Pelepasan Remah 3

3:18:00 AM Admin 0 Comments



Pelepasan
Remah 3


Kisah sebelumnya Klik disini



Pertengahan September 2009.
Sisa-sisa perayaan kelulusanku meraih gelar sarjana masih terasa membaui udara. Gempita kegembiraan tak lekas membuat hatiku bungah bukan main, malahan aku nampak menjadi seonggok daging penuh siksa ditengah kegembiraan keluarga yang begitu melimpah ruah dan tak berkesudahan.
Pujian beruntun sanak keluarga karena aku lulus dengan IPK di atas 3,5 sama sekali tak bisa membuat diriku tergoda untuk merasakan kebahagiaan yang sama. Aku terjebak dalam labirin fikiran yang dua tahun ini mengukungku, dan menguat beberapa bulan terakhir ini.
Sudah lama aku fikirkan hal ini matang-matang. Bahkan hingga kematangan dan akhirnya busuk digerogoti belatung. Berkali-kali aku ditentang sahabatku paling dekat, tapi rasa muak terlanjur kuat menancapkan tahta di dalam dada. Mengkudeta rasa pengecutku akan kaca mata dunia luar. Saat aku akan mengungkapkan jati diriku pada keluargaku.
Malam itu, segaris hujan lebat turun bersama langit kelam yang terus bersendawakan halilintar, terbahak bersama gemuruh alam di atas sana. Di dalam kamar, semua pakaian dan barang-barangku sudah tersimpan rapi dalam sebuah koper besar. Sebagian besar barang-barangku sudah aku titipkan di rumah kontrakan sahabatku beberapa minggu terakhir demi mengantisipasi hal yang mungkin terjadi. Dan yang pasti terjadi.
Segala kemungkinan telah kuperkirakan. Aku diusir. Aku diasingkan. Aku ditinggalkan. Aku di rehabilitasi. Aku di kebiri. Aku di hipnoterapi. Semua kemungkinan sudah aku fikirkan masak-masak. Sudah kusiapkan pula diriku untuk kemungkinan terburuk sekalipun. Aku rela dan siap melanjutkan hidup tanpa mereka. Menurutku, itu semua tak ada apa-apanya daripada pengorbananku selama dua puluh satu tahun ini. Aku lelah bermain petak umpet dengan kemunafikan.
Dengan langkah pasti aku menghanyutkan diri di ruang keluarga. Bergabung dengan ayah, ibu dan kakak perempuanku yang masih gempita dalam perayaan. Tenggakan minuman keras di kamarku cukup untuk membumbungkan rasa percaya diriku. Bukan karena aku gemetar menghadapi dunia luar yang sebentar lagi mengecapku, tapi semata-mata hanya karena aku butuh dorongan untuk berdiri tegak saat tak ada lagi dukungan dan pengertian di keluargaku.
Pahit aku lewati lorong dan beberapa ruang tempat segala kenangan bersemayam. Ku hembuskan nafas perlahan, ini detik-detik terakhir aku tinggal di tempat ini. Kuhikmati benar sisa waktu yang mengalir disekelilingku.
Kakiku membeku, seakan-akan terpaku dilantai berlapis kayu. Lama aku mematung di salah satu sudut rumahku itu. Sudut favorit keluargaku. Sudut tempat segala foto  pembeku momentum yang perlahan dilupakan sang waktu. Kuresapi lagi kenangan-kenangan yang hadir dalam potret-potret kamera itu. Momentum-momentum yang diabadikan di selembar kertas berbalut bingkai foto. Kumpulan sekat-sekat hidup yang berusaha kami kenang berulang. Berat langkah kakuki saat menapaki lantai kayu tempat duapuluhan tahun menghabiskan waktu.
Tanganku bergetar saat menarik lengan kursi makan tempat keluargaku berkumpul. Kutarik nafas dalam-dalam dan melepasnya perlahan. Aku siap. Aku siap menghadapi ketidakpastian dunia.
“Yah, aku pengin ngomong sesuatu,” kataku pasti. Tenang, kutatap mata ayahku. Ku sampaikan gelondongan emosi jika aku sungguh-sungguh ingin berbicara dengannya. Kuedarkan pandanganku, seketika ibu dan kakak perempuanku memperhatikanku.
Tak butuh waktu lama ayah meresponku, “Wah, anak kebanggaan ayah mau ngomong apa nih?” tanya ayahku dengan rona wajah gembira. Bahkan kedua pipinya masih terdapat semburat warna matang akibat rasa bahagia yang terlalu memabukkan. Sedari kemarin ia menengguk anggur kebahagiaan, dan malam ini, kebahagiaannya akan mendapatkan penawar. Brotowali super pahit yang tak akan pernah ia lupakan. Seumur hidupnya.
Susah kutelan ludah yang menjelma menjadi duri di tenggorokan. Suara yang mendadak serak, menyapa saat aku mulai bicara, “Yah, Bu, Kak. Abell pengin bikin pengakuan sama kalian semua,”
Kali ini, butuh waktu cukup lama untuk mereka memusatkan perhatian padaku, “Ini penting!” hardikku ketus. Emosi menggumpal erat di dadaku, membuatku sulit bernafas, ingin segera dilampiaskan keluar. Mereka bertiga menatapku dengan tatapan terusik, televisi dimatikan. Mereka memberiku ruang untuk bicara.
“Pengakuan apa nih? Kok kayaknya serius banget? Kamu sudah punya pacar terus kalian pengen cepet-cepet nikah, begitu?” sahut ayahku penuh canda, disusul berondongan tawa dari ibu dan kakak perempuanku, “kerja dulu Bell. Cari duit yang banyak, beli mobil, terus nyicil rumah. Kalau sudah dapet kerjaan tetap, terserah kamu mau nikah cepat atau nanti-nanti. Ayah serahin semua ditanganmu. Ayah percaya kamu nggak bakal nyia-nyiain kepercayaan ayah ini.”
Seketika sampah di hatiku menyeruak hebat. Enek aku mendengar itu semua. Bosan aku dengan potongan kalimat-kalimat penuh keinginan mereka, penuh sodoran ini dan itu, “Yah, bukan itu yang Abell maksud,” kataku muak.
“Terus, maksud kamu apa Bell?” tanya ayahku lengkap dengan ulasan senyum yang sedari kemarin terus tercetak di bawah kumis lebatnya.  
“Ini tentang diri Abell,” lanjutku pasti.
“Lho, emang kamu kenapa Bell? Kamu nggak sakitkan? Apa kamu kecapean gara-gara acara wisuda tadi? Mau ibu panggilin tukang pijat?” sahut ibuku penuh perhatian, meruntuhkan sepertiga keberanianku. Tapi vodka yang kutenggak di kamar memilih untuk tak bereaksi dengan ramah tamah ibuku. Amarah dan rasa muak, meronta untuk segera dibebaskan.
“Aku nggak mau apa-apa Bu. Aku baik-baik saja. Aku sehat,” jelasku ringkas, “malam ini. Abell mau jadi orang jujur. Nggak mau lagi jadi pembohong atau orang munafik. Apalagi jadi orang lain. Udah lama Abell mikirin ini semua matang-matang. Aku bakal terima semua sanksi dan akibat yang bakal Abell dapat karena hal ini,”
Lama mereka terdiam, menimang-nimang apa yang sebenarnya ingin aku ungkapkan. Kini, giliran kakakku yang membuka suara:
“Kamu sebenernya mau ngomong apa sih Bell? Serius amat!”
“Iya nih, kok jadi serius gini kamu ngomongnya nak,” ucap ibuku ikut menimpali, ”apa kamu lagi pengen sesuatu? Mau ganti motor atau mau liburan ke Bali buat hadiah wisudamu?”
Terlanjur malas aku menanggapi itu semua, “Nggak Bu, Abell nggak pengin apa-apa. Tolong kali ini dengerin aku baik-baik. Satu kali ini saja,” pintaku melas, “aku ngomong gini karena aku memang mau ngomong serius sama kalian. Aku muak hidup dalam kemunafikan seperti ini!” kataku lantang, menyulut emosi di wajah ayahku karena ketidaksopananku, “Yah, Bu, Kak. Aku Gay.”
“Jangan ngomong ngawur kamu Bell!” hardik Ibuku murka. Kuberanikan diri untuk menatap wajah mereka satu persatu, kunikmati benar perubahan ekstrem di wajah mereka.
“Aku nggak ngomong ngawur!,” kataku lantang, “aku ngomong jujur apa adanya. Daripada kalian tahu dari orang lain, lebih baik kalian tahu dari diriku sendiri. Aku nggak peduli kalian mau bilang aku anak nggak tahu diuntung atau anak nggak tahu diri. Tapi satu hal yang jelas dari semua ini! Aku muak! Aku muak sama semua ini! Lama ku nutupin hal ini, lama juga aku nyangkal semua ini, semua itu cuma buat aku semakin benci diriku sendiri. Aku lelah ajdi orang lain. Aku lelah jadi terus-terusan jadi orang yang kalian inginkan!”
“Jaga omonganmu Bell!” kata kakakku memberi peringatan, “kamu itu nggak disekolahin tinggi-tinggi buat ngomong kaya gitu. Minta maaf nggak?” hardiknya lantang.
“Nggak!” balasku sengit, mendidihkan emosi mereka bertiga, “aku nggak bakal minta maaf! Harusnya kalian yang minta maaf sama aku!” kataku tambah kurang ajar, “aku nggak minta disekolahin tinggi-tinggi cuma buat dididik jadi orang lain. Pernah nggak kalian tanya apa yang aku minta? Pernah nggak kalian tanya apa yang aku mau? Kalian itu manusia egois! Kalian selalu bilang ini itu yang baik buat aku tanpa kalian tahu benar apa yang benar-benar aku butuhkan. Apa pernah kalian mikirin perasaanku selama ini? Nggak kan? Kalian itu cuma sibuk nyetak aku jadi apa yang kalian mau. Sibuk dengan pendapat orang tentang aku. Sibuk dengan pandangan orang tanpa sama sekali peduli dengan pandanganku. Kalian cuma peduli dengan sudut pandang yang dipandang orang banyak!”
Bebarengan dengan suara petir yang menggelegar dan terus saling sambar, suasana di ruang makan itu tiba-tiba membeku. Butir-butir air hujan terus merutuk genteng rumahku. Senyap berlaku untuk beberapa saat. Kakakku tersedak makanan yang ia telan, ibu dan ayahku diam memandang. Tanpa terasa air mataku menetes perlahan. Luka ini segera butuh penawar.
“Maaf kalau aku nggak bisa jadi anak yang kalian inginkan. Jujur aku tersiksa dengan semua hal, aturan, ikatan dan keharusan yang kalian wajibkan untukku. Aku muak dengan itu semua! Aku itu juga manusia seperti kalian. Aku juga punya perasaan seperti kalian. Aku hanya ingin kalian melihatku sebagai sesama manusia. Bukan kaya patung lilin yang bisa kalian bentuk sesuka hati. Aku bukan manekin yang bisa kalian arahin atau pakein pakaian begitu saja. Aku punya hati, aku juga punya perasaan. Ini diriku, ini hidupku,” kataku lantang, butir-butir air mata terus mengalir dari sudut mataku. Sampah-sampah hatiku terus menyeruak, meminta untuk segera dilepas landaskan, “kalian itu egois!” teriakku, “ kalian adalah manusia paling egois yang pernah aku tahu. Kalian terus memaksakan hidup orang lain di hidupku hanya untuk sekedar memenuhi keinginan kalian saja! Keinginan-keinginan yang nggak bisa kalian wujudkan di dalam hidup kalian sendiri!” emosi terus bergemuruh dari dalam relung dadaku, meronta-ronta untuk segera diluapkan.
“Udah dari SMP abeel sadar kalau aku terlahir menyimpang. Aku sama sekali nggak suka cewek. Aku suka sama cowok, terangsang dan bergairah sama mereka. Aku tahu kalau pas kita SMP itu masa-masa pencarian jati diri. Tapi aku bukan orang bodoh yang nggak menyadari itu semua. Bahkan mimpi basah pertamaku saja sama cowok! Bukan sama cewek! Asal kalian tahu saja. Aku juga tersiksa dengan keadaanku yang rumit seperti ini. Butuh waktu lama buat nerima diriku sendiri. Lama aku nolak, nyangkal, tapi semua itu cuma buatku lelah. Aku capek hidup seperti itu. Tapi sekarang aku sadar, aku juga udah nerima jika aku lahir seperti ini. Aku nggak bakal nyangkal atau nolak-nolak lagi. Aku nggak mau nipu diriku sendiri. Aku nggak mau lagi jadi orang lain. Ini hidupku, aku mau hidup dijalanku sendiri. Aku terima keadaanku seperti ini dan aku bahagia terlahir spesial. Aku Gay!” kataku pasti dan mantap. Kelegaan panjang hinggap di dadaku. Baru kali ini aku merasa benar-benar hidup. Tanpa paksaan, atau aturan yang selalu meeka jejalkan. Aku merdeka. Aku puas bisa menceritakan isi hatiku kepada mereka bertiga.
Kuedarkan pandanganku sekali lagi. Kutatap satu persatu mata kakak, ibu dan ayahku. Kecewa dan rasa tak percaya terlukis jelas dari kelopak mata mereka yang mulai memerah dan bergelombang. Tapi, empat hal yang kuingat jelas tentang peristiwa malam itu dan selamanya akan ada dalam alam fikirku. Degub suara kursi yang jatuh bedebam, sekelebat bayangan ayah di tembok yang sontak berdiri, suara jerit penuh luka kakak dan ibuku, serta aliran panas di pipiku saat pandanganku mendadak beralih menatap lantai penuh kunang berbintang.
Tetesan darah segar yang mengalir dari sudut bibir kananku menjadi saksi atas peristiwa besar dalam hidupku malam itu. Pandanganku kabur sementara waktu. Sesaat, aku butuh waktu untuk berusaha memahami apa yang terjadi padaku.
“Bukan kali ini saja kamu mengecewakanku Bell, kamu bilang jika kamu tak mau mewarisi agama yang aku percayai. Aku terima. Aku carikan para pemuka agama untuk menjawab semua pertanyaanmu, tapi kamu malah tak mau bertemu dengan mereka. Kamu bilang jika kamu ingin mencari agamamu sendiri. Aku tak masalah. Setiap hari aku berdoa dan menunggu dengan penuh kesabaran agar kau segera memiliki agama sebagai pegangan hidup. Jadi, apa ini hasil pencarianmu selama ini? Apakah ini hasil renunganmu? Setelah sekian lama kau memintaku untuk menunggu, tiba-tiba kau mengatakan jika kau gay?” ucap ayahku lantang, mengelegar penuh getar amarah, “atas nama Allah Bell. Kamu bukan anakku lagi,” lalu ia berdiri tegab didepanku, mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajahku, “tak ada silsilah gay di keluargaku. Selamanya hal itu tak akan pernah terjadi. Jangan pernah muncul di depan wajahku lagi, pergi dan jangan pernah kembali. Aku malu punya anak sepertimu!.”
Untuk beberapa saat mataku mengerjab, pandanganku masih penuh dengan kunang-kunang. Kukuatkan diri untuk bangkit, ku tangkap suasana terakhirku di rumah. Ibu yang tak kuasa menahan tangis di atas meja makan. Kakakku yang mematung dan tak bisa berbuat apa-apa dan langkah besar ayahku meninggalkan kami bertiga. Berjalan penuh luka kearah kamarnya.
Kejadian malam itu sudah aku perkirakan beberapa bulan yang lalu, tapi aku tak pernah meyangkan jika luka yang timbul akan sedahsyat ini. Ku paksa diriku beranjak