Pelepasan Remah 44

12:30:00 AM Admin 0 Comments



Pelepasan
Remah 44

Kisah sebelumnya Klik disini


Satu minggu berjalan ringkas, akhir pekan aku menemani kakakku belanja bulanan dan nonton film animasi bertiga bersama Shefina. Pagi harinyam saat akan berangkat ke Reve, aku mendapatkan kiriman dua kardus besar dari Bali tertuju langsung ke alamat rumahku. Saat kubuka, kardus pertama ternyata berisi pernak-pernik dengan ornamen Bali dan kerdus kedua berisi oleh-oleh khas untukku dan untuk ponakanku. Tapi yang membuatku gregetan adalah saat Sobey sengaja mengukir namaku di belasan gantungan kunci replika alat kelamin lelaki saat berdiri tegang. Sialan!.
Malam harinya, sekitar jam tujuh malam, aku memacu mobilku ke Karangayar, ke rumah kakakku dan memberikan oleh-oleh dari Sobey sebelum akhirnya memacu mobilku lagi ke salah satu club malam untuk menghadiri acara ulang tahun salah satu temanku. Di club malam itu, aku bertemu dengan Sandra, ngedance dan mabuk bareng sambil sesekali ngobrol porno menjurus ke selakangan, tanpa membahas Willy sedikitpun. Kita sama-sama berbahagian untuk malam itu. Jam dua pagi aku pulang sempoyongan, mabuk berat sampai tak mampu berjalan tegak, Sandra mengantarku sampai rumah karena aku sudah tak sadarkan diri.
Mimpiku tentang sosok gadis itu semakin menjadi-jadi. Mimpi menempatkan tubuhku di atas tebing, menatap gadis itu tidur melingkar di atas sebuah kelopak bunga raksasa. Kelopak bunga itu mengambang di sebuah aliran sungai besar yang berujun air terjun curam belasan meter lagi, aku ingin menyelamatkannya. Jadi aku terjun dari tebing dan tiba-tiba tangan dan kakiku terjerat rantai besi, membentangkan tubuhku di udara. Menyiksaku untuk melihat gadis itu tengelam dalam derasnya air terjun curam.
Aku tersentak dan terbangun dengan keringat membasahi kulit tubuh. Paru-paruku kalap mehalap udara, megap-megap karena tubuhku mengejang. Ototku masih mengunci saat kesadaran mulai merambat dan membantuku untuk menganalisa sekitarku. Aku kembali memimpikan gadis itu, pening yang menyiksa menyadarkanku akan apa yang terjadi, detail mimpi tersimpan rapih di otakku. Menyisakanku rasa pilu.
Aku terlelap di atas karpet ruang keluarga dan Sandra tidur di atas sofa bersama seorang teman wanita berambut kelabu sepundak. Ini hari senin, jadi aku bisa bermalas-malas sepuasnya atau tidur dengan jam lebih dari hari-hari biasanya. Tapi, pening di kepalaku terlalu menyiksa untuk diabaikan, jadi kuputuskan untuk mencuci wajah, gosok gigi di kamar mandi, lalu mencari obat sakit kepala sambil membuat sarapan untuk tiga orang.
Pagi itu aku membuat panekuk untuk sarapan, sengaja kupisahkan kuning dan putih telur terlebih dahulu sebelum mencampur bahan-bahannya jadi satu, baru putih telur aku campur belakangan, mendiamkannya lima belas menit lalu baru aku masak agar lebih empuk dan flufy. Saat aku keluar membeli madu sebentar, Sandra dan temannya sudah bangun.
“Dari mana Bell?” tanya Sandra saat keluar dari kamar mandi, temannya menyusul belakangan. Ia menguncir rambutnya tepat di atas kepala.
“Dari alfamart, beli madu buat sarapan,”
“Kamu yang buat panekuk itu?”
“Iya, buat sarapan,“ jelasku, “nggak apa-apa kan sarapan panekuk?”
“Nggak masalah, sarapan nasi padang juga, ayok aja,” jawabnya lengkap dengan tawa, “lama ya kita nggak ketemu, kangen aku karo koe Bell,”
Aku yo kangen karo koe San,” jawabku tulus.
“Sekarang jalan sama siapa kamu Bell?”
“Nggak jalan sama siapa-siapa,”
“Terus yang sering post foto sama kamu di IG, itu siapa?”
“Owh, itu, namanya Sobey, lagi di Bali sekarang,”
“Dia pacar barumu?”
“Enggak San, baru gebetan doang. Habis putus sama Willy, aku belum pacaran lagi kok,” jelasku berusaha biasa saja.
Lha terus nak koe lagi pengen ngewe karo sopo?” tanyanya mulai usil.
Yo ora ngewelah, ngloco dewe wes mantep,”
Tapi yo ora puas Bell,”
Aku wedi keno penyakit nak nyewo gigolo San, lagian tahun-tahun kui aku igek fokus bangun cafe nek Jogja. Dadi ra due wektu ge kui, ” jelasku berusaha tenang, aku sebenarnya kurang nyaman jika membahas urusan selakangan tanpa ada mabuk terlebih dahulu, “acarane Andi piye San? Wes mulai mbok siapke?
Weslah, koe tenang wae nak masalah kui, aku profesional oke?” katanya meyakinkanku, “untuk acara nikahan Andi, semuanya sudah ada di jalur yang benar, kamu santai aja, bilang Andi jangan bawel juga. Kelamaan aku rekrut jadi asisten juga deh kalau dia tiap hari nanyain perkembangannya terus. Dijamin bakal romantis dan nggak gampang di lupain deh acara itu,”
Saat teman Sandra keluar dari kamar mandi, ia langsung menghampiri kami berdua, mengenalkan diri lalu sarapan bersama. Namanya Anya, penyiar radio lokal, kerja sampingan membantu Sandra jika ada acara besar. Setengah jam kemudian Sandra dan Anya pamit pulang dan memintaku untuk mengantar sampai ke kostan Anya di daerah UNS.

. . . . # # # . . . ...

Jam setelah makan siang kugunakan untuk berburu buku diskon di Toga Mas lalu mampir sebentar ke Gladak untuk mencari buku-buku lama yang masih bagus untuk dibawa pulang. Saking seringnya aku ke Gladak sejak semester satu, para penjual buku disana kerap kali memberiku diskon sinting dan beberapa kali aku juga diberi buku gratis karena sering belanja buku di kiosnya. Saat pulang dari Gladak, notifikasi pesan singkat masuk ke handphoneku, Sobey minta di jemput di bandara setelah magrib dan mewajibkanku untuk malam mingguan bareng bersamanya.
Notifikasi dari Kak Sherin masuk setelahnya, ia memberitahu jika dia baru saja membuatkanku dan Sobey brownies khusus untuk ucapan terimakasih karena oleh-oleh dari Bali beberapa hari yang lalu. Mobilku langsung meluncur ke daerah Karanganyar, mengambil brownis buatan kakakku yang menguarkan aroma lezat lalu mampir ke rumah Andi, merampok persediaan kopinya dan langsung menuju rumah Sobey, untuk menyiapkan kejutan selanjutnya.
Halaman belakang rumah Sobey terdapat taman kecil dengan sebuah pohon rindang yang menaungi kolam ikan di bawahnya, kugelar karpet di atas rumput jepang samping kolam. Belasan lilin aromaterapi kusebar mengelilingi karpet, kopi dari rumah Andi aku giling terlebih dahulu agar nanti bisa segera diseduh, dan brownies dari Kak Sherin aku pindahkan ke wadah yang lebih artistik untuk malam itu. Setengah jam sebelum magrib aku sudah stanby di area bandara, ada rindu yang menggebu di dadaku setelah tak bertemu dengannya dua minggu. Aku memeluknya singkat saat di parkiran dan langsung menuju memacu mobil ke kompleks rumahnya.
Setelah memasukkan mobil ke dalam garasi, tanganku langsung menaut lengannya dan kepalaku mendadak melekat di pundaknya. Menyenangkan rasanya saat memiliki pundak khusus untuk bersandar. Ia tersenyum melihat tingkahku. Setelah menutup pintu rumah, aku langsung menghambur dan memeluknya erat. Lama kita berdekapan sebelum akhirnya saling melepas setelah merasa gemuruh rasa di dalam dada terpuaskan. Kubimbing ia berjalan ke halaman belakang rumah. Mata Sobey berbinar saat melihat taman mungilnya aku rombak, “Bell!” serunya dengan wajah bahagia, “kita malam mingguan disini?”
“Iya!” sahutku senang, “malam ini kamu pesta kebun sama aku!” tambahku girang. Ia memelukku lama sebelum menata barang-barang di kamarnya, mandi, lalu menyusulku ke dapur.
Aroma shampo dan sabun mandi hinggap di hidung saat Sobey menghampiriku di dapur, jantungku berdebar tak menentu saat ia berjalan mendekatiku, lalu duduk diatas meja makan tempatku menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam. Ia bertelanjang dada dengan rambut yang masih basah, celana kolornya mengantung di pingang, dan baru aku tahu jika ada secuil tatto di dada kirinya. Aku suka bentuk tubuhnya, berotot tapi tidak bertonjolan urat dimana-mana, dan sixpacksnya yang sedikit samar, membuatnya begitu sexy dan manly di mataku. Uh! Aku jadi pengen memeluknya lagi.
“Kamu pake baju kek, aku jadi risih lihatnya,” kataku berpura-pura. Padahal mataku sering curi-curi pandang melihat tubuhnya.
“Risih apa pengen lihat terus?” jawabnya menggodaku. Senyum nakalnya melumerkan hatiku. Saat berdua seperti ini, Sobey sering kali nampak bebas mengekspresikan dirinya. Tidak terbebani menjaga tingkah laku seperti biasanya.
“Dua-duanya, bikin nggak fokus tahu nggak?” jelasku jujur sambil tersipu.
Sobey terbahak sambil mengacak-acak rambutku. Dia lalu turun dari meja makan dan berjalan ringan menuju pojokan dapur, memakai celemek yang tergantung disana, kemudian menghampiriku lagi.
“Kalau sekarang gimana?” katanya meminta pendapat.
“Kaya bintang bokep!” sahutku cepat dalam tawa.
Ia kembali terbahak, “Mendingan kamu nyiapin meja makannya aja Bell,” perintahnya halus, “biar aku yang masak,”
Aku lalu berjalan santai keluar dari dapur, menuju lantai atas, mengambil laptop dari meja kerjanya, membawanya ke taman belakang, mengunduh beberapa lagu romantis yang cocok di dengarkan di malam hari, lalu menyusun playlistnya.
Saat Sobey asik memotong daging steak, aku memindahkan speaker aktif di kamarnya menuju area taman dan menyalakan satu persatu lilin aroma terapi agar suasana lebih semarak dan mematikan lampu halaman belakang rumah. Suasana mendadak romantis saat lantunan lagu cinta tahun 80-90an silih berganti mengisi playlist, aku bersorak saat Sobey datang membawa steak dan wine dari dalam rumah. Meja lipat yang biasanya dia gunakan untuk menaruh laptop, malam itu terpaksa kita gunakan untuk meja makan dadakan, kita jajarkan dua meja lipat berdampingan sebelum kita selimuti taplak meja beraksen kotak-kotak.
