Pelepasan Remah 37

3:30:00 AM Admin 0 Comments





Pelepasan
Remah 37

Kisah sebelumnya Klik disini

Jogja, 23 agustus 2015

Di tengah doa aku berbisik kepada semesta
Akhirnya aku paham dengan laku yang kau tunjukkan
Aku merasakan kehadiran sayupmu
Mendengar untaian nada bekumu
Terjerat pesona gemingmu
Aku hanya butuh sedikit sadar untuk sekedar paham

Dan kini aku berdoa untuk seseorang disana
Doa terbaik, tertulus tanpa mengharap akan balas
Dengan kesadaran yang bertumpu rasa percaya ini
Aku ingin ucapkan terimakasih atas pelajaran hidup yang teramat mahal ini
Tentang keiklasan,
Tentang cara merelakan,
Tentang kasih untuk membebaskan
Tanpa aturan, tanpa ikatan, hanya butuh setetes kesadaran

Kini aku paham bagaimana caramu melepaskan
Tanpa seuntai kata, kau mengajariku dalam diam
Membiarkan riak lautan yang beriku pelajaran “pelepasan, hanya pelepasan”
Aku hanya butuh sesekat waktu untuk paham
“pelepasan, hanya pelepasan”
Dan sekarang aku paham.


. . . . # # # . . . ...

Kutatap dunia bagai sahabat lama. Aku kembali ke rumah sepulang dari rumah sakit. Saat kuhabiskan waktu sendirian di dalam kamar, tak ada lagi sudut-sudut yang membangkitkan kenangan dan mengedor jantungku, rumahku kembali terasa hangat, wajar dan nyaman. Aku masih mengenang Willy di beberapa tempat, tapi ia hadir layaknya kenangan yang membuat hatiku hangat dan mengucapkan terimakasih akan banyak hal.
Satu hal yang sampai sekarang masih aku sembunyikan dari Andi. Sejak kejadian di rumah sakit itu, aku merasa ada perubahan besar di dalam diriku. Aku mulai terobsesi dengan sosok gadis yang menuntunku melewati lorong menuju cahaya. Sosok yang semakin lama terasa nyata. Sosok berambut sepundak, rupawan dengan sorot mata jenaka dan selalu tertawa. Sosok yang membuatku yakin jika dia bukan hanya produk mimpiku tetapi ada, hidup dan nyata. Sosok yang dapat mengalihkan perhatianku dari Willy.
Bagaimana mungkin aku bisa begitu tertarik dengan sosok itu? Padahalkan dia seorang wanita, bukan lelaki seperti yang selalu aku dambakan? Apakah aku seorang Biseksual? Bukan gay seperti yang aku gembar-gemborkan selama ini? Bagaimana bisa aku mengurai satu persatu pertanyaan dengan sosok yang belum bisa aku raba? Kuputuskan untuk memendam perasaan dan pertanyaan-pertanyaan itu seorang diri hingga aku nanti dapat menjawabnya. Terlalu banyak hal yang belum terjawab di dalam hidupku.
Beberapa kebiasaan berubah sejak aku gagal bunuh diri, aku memiliki hobby baru untuk mengisi jeda kosongku, aku kembali belajar melukis, bermain-main dengan polesan warna secepat sudut rumahku penuh dengan beragam lukisan di antara rak buku yang menjulang hingga langit-langit rumah. Tak butuh lama jari-jariku untuk mengingat tehnik-tehnik gambar yang dulu kerap menyapaku lebih dari dua tahun sejak lulus SMP hingga akhirnya aku mulai berwirausaha dan meninggalkan kursus lukisku. Senin, jatah liburku di Reve, selalu aku gunakan untuk keliling sudut-sudut Solo dan Jogja untuk berburu buku-buku terbitan lama, lalu kurombak ulang dekorasi rumahku selama beberapa bulan sekali sesuai suasana hatiku.
“Nggak niat buka perpustakaan atau galeri sekalian?” tanya Andi saat menginap di rumahku.
Aku tersenyum, “Niatnya sih emang gitu, tapi buat konsumsi pribadi saja,”
“Tapi kalau mau buka francise Reve disini juga nggak masalah lho,”
“Nggaklah, aku tetep butuh rumah ini buat jadi gua beruangku,”
Andi mengangguk pelan sebelum kembali melanjutkan, “Udah sempet pulang ke rumah?” tanyanya hati-hati dan hampir tak terdengar. Aku tahu kalau dia menginap disini karena ada sesuatu yang ia ingin bahas denganku berdua saja.
“Belum, kenapa?” balasku santai.
“Bukannya dulu kamu ngebet banget pengen ketemu sama ibumu ya?” katanya mengingatkan.
“Sekarang udah nggak kok, kemarin aku udah sempet ketemu sama ibu,”
“Dimana?” tanya Andi antusias. Kelanjutan hubunganku dengan keluargaku selalu menjadi topik menarik untuknya. Sejak aku menginap di rumah sakit selama seminggu, dia selalu memaksaku untuk melakukan langkah pertama. Agar aku tak hanya menunggu keajaiban.
“Pas dia kepasar,” jawabku cengengesan.
“Jadi cuma papasan doang?” katanya sebal.
Senyum cengengesanku semakin lebar, “Iya,”
“Nggak niat banget kamu ketemu sama orang tua,” keluhnya jengkel.
“Pelan-pelanlah Ndi,”
“Pelan-pelan juga butuh langkah konkrit kali Bell, kalau papasan terus, sampai kapan? Nggak progres banget perkembanganmu,”
“Gitu aja udah bikin aku seneng kok,” kataku membela diri.
“Kamu bakal lebih seneng dan tenang kalau kamu bisa jabat tangan terus ngobrol santai sama mereka,”
“Aku juga sering mengandai-andai kaya gitu kok,”
So?”
“Aku selalu memaksa diriku, buat nekat dan EGP sama hal yang bakal terjadi, tapi pas mau melangkah, jiwa pengecutku keluar dan selalu menjadi pemenang,”
Dia mendengus sebal dan memutar bola matanya ke atas, “Kamu sekarang jalan sama Mahesa anak Boyolali itu?”
“Sobey?”
“Iya, nama panggilannya Sobey,”
“Iya Ndi, beberapa kali kita memang jalan bareng. Kita sama-sama dalam proses menyembuhkan diri Ndi,”
“Dia kenapa memang?”
“Dia di pisahin sama orang tua pacarnya,”
“Lho, kok bisa? Gimana ceritanya?”
“Intinya sih hubungan mereka ketahuan sama orang tua si bocah. Pacarnya kan masih SMA, di Boyolali hidup sama simbahnya, sedangkan orang tuanya kerja di Semarang. Pas liburan, orang tuanya balik dan nggak sengaja liat foto Sobey sama pacarnya ciuman. Bapak sama ibunya ngamuk, ngelabrak Sobey ke rumahnya terus mutusin hubungan mereka berdua, padahal mereka pas lagi sayang-sayangnya. Pacarnya Sobey itu sekarang di pindah ke Semarang dan nggak bisa di hubungin lagi, dia kehilangan kontak sama dia. Dia juga diancem kalau sekali lagi nekat ketemu, pacarnya sobey itu bakal di suruh tinggal di kalimantan sama pakdhenya,”
“Kasian banget dia, banyak yang miris ya percintaan LGBT,”
“Aku juga kasian kali Ndi, nggak lebih beruntung dari dia juga,”
“Yah, kita bertiga sama-sama nggak beruntung dalam asmara,”
“Kamu dulu iya gitu, tapi sekarangkan cuma tinggal nunggu tanggal aja buat nikah,”

. . . . # # # . . . ...

Beberapa sore kemudian, usai menonton film dan membeli beberapa buku di Toga Mas, kusempatkan diriku untuk mampir ke cafe walaupun aku tak ada jadwal jaga hari itu. Langsung aku mendatangi Andi di belakang kasir.
“Ngapain Bell kamu kesini? Bukannya biasanya kamu ada di Gramed kalau nggak di Gladak tho?”
“Hari ini aku ke Toga Mas, lagi ada diskon banyak disana. Tapi bukan itu yang mau aku ceritain sama kamu, aku mau cerita sesuatu sama kamu,” kataku antusias dengan mata berbinar.
“Cerita apa?”
“Kemarin aku udah ketemu sama keluargaku,”
“Serius?” katanya dengan mata membelalak. “ketemu ayah sama ibumu?”
“Cuma sama kakakku doang sih Ndi,” jelasku sedikit memadamkan sorot gembira di matanya.
“Gimana ceritanya? Kamu main ke rumah? Walaupun cuma sama kakakmu itu tetep perkembangan berarti Bell,”
“Kalau ke rumah aku belum berani Ndi, risih rasanya kalau aku mau kesana. Aku buntutin dia pas nganter ponakanku sekolah, aku baru tahu kalau ponakanku sekarang udah kelas satu SD,”
“Gimana reaksi kakakmu pas pertama kali kalian ketemu?”
“Kita saling memaafkan Ndi, kaya lebaran gitu. Dia nggak ada masalah sama orientasi seksualku, nggak ambil pusing hal itu, lagian ibu juga udah punya cucu tiga, jadi menurut dia, ibu nggak bakal ngejar-ngejar aku nikah buat menuhin banyak obsesinya kaya ayah, keinginan-keinginan di hari tua kebanyakan sudah jadi nyata. Dia juga bilang kalau ayahku masih belum bisa terima soal itu, walau ibu sepertinya udah rada mulai bisa paham kenapa aku kaya gini. Ibu beberapa kali minta kakak buat nyari dan maksa aku buat pulang, tapi dia nolak, dia ingin aku pulang sendiri kalau aku sudah siap dan minta sama ibu buat belajar dari kepergianku,”
Andi terdiam lama sebelum mulai menanggapi, “Aku seneng kakakmu berfikiran seperti itu dan bisa ngerti keadaanmu seperti ini. Seandainya kamu pulang sekarang, aku yakin ayahmu nggak bakal ngapa-ngapain kamu, enam tahun lebih kamu pergi dari rumah, seharusnya dia sudah bisa belajar tentang banyak hal,”
“Tapi aku nggak mau maksa atau ngasih tekanan lagi sama dia Ndi, kalau dia emang nggak bisa nerima ini semua yaudah, itu nggak lagi jadi masalah. Yang penting dia tahu kalau aku baik-baik saja dan aku tahu dia baik-baik saja, itu udah cukup, walaupun kalau kita bisa saling memaafkan, semuanya bakal lebih baik lagi,”
Senyum puas terbit di wajah Andi, “Aku bangga sama kamu Bell, seneng lihat hidupmu sekarang,”
“Kamu yang buat aku kaya gini,” kataku tulus.
“Nanti malam keluar?”
“Kemana?
“Festifal musik,”
“Kalau menurut kalener event di Solo, nanti malam nggak ada apa-apa deh Ndi,”
“Bukan di Solo kok, di Jogja festifal musiknya,”
“Siap!”
“Ketemu sama anak-anak disana,”
“Dobel siap!”
“Mabuk bareng!”
“Tripel siap! Komandan!” kataku sebelum menyelinap ke lantai tiga Reve, meminta satu piring kentang pada salah satu kariyawanku dan mulai menyelami satu persatu halaman buku yang baru saja aku beli.
Malam itu ku habiskan waktu bersama Andi dan beberapa teman lama menonton festifal musik bersama. Berbalut minuman keras, kita menggila, seakan-akan kamilah pemilik dunia. Dini hari aku baru sampai rumah. Kulucuti pakaian dari tubuhku dan kututup tubuh telanjangku di bawah naungan selimut tebal. Kupejamkan kelopak mataku, lelah merajam habis tubuhku pagi itu.

. . . . # # # . . . ...

Setelah kepergok menguntit kak Sherin saat ia mengantarkan anak perempuannya ke sekolah dasar. Hubungan kami menghangat, ia mengundangku untuk menghadiri acara ulang tahun anaknya yang kedelapan di rumah suaminya di Karanganyar. Usai dari Reve dan membeli kado di salah satu pusat pembelanjaan untuk ponakanku, langsung kupacu mobilku ke alamat yang ia kirimkan lewat pesan singkat. Walaupun sempat tersesat, setelah magrib akhirnya aku sampai di rumahnya setelah acaranya berakhir.
Ia dan anak gadisnya yang bernama Shefina melambaikan tangannya di teras saat aku memarkirkan mobilku di halaman rumahnya. Sisa-sisa perayaan pesta masih semarak di halaman rumahnya, balon warna-warni dan beragam kanopi masih tergantung di antara pohon-pohon. Shefina berteriak girang saat dua boneka beruang ukuran besar keluar dari mobilku, ia langsung berlari menghampiriku, mencium punggung tanganku dan langsung memeluk dua buah boneka besar itu. Aku menyusulnya di belakang dengan membawa beberapa buah buku anak-anak yang aku beli di Toga Mas tiga hari yang lalu.
Telat koe Bell, pestane wes rampung sore mau,”
Lha piye neh mba? Ra enek seng ganti jogo cafe, Andi gek metu karo calone, golek barang-barang ge lamaran,”
Andi kapan nikahe?”
Awal desember Mba,”
Suk aku dielingke yo, semelang nak lali,”
Oke Mba, siap, pestane enek jobo po?”
Iyo, Bell, nak enek ngomah yo ra cukup, makane di dokok njobo. Malah asik nek jobo ngene kok Bell, ayo mlebu, Shefina mau nyiapke roti khusus ge koe,”
“Wah,” ucapku terpesona, “baik banget kamu dek sama Uncle,”
Ayo mlebu Bell,”
Iyo Mba,” ucapku menurut, kulepas sepatuku sebelum masuk ke dalam rumah mungilnya. Di teras kecil dengan pandangan meluas itu aku tersenyum, entah kepada siapa, tapi aku bahagia kembali merasakan kehangatan keluarga yang sudah lama aku rindukan. Aku bahagia melihat ponakanku tumbuh menjulang diantara anak-anak sebayanya, dengan paras ayu dari wajah kakaku, terlebih saat ia menyabet juara dua saat kenaikan kelas kemarin, aku sanggat bangga dengannya.
Saat suara Adzan magrib usai dan diganti dengan suara serangga malam, aku berjalan pelan menuju ruang tamu dengan pintu setengah membuka, “Assalamualaikum,” sapaku langsung di sambut sapaan balasan suami kakakku, kakakku, ponakanku dan satu sosok yang mengendap lama di dalam hatiku. Ibu.
“Bell,” ucap ibuku santun membuat kakiku bergetar, buku-buku hadiah untuk ponakanku ambruk ke lantai seiring bersimpuhnya aku di hadapannya.
Air mata kami pecah saat kakakku meminta anaknya dan suaminya menuju belakang rumah, meninggalkan kami berdua. Isak lirih ibu membuat dadaku terhimpit. Aku tak sanggup menatap wajahnya, air mataku tumpah diantara paha tempat wajahku bersemayam, telapak tangannya mengelus-elus rambutku. Tubuhku bergetar merasakan gelombang emosi yang menghantamku.
“Ibu kangen kamu Abell,” tangis ibu membuatku ngilu, “maafin ayahmu ya,” lanjut ibu kembali memacu air mataku. Aku dan ibu sama-sama menangis untuk membasuh luka lama yang membeku diantara kita selama beberapa tahun terakhir.
“Maafin Abell juga ya Bu,” ungkapku tulus. Hatiku remuk redam. Tanganku menggengam erat tangan ibuku.
Belasan menit kemudian kakakku menghampiri kami di ruang tamu, mengajak kami untuk makan malam bersama. Malam itu berlangsung indah, aku dan ibu sama sekali tak membahas masa lalu dan penyebab renggangnya hubungan kami. Kami saling memaafkan dan mendamaikan diri masing-masing. Saat pulang dari rumah kakakku, aku merasa bebanku hilang setengah, langkahku begitu ringan. Bahkan, sepanjang perjalanan pulang, senyum mengambang jelas di wajahku.
Kukirimkan pesan singkat untuk kakakku, kuucapkan terimakasih banyak karena telah mempertemukanku kembali dengan ibu dan memberi kami berdua waktu yang indah.

. . . . # # # . . . ...

Aku kembali ke Jogja bersama Andi menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman kami saat SMA, mabuk bersama hingga dini hari dan aku menyetir dengan setengah mengambang. Tubuhku remuk redam dan mataku minta untuk segera terpejam, setelah mengantarkan Andi ke rumahnya, langsung kupacu mobil dengan kecepatan tinggi ke komplek rumahku. Setelah melucuti seluruh pakaian dari tubuhku, langsung kusemayankan ragaku di bawah balutan selimut tebal. Kumatikan alarm dan lampu tidur, bersiap-siap menghanyutkan diri saat handphoneku berdering.
Malas kuraih handphoneku di atas meja, akumulasi rasa lelah hari ini tak mampu aku tahan lagi, ingin segera aku lelap. Tapi, dering panggilan dan pesan singkat secara beruntun di pagi hari, terlanjur menumbuh suburkan rasa penasaranku. Kuputuskan untuk menarik handphoneku kebawah balutan selimut. Berharap jika Andi atau teman yang lain tak membuat kerusuhan setelah aku antarkan ke rumah. Kutatap layar lcd handphoneku yang memendarkan cahaya dibalik selimut.
Mataku terbelalak, tubuhku langsung bertolak, menyibak selimut tebal tempat rasa nyaman bersemayam. Kuputuskan untuk membaca ulang pesan yang baru saja hadir, jantungku berdegub kencang, hatiku berdesir, jari-jari tanganku bergetar tak karuan.
Rasa lelah minggat entah kemana, ia yang absen hampir empat tahun di dalam hidupku kembali datang. Mengajakku bertemu untuk menyelesaikan apa yang belum sempat ia selesaikan. Mengakhiri apa yang dulu ia mulai. Menuntaskan apa yang belum tuntas. Dini hari itu, aku resmi tak menutup mata untuk lelap. Pagi menjelang dan aku tetap terjaga. Masalalu kembali membayang.


Kisah selanjutnya Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: