk di atas karpet berbulu. Pandanganku mulai kabur, pandanganku terdistorsi, seperti televise rusak, entah berapa obat tidur yang aku telan tadi. Tapi efeknya begitu kuat aku rasakan, atau gara-gara sebutir pil mungil pemberian kawan di Jogja yang aku telan tadi sore untuk sekedar relaksasi? Aku tak tahu, tapi tubuhku mengambang. Aku hanya ingin mengapresiasi hal yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Melihat bayangan tubuhku di cermin, aku terbahak, entah apa yang lucu, tapi aku tertawa keras dan lantang. Tawa yang luput dariku selama beberapa bulab terakhir. Aku tertawa hingga perutku sakit dan kelopak mata berurai butiran air. Pandanganku kabur selama beberapa saat, aku merasa jika sedang mengambang, serasa berpijak di atas awan.
Kedua lenganku bergetar hebat, saat pandanganku menemukan titik fokusnya, kurengut botol vodka dari atas meja, kubenturkan dan membuatnya berhamburan. Kuambil salah satu pecahan kaca yang bertebaran kemana-mana.kugariskan di atas nadi tangan kiriku. Darah mulai mengucur kencang dari luka goresan di tanganku.
Lalu mulai kujilati alirah darah itu, menyesapnya, kudapati aroma kehidupan disana. Tubuhku kembali berguncang, tangisku berbalut tawa saat kuraih selembar kertas di atas meja dan sebuah pena. Mulai menulis sebuah pesan.


Kisah selanjutnya Klik Disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

2 comments:

  1. Lamanye ni. Cepat sikik la

    ReplyDelete
  2. hahaha... maaf ya kemarin telat... maklum natal sama tahun baru... untuk 4 remah ke depan sudah saya post dan akan tayang setiap minggu... makasih sudah mau membaca sejauh ini, dapet salam dari Abell Jerolin ^-^

    ReplyDelete