“Aku kira kamu cuma minum infuse water aja Bey,” sindirku, setahun bersamanya, aku tak pernah melihat Sobey minum minuman beralkohol sedikitpun, bahkan ia selalu menolak saat aku tawari bir. Tapi malam ini dia berlaku tak seperti biasanya, sedikit meledak-ledak dan lebih sering memelukku untuk menyalurkan beludak rasa di dadanya.
Setelah wine tasting, ia mengulas senyum untukku, “Selalu ada pengecualian untuk hal-hal tertentu Bell,” jelasnya lembut, sejak dari bandara tadi, matanya terus-terusan berbinar.
“Kamu kayaknya bahagia banget hari ini? Ada kabar gembira?”
“Seneng aja ketemu kamu Bell, setelah dua minggu cuma bisa telfonan, akhirnya bisa meluk kamu. Kangen banget sama kamu Bell,” jawabnya menerbitkan matahari di hatiku.
 Wajah Sobey memerah setelah menelan wine dalam porsi banyak, ia terus menatapku saat aku membereskan meja makan, menaruh piring-piring kotor di bak cuci dan kembali dengan satu loyang brownies buatan kak Sherin.
“Wah, kayaknya enak banget nih browniesnya, dari baunya aja pengen cepet-cepet makan,” serunya tulus, “kamu yang buat?” tanyanya sangsi.
“Bukan, dari kak Sherin, sebagai ucapan terimaksih buat oleh-oleh tempo hari,”
“Waduh, baik banget kak Sherin! Tadi dia nganterin sendiri kesini?”
“Aku yang ngambil dari Karanganyar,”
“Kalian kok sampai segitunya banget sih?” ujar Sobey terharu, kuambilkan sepotong dalam piring mungil dan kusodorkan langsung untuknya. Setelah memotong menggunakan garpu, Sobey langsung melahap brownies itu dengan sekali telan, aku tersipu melihatnya antusias menikmati kue buatan kakakku itu. Ada ketulusan yang membuat hatiku lumer saat menghabiskan waktu bersamanya.
“Gimana?” tanyaku sambil menyeduh kopi untuknya.
“Dahsyat!” serunya cepat.
“Dasar lebay!”
“Beneran kok enak banget browniesnya!” katanya sungguh-sungguh, “apalagi sambil minum kopi! Beuh! Mantep banget!”
“Yaiyalah, secara, yang ngeracik kopinya Abell!” jawabku bangga.
“Dapet biji kopi darimana kamu Bell?”
“Dari ngrampok rumah Andi!” sahutku secepat berondongan tawa timbul dari bibirku.
“Bekas nyolong nih?”
“Yoi mamen, jadi kita bagi-bagi dosa,”
Dia kembali tergelak, “Aku bawain oleh-oleh khusus buat kamu,” ujar Sobey beranjak dari taman, berjalan masuk ke dalam kamar. Meninggalkanku dengan rasa penasaran, lalu keluar menjinjing sebuah tas mungil.
“Oleh-oleh apalagi sih? Kemarin kan udah kamu paketin dua kerdus?” kataku tersipu.
“Kalau yang ini spesial, jadi harus aku kasih sendiri sama kamu, nggak bisa lewat pekat kilat,” jelasnya saat menghampiriku, duduk di depanku lalu menyerahkan tas mungil itu kepadaku, “aku pesan ini sebelum aku berangkat ke Bali,” tambahnya membuat hatiku mengambang. Senyum terbesit di wajahku.
Kurogoh kotak kecil dari lambung tas mungil yang Sobey serahkan padaku, saat kubuka kotak mungil itu, dua buah jam tangan artistik dari kayu mengkilat mencuat. Aku terpesona, saat kulihat bagian bawah jam tangan itu, ada namaku dan Sobey yang terukir rapih. Kuperhatikan ulang jam tangan itu, detail ukirannya, bentuknya, dua jarum petunjuk waktunya, tulisan angkanya. Semuanya di buat dengan mempesona.
“Bey...” kataku terharu, aku bingung harus mengatakan apa.
“Mudah-mudahan kamu suka sama jam tangan itu,” jelas Sobey membuatku gembira, “jam itu dibuat handmade, dibuat khusus buat kita berdua,” tambahnya membuat hatiku trenyuh.
“Suka? Aku suka banget malah!” seruku berlebihan, jam tangan itu lalu menempel di legan kiriku. Lama aku memperhatikan jam tangan itu sambil senyum-senyum sendiri, sebelum menbeku saat Sobey mengecup lembut jidatku.
“Aku gemes kalau lihat sifat kekanakanmu muncul,” bisiknya sambil memelukku erat.
“Aku kok ngerasa dari dulu kamu kasih terus ya Bey?”
“Nggak apa-apalah Bell, I love giving!” serunya mempererat pelukan.
“Kamu kok nggak bilang-bilang kalau mau ngasih hadiah pernikahan buat Andi?” tanyaku menuntut penjelasan.
“Nggak ada kewajiban jugakan buat bilang-bilang sama kamu?”
“Iya sih, tapi kan-“
“-Kamu juga pengen haneymoon kaya gitu juga?” cerocos Sobey lengkap dengan senyum nakal. Tangaku menjitak kepalanya.

. . . . # # # . . . ...

Pagi-pagi Andi datang ke Reve, menenteng tas jinjing berukuran besar dengan tangan kirinya. Ia menghampiriku dengan senyum cengengesan dan duduk di meja paling dekat dengan kasir.
“Ngapain kamu kesini? Bukannya nggak ada tugas jaga?” tanyaku beranjak dari meja kasir.
“Cuma mau nganterin kostum buat nanti malam aja,” ujar Andi sambil menyerahkan tas jinjing berisi kardus persegi panjang untukku.
Langsung kubuka kardus di dalam tas jinjing itu, mataku membelalak, melihat kostum berwarna kuning cerah dengan garis hitam dan sepatu berbentuk cakar, “Beneran nanti malem mau pake ini?” tanyaku meminta kepastian.
“Beneranlah! Anak-anak kok yang minta,” jawabnya yakin.
Dude! Seumur hidup cuma sekali lho acara itu!”
“Maka dari itu mereka minta sesuatu yang nggak mudah buat dilupain,” timpalnya, “khusus buat acara nanti malam,”
Shit! Otak kalian beneran kurang sesendok,” balasku sebal. Kubungkus lagi kostum itu ke dalam kardur dan menyelipkannya kembali dalam tas jinjing, “nggak mau MRI berjamaah aja kalian? Siapa tahu otak kalian emang beneran sengklek dari sananya,”
Andi terbahak, “Dijamin ramai deh nanti malem!” katanya penuh semangat.
“Kamu emangnya pake kostum apa?” tanyaku penasaran.
“Nanti kamu juga bakal tahu sendiri,” jawabnya sambil senyum-senyum nggak jelas.
Melihat senyum nggak jelasnya, aku malah jadi was-was untuk nanti malam. Tapi aku sudah tercebur dalam permainan goblok ini, nggak ada jalan pintas untuk melewati kekonyolan nanti malam.
“Sobey kamu undang?” tanyaku penasaran.
“Pasti dong!”
“Terus kostumnya?”
“Dia udah ada kok!” katanya mantap.
“Kamu yang nyariin?”
“Enggak, dia bilang dia udah punya kostum buat nanti malam,”
“Beneran?”
“Sumpah Abell! Nggak percaya banget sih jadi orang!”
“Bukannya nggak percaya, tapi ini konyol banget tahu nggak!”
“Udah deh, tinggal ikutan aja kenapa sih?”
“Iya-iya, nanti aku pasti dateng pake kostum ini,” jawabku jengkel. Aku menyerah.
Andi tersenyum puas di depanku.
Aku berfikir lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menceritakan hal ini dengan Andi, “Ndi, tentang kejadian di rumah sakit kemarin, ada sesuatu yang belum aku ceritain sama kamu,” kataku menyedot perhatiannya. Akhir-akhir ini, mimpi tentang sosok gadis itu menghantui sudut pikirku dengan tanda tanya. Aku tak ingin menyimpan hal ini sendirian.
“Apa yang belum kamu ceritain sama aku Bell?” tanyanya dengan nada serius.
“Gadis yang menuntunku ke cahaya setelah disiksa sekian lama,” ujarku kembali mengingat peristiwa itu, tubuhku merinding saat kenangan ikut berkelebat di ruang pikir, “beberapa kali aku masih mimpiin dia,” tambahku kecut.
“Itu yang ganggu fikiranmu akhir-akhir ini?”
“Iya,” sahutku lemas.
“Tapi gadis itu cuma ada di mimpimukan Bell? Belum tentu dia eksis di dunia nyata,”
“Nggak ada jaminan pasti buat itu Ndi,” kataku keukeh.
“Jadi kamu ngerasa kalau gadis di mimpimu itu nyata?”
Aku mengangguk pelan, tak terlalu yakin. Tapi setelah mimpi tentangnya beberapa kali, sekarang aku hafal betul wajahnya jika berpapasan di jalan, “Entahlah, aku ngerasa ada sesuatu yang nggak beres aja,” jelasku frustasi, “pertama, aku nggak kenal dia sama sekali, tapi beberapa kali dia mampir di mimpiku. Kedua, setiap dia hadir di mimpiku, aku ingat jelas besoknya pas bangun, gimana mimpinya, detailnya dan lain-lain. Aku ingat jelas semuanya, nggak lupa kaya biasanya. Ketiga, sekarang aku hafal banget sama wajahnya, kalaupun nanti aku bakal ketemu dia di jalan, aku pasti bakal kenalin dia,”
Andi berfikir lama, membuatku ikut-ikutan diam dan sibuk dengan pikiran kusutku, “Kamu eror kalau nganggep mimpimu seserius itu!”
Damn! Mimpi itu nggak cuma sekedar bunga tidur kali!”
I know, I know!” tukasnya cepat, “sekarang udah banyak orang yang nganggep mimpi itu lebih dari bunga tidur, dan mulai mengeksplorasinya lewat banyak hal. Jadi kamu mau menelusuri mimpimu pake tehnik mimpi sadar, meditasi mimpi atau yoga mimpi?”
“Aku belum tertarik sama hal-hal itu,” jelasku simpel. Aku belum setertarik itu untuk berpetualangan dalam dunia antah berantah. Apalagi mengingat kejadian yang mencuciku lahir batin di alam mimpi itu.
Tawa Andi pecah sebelum ia melanjutkan kalimatnya, “Pernah nggak kamu iseng coba ngartiin mimpimu lewat primbon?”
Tanganku melayang ingin menjitak kepalanya, tapi Andi dengan sigap langsung menghindar, “Dude! Please!” seruku jengkel, “intuisiku bilang ini lebih dari urusan klenik,”
Andi terbahak, “Namanya juga usaha Bell,” berondongan tawa masih menyelimutinya, ”tahu nggak? kamu terlalu serius! Nggak bisa ya nganggep itu sekedar anomali?”
“Ya nggak gitu juga kali!” tukasku mangkel. Andai tadi aku tak menceritakan hal ini.
Melihatku memasang muka kusut, perlahan tawa Andi memudar dan menanggapiku dengan serius, “Sorry, sorry, kelepasan,” jelasnya kemudian, “ayo kita bedah satu-satu, pertama itu alam bawah sadar, kita nggak bakal ngerti secara sempurna alam bawah sadar dengan alam sadar kita, itu dunia yang beda,”
“Bukannya kedua hal itu saling melengkapi? Kaya rectoverso?”
“Aku nggak tahu,” jelasnya ragu-ragu, “kita beruda nggak punya kompetensi tentang hal itu,”
Aku mendengus sebal, “Kenapa ini jadi seribet ini sih?”
“Kamu sendiri yang menjadikan ini obsesi,”

. . . . # # # . . . ...

Malam menjelang dan aku merasa begitu konyol saat memakai kostum yang Andi persiapkan. Berulang aku mematut diri di depan kaca, aku benci menatap bayangan diriku sendiri. Sobey menerobos pintu kamarku dan terbahak, tawa kami membuncah. Menertawai diri sendiri.
“Siap berangkat Pikachu?” tanya Sobey sambil bergaya memerah susu dari bajunya, ia mengenakan kostum sapi, dan begitu bangga.
Aku mendengus sebal, jika bukan karena undangan Andi untuk menghadiri pesta bujangnya, aku tak akan mau keluar rumah memakai kostum seperti ini.
“Santai aja kenapa sih?” sahut Sobey berusaha menenangkanku.
Keteganganku mulai mencair setelah menenggak alkohol di parkiran, aku berjalan di belakang Sobey, mengikutinya masuk klub dengan jantung berdebar. Dentum musik EDM langsung menghajar gendang telingaku, suasana mendadak begitu bising, mataku terpaku pada penari telanjang yang melengak-lengok di samping tiang. Tubuh mereka dilukis beragam tokoh komik Jepang dan teman-temanku ternyata juga memakai kostum sepertiku. Keteganganku mereda setelah beberapa gelas mungil berisi alkohol melewati kerongkongan. Aku mulai membaurkan diri dan menikmati pesta.


Kisah selanjutnya Klik Disini Episode Terakhir




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 

Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: