Pelepasan Remah 45 (Remah Terakhir)

3:00:00 PM Admin 3 Comments



Pelepasan
Remah 45


Kisah sebelumnya


Aku mematut diriku lama di depan kaca, tersenyum-senyum melihat diri sendiri. Dari dulu, aku tak pernah nyaman memakai celana panjang dengan bahan apapun, entah celana kain atau celana jeans, dalam satu tahun dapat dihitung berapa kali aku memakainya. Aku lebih nyaman memakai celana pendek kemanapun, karena simpel, nyaman dan tidak membuatku merasa gerah. Begitu juga dengan urusan baju, aku hampir tak pernah memakai kemeja kecuali saat kuliah dulu, aku benci pakaian formal. Aku lebih suka memakai kaus polos atau berpola garis-garis standar dengan warna apapun, dan hanya saat-saat tertentu saja aku memakai kaus-kaus yang menyuarakan fikiranku dengan font-font besar yang aku minta Willy buatkan.
Ini adalah hari istimewa, hari spesial untuk lingkunganku. Aku masih merasa aneh memakai setelan jas seperti ini. Seperti biasa, Sobey menyedot habis perhatianku saat memakai jas dan celana khaki, rambutnya klimis dan tersisir rapi. Ia begitu tampan saat berpenampilan rapi seperti ini. Wajahnya putih bersih, kumis dan cambangnya tercukur habis. Mataku bahkan harus mengerjap beberapa kali saat ia datang menjemputku, setahun lebih kami menjalin hubungan tak berstatus, tapi sering kali aku masih terjerat oleh pesona yang ia miliki. Pesona yang dapat timbul disaat-saat tertentu dan mengingatkanku akan keberuntunganku sekarang, membuatku bersyukur akan semua yang aku miliki sekarang. Pagi itu, ia bersikap manis padaku, dia membukakan pintu mobil saat aku mau masuk.
“Kamu ganteng banget sih hari ini,” pujiku tulus saat berada di dalam mobilnya, kecupanku mendarat di pipi kirinya. Aku tak mampu menahan diri jika melihatnya berdandan rapih seperti ini. Kuambil handphoneku dari saku jas dan langsung memotertnya dari samping.
“Jadi, biasanya aku nggak ganteng?” kata Sobey bersungut-sungut. Ia gembungkan pipinya seperti anak kecil.
“Ganteng, tapi kalau kamu tampil rapih kaya gini bikin aku blingsatan,” selorohku sambil menujukkan hasil fotoku barusan.
“Bagus, foto berdua yuk,” ajaknya langsung kupenuhi. Setelah memotret diri bersama beberapa kali, Sobey lalu menyetir dengan kecepatan sedang ke tempat kebahagiaan akan bertumpah ruah hari ini. Membicarakan banyak hal yang membuat hati hangat sambil mendengarkan playlist yang sengaja aku ramu untuk meningkatkan suasana gembira di pagi hari.
Pernikahan Andi dilaksanakan di salah satu gedung mewah di Solo, saat di parkiran aku bertemu dengan teman-temanku SD, SMP, SMA hingga kuliah dan bereuni singkat dengan mereka semua. Canda dan tawa mengalir begitu kita memutar ingatan tentang masalalu dan membandingkannya dengan masa sekarang, saling mengejek kebiasaan konyol masing-masing dan sesekali memeluk hangat karena moment-moment itu tak akan pernah terulang. Belasan karangan bunga bertuliskan ucapan selamat berjajar rapi di parkiran, melatar belakangi acara reuni dadakan kami.
Foto-foto preweed dengan beragam konsep terpajang di lorong sebelum masuk ke dalam gedung, mulai dari foto-foto konyol, lucu-lucuan, sok ngambek, hingga romantis di tempat-tempat eksotis, semuanya terpajang dalam bingkai mewah. Aku terpesona saat masuk ke dalam gedung, dokorasi modern berunsur jawa tengah terlihat begitu indah saat dipadu-padankan. Aku lihat Sandra di ujung ruangan, dengan pakaian rapih dia mengatur banyak hal dan kelihatan sibuk dengan acara ini. Ia terlihat terkendali dan profesional, tak seperti biasanya saat kami bersama.
Aku mendapatkan tempat duduk paling belakang bersama Sobey dan beberapa temanku di Jogja, aku sengaja meminta Sandra menempatkanku di barisan paling belakang karena untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku berada dalam satu ruangan dengan orang tuaku. Ayah dan ibuku datang bersama keluarga Kak Sherin, mengenakan baju bermotif seragam. Jika aku datang bersama mereka, pasti aku juga akan mengenakan baju yang sama dengan Mas Irwan dan ayah. Bahagia terbit di dalam hatiku saat melihat ayahku baik-baik saja. Detik itu, aku berterimakasih kepada Tuhan karena telah memberiku apa yang aku butuhkan. Ingin rasanya memeluk Sobey saat bahagia dan damai merasuki diriku.
Acara dimulai dan berulang kali aku terbawa suasana, saat Andi dan Atisha memasuki ruangan lengkap dengan dandanan yang membuai mata. Mereka langsung menjadi pusat perhatian, aku tak pernah melihat Andi sebahagia ini, dari awal acara senyum tak pernah pudar dari wajahnya. Hari itu dia tampil begitu rupawan dengan aura berpijar. Aku tak bisa menahan haru saat terhanyut dalam prosesi sakral pernikahan adat jawa yang begitu indah, filosofis dan artistik di mataku. Aku juga bertepuk tangan paling kencang saat anak-anak ISI Jogja tampil sebagai pengisi acara, mereka memodifikasi musik jawa yang biasanya membuatku ngantuk saat di dengarkan menjadi penuh semangat dan optimisme.
Saat acara berakhir dengan satu-persatu tamu menyalami Andi, sengaja kubiarkan Ayah dan Ibuku duluan, Kak Sherin dan Shefina melambaikan tangan saat melihatku. Andai aku bisa berbaur dengan mereka, tapi aku tak ingin merusak acara ini dengan emosi Ayahku yang kerap tak stabil. Sobey paham benar bagaimana perasaanku saat itu, jadi dia menemaniku duduk di bangku saat tamu mulai menyusut hingga menyisakan beberapa orang dan baru mengajakku memberi selamat kepada sahabat karipku.
Air mataku tumpah saat aku berjalan menghampirinya, aku langsung memeluknya lama sambil mengusap air mataku dengan punggung tangan, aku turut bahagia melihatnya bersanding dengan pasangan hati. Kenanganku dengannya membabat hatiku. Sahabat sejati sedari kecil, yang menjadi saksi jatuh bangunnya hidupku, lebih dekat dari saudaraku manapun, menjadi kakak non-biologisku, patner in crime, tempat curhat-curhat bangsatku, pengingat saat aku kehilangan arah, dan yang paling penting, selalu ada untukku dalam kondisi apapun. Tak pernah meninggalkanku sekalipun punya banyak alasan untuk hal itu.
Aku sadar jika semua itu akan berubah setelah ini, ia akan menetap di Jogja dan mengurus cabang Reve disana. Ia juga akan membuat satu lagi cabang disana setelah cabang di Boyolali selesai. Intensitasku dengannya akan berkurang, tak seperti dulu lagi. Aku merasa kelihangan tapi juga turut berbahagia karenanya. Bahagia karena dia bahagia.
Selamat menempuh hidup baru, sahabat. Doa terbaik untukmu.

. . . . # # # . . . ...

Sobey terbahak hingga matanya berkaca-kaca saat aku masih sesegukan keluar dari dalam mobil.
“Kamu itu terlalu sentimentil,” ejeknya saat kami berada di ruang keluarga.
“Biarin!” tukasku kekanakan. Membakar tawa Sobey semakin menjadi-jadi.
Tanganku mengapit lengannya dari garasi hingga kamar, baru kulepas saat dia mengganti baju dan ijin untuk membersihkan diri. Aku tertidur sebentar saat Sobey membangunkanku setelah mandi, handuk mengantung di pinggulnya dan butir-butir air sebagian masih menempel di tubuhnya. Ia menyuruhku untuk mandi terlebih dahulu sebelum tidur. Tapi aku malah memintanya untuk rebahan di sampingku dan lengan dan dadanya aku jadikan bantal untuk mengganjal kepalaku. Lengan kiriku terhampar di atas perutnya saat kami sama-sama menikmati serial di Netflix sambil membicarakan banyak hal.
Aku kembali terlelap, begitupula dengan Sobey. Dengan gerakan pelan aku berusaha lolos dari jeratan peluknya, agar dia tak terbangun dari tidurnya. Saat kulirik jam di atas meja, ternyata ini hampir tengah malam. Kupelankan volume tv saat aku beranjak ke kamar mandi dan mulai membersihkan diri. Usai mandi, aku langsung membenamkan diri kedapur, mencari kudapan untuk makan malam. Sobey menyusulku saat aku sedang streaming video di youtube sambil melahap es cream dari wadah ukuran jumbo.
“Kamu kok bangun?” tanyaku saat melihatnya berdiri di depanku, kali ini boxer dan jumper, sudah mengantikan handuk yang membalut perut hingga lututnya.
Ia mengecup jidatku terlebih dahulu sebelum menghampiri kulkas dan mengambil air mineral disana. Menenggaknya hingga kosong setengah, lalu duduk disampingku, ikut menonton video di tabletku. Minta disuapi es cream.
“Aku kira kamu pulang,”
“Ngapain pulang malem-malem gini? Nanti malah ada begal lagi!” sahutku riang.
“Kamu kelaperan?” tanyanya perhatian.
“Iya Bey, tak kira tadi ada mie atau apa di dapur, terus mau aku masak, tapi ternyata nggak ada apa-apa. Tinggal es cream sama minuman doang, jadi kembung deh ni perut,”
“Kemaren aku lupas pas mau belanja bulanan, yuk cari makan sekarang. Kalau kamu keluarnya sama aku, dijamin nggak ada begal,” serunya menuju ruang keluarga, mencari kunci mobil.
“Aku cuma bercanda kali Bey! Es cream segini udah lebih dari cukup kali!”
“Nggak apa-apa, kalau kamu udah nggak laper, tetep temenin aku cari makan,” katanya memaksa, “ambil jaket dulu sana, dingin lho diluar,”
Malam itu, kami akhirnya makan malam nasi liwet di daerah Kartasura. Setelah kenyang, aku malah tak mau pulang, aku memaksanya ke Tawangmanggu dan melihat lampu kerlap-kerlip dari atas bukit hingga dini hari sambil makan jagung bakar.

. . . . # # # . . . ...

Drescode putih menjadi kewajiban di prosesi terakhir setelah pesta bujangan, pernikahan wah di gedung mewah dan sekarang, Andi menutupnya dengan garden party di salah satu resort mewah kawasan Tawangmanggu. Sobey menjemputku seperti biasa dan aku mengecup bibirnya ringkas di dalam mobil, aku selalu belingsatan jika melihat ia berpenampilan rapih seperti saat ini.
Di sebuah taman luas dengan pemandangan perbukitan, garden party digelar meriah, foto-foto preweed dengan tema berbeda dari pesta pernikahan belasan hari yang lalu memenuhi sudut-sudut taman. Karangan bunga berwarna putih turut menyemarakkan tema, senada dengan meja dan kursi yang dibalut kain berwarna putih bersih. Puluhan lampion berwarna putih dengan semburat kuning di tengahnya membingkai langit di atas para undangan.
Acara kali ini lebih ringkas dan intim. Dihadiri keluarga besar kedua mempelai dan sahabat dekat, tak kurang seratus lima puluh tamu undangan hadir di resort itu, Sandra masih di dapuk menjadi W.O,-nya. Setelah prosesi pemberkatan singkat, suasana sakral mulai mencair, pengisi acara mulai melantunkan lagu-lagu andalan, aku mengajak Sobey menjauh dari kemaian dengan membawa satu piring kue berpotongan mungil dan dua gelas anggur merah menggiurkan.
Diujung taman tempat tak ada orang bersliweran, aku duduk di samping Sobey, menatap bukit yang berpadu dengan warna hijau dan biru. Tanganku mengampit lengan kanan Sobey dan kusandarkan kepalaku di pundaknya. Merasakan nyaman yang bersemayam disana. Udara dingin khas pegunungan memaksaku untuk memeluknya lebih erat dari biasanya.
“Kamu jangan minum banyak-banyak Bell,” katanya penuh perhatian, “kamu itu cepet mabuknya, nanti kaya kemaren lho,” tambahnya mengingatkan.
Aku malah tersenyum saat ingat pesta bujangan itu, saat aku muntah-muntah tak karuan di halaman parkir dan membuat onar. Paginya, aku malah terbahak saat Sobey cerita aku nari-nari nggak jelas di atas mobil sebelum akhirnya mau diajak pulang setelah dibujuk sekian lama.
“Asal ada kamu, aku nggak hawatir Bey,” sahutku ringan, ada kepasrahan dan rasa mantap yang turut dalam kalimat itu, “kamu pasti nggak bakal biarin aku ngelakuin hal bodoh,”
“Terus kalau aku sama Andi nggak ada, kamu mau gimana?”
“Ya nggak usah ke club malemlah,” tukasku langsung. Jawaban konyol. Aku merasa tubuhku mulai mengawang, anggur mulai memberikan efek ke dalam ragaku.
Tapi Sobey malah memberengut, jidatku berkerut melihat ekspresinya, “Bell, aku hawatir sama kamu,” katanya pelan, menggengam jariku erat, “kamu itu ceroboh, kekanakan, usil, konyol, tapi juga rapuh dan nangisan. Tapi, di balik itu semua, kamu punya hati yang baik dan aku jatuh cinta sama kamu setelah sekian lama kita jalan bareng,” ada jeda lama sebelum ia melanjutkan kalimatnya, ia memaksa mata kami untuk bertaut, “Ikut aku Bell, kamu tahu, aku nggak bakal ngerenggut kebebasanmu,” jelasnya terdengar merdu di telinga. Ingin rasanya terbuai ajakannya.
Hatiku berdesir karena kesungguhan dalam ucapannya. Anggur pasti semakin memperjelas rona merah di wajahku. Setelah menatap matanya sejenak, mataku kembali menjaring perbukitan yang kini tertutup kabut tipis. Hijau, biru, putih dan kelabu sejauh mata memandang. Kupererat pelukanku, “Aku tahu kamu nggak bakal ngerenggut apapun dariku Bey, kamu itu tipikal orang yang membebaskan,” jawabku yakin, “I love you,” bisikku.
I love you too,” bisiknya sambil mengecup jidatku.
Mungkin sudah saatnya aku melabuhkan kembali hatiku, batinku.
“Ke toilet dulu ah,” jelasku langsung ngacir setelah menelan beberapa gelas anggur.
Dalam perjalanan menuju toilet, Andi memanggil namaku dan melambaikan tangan agar aku menghampirinya, tapi aku tak kuat lagi untuk menahan gejolak di ujung selakanganku. Setelah urusan di toilet tuntas, aku berjalan menghampiri Andi yang dikerubungi oleh banyak teman dan sahabat. Keluarga besar berada di gerombolan lain, menggelembung mengelilingi area barbeque yang terus mengepulkan aroma mantap. Aroma yang membuat perut mendadak lapar.
Aku langsung nimbrung ke dalam rombongan pertama, duduk diantara teman dan sahabat yang sudah lama aku kenal. Cerita mengalir bergantian, tapi kebanyakan berakhir dalam gelombang tawa panjang, suasana yang membuat hati mendadak hangat. Aku tak bisa duduk bersama mereka lama-lama, karena Sobey menantiku di pojokan taman sendirian. Jadi, kuputuskan untuk kembali menghampiri Sobey sebelum akhirnya dadaku berguncang hebat karena hadirnya satu sosok yang hadir di dalam mimpiku.
Kakiku bergetar dan keringat dingin terjun bebas membanjir di tubuhku. Tangan dan kakiku mendadak beku, tak bisa digerakkan seperti biasanya. Perhatianku langsung tercurahkan pada sosok itu. Tersedot habis dan tandas. Sosok gadis dalam mimpiku itu hadir tak sampai belasan meter dari tempatku duduk, dia tak melihatku sama sekali, mungkin juga tak menyadari keberadaanku.
Tapi sejak mataku tertamat pada sosoknya, mataku terus terpaku pada wajahnya. Kulihat baik-baik gadis itu dan kucocokkan dengan sosok dalam mimpiku, mereka sama persis. Nafasku hadir satu-satu. Ada pilu di dalam dadaku, tapi ada perasaan puas dan genap saat melihatnya. Setidaknya aku tak perlu mengada-ngada lagi pada diriku sendiri dan bilang jika sosok itu nyata, bukan produk alam mimpi semata.
Kuulas senyum untuk sosok kasat mata. Kebahagiaanku melimpah ruah hari itu.
Satu fakta yang mengobarkan semangat di dalam dadaku, dia nyata, dan itu fakta. Gadis itu hadir dan melengkapi serbuan tanya dalam alam fikirku. Kehadiran gadis itu membuktikan jika apa yang membuatku terobsesi bukanlah hal absurd yang membuatku tampak gila. Dia hadir, dia nyata dan nampak di depan mata, berjalan dengan dua kaki berbalut heels simpel di atas rumput hijau, tidak mengambang. Seorang lelaki muda disampingnya membisikkan sesuatu di telinga gadis itu yang membuatnya tersipu, sebelum akhirnya mengandeng tangannya dan mengajaknya beranjak dari pesta.
Ingin rasanya aku menghampiri kedua orang itu, tapi aku juga tak ingin tampil seperti orang gila yang bertingkah sok kenal dengan seorang gadis di pesta penting ini, apalagi aku ingin membahas kehadirannya di dalam mimpiku. Dia pasti akan langsung meninggalkanku dan mengiraku delusi. Tapi tubuhku mangkat dari kursi dan berjalan kagok mengikutinya dari belakang. Aku sadar jika pucat membebat habis wajahku, tapi aku tak peduli, belum tentu aku mendapatkan kesempatan ini lagi. Jadi, kuikuti dia dari belakang.
Tubuhku masih bergetar saat aku menuruni tangga menuju parkiran, gadis itu menghampiri sepeda motor antik dan mengenakan helm unik saat keberanianku berkumpul satu-satu agar cukup untuk menghentikannya, tapi perhatianku kembali tersedot habis saat ada orang yang memanggil namaku dengan nada yang begitu familiar. Tubuhku membeku, dan air mataku mulai berkaca-kaca. Aku tak kuat menahan serbuan rasa yang kini membebat dada.
Ditengah riuhnya suasana pesta, telingaku mendadak tak mendengar apapun, jantungku seakan-akan berhenti berdegub saat kedua bola mataku menangkap sosok yang baru saja masuk dalam jaring mataku. Sosok lusuh yang bertahun-tahun selalu ada, lenyap lalu kini kembali mencuat, seakan-akan tumbuh dari tanah. Ia kembali hadir, dengan sorot mata rapuh yang membuatku ingin memberikan pelukan hangat. Atau aroma parfum bercampur keringat yang sekian lama absen dari penciumanku dan kini tiba-tiba mengetuk hidungku, membuatku ingin bergegas menghampirinya, lalu berkata, kamu darimana saja? Aku masih disini menunggumu, kamu baik-baik sajakan?
Tapi, ternyata tungkai kakiku tak sejalan dengan anggota tubuhku yang lain dan kelopak matakupun juga seakan-akan tak bisa menentukan apa yang harus lakukan selain mengelontorkan bulir-bulir air mata yang pelan menetes di pipi dan merembes ke relung hati, mengaliri luka lama yang belum kering benar. Aku merasa diriku kembali terbelah menjadi dua bagian, si goblok yang ingin memberi Willy pelukan hangat dan berkata “Semuanya akan baik-baik saja,” dan si goblok satunya yang ingin berbasa-basi singkat sebelum akhirnya meninggalkannya dan kembali menghampiri Sobey di pojokan taman. Panggilan keduanya menyadarkanku jika itu nyata.
“Bell,” Nada itu. Penekanan itu. Suara itu. Tubuhku tremor, gelagapan aku mencari pegangan. Ternyata aku belum mampu benar memusnahkan dia dari hidupku. “aku nggak kuat lagi pura-pura kaya gini. Aku sekarat tanpa kamu Bell.” Tanganku berguncang, kesadaranku mengawang. Kutatap cekungan hitam dibawah matanya, bibir tipisnya yang semakin kelam dan wajah serta rambutnya yang tak lagi terawat.



Bersambung ke episode Peretas Mimpi.




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

3 comments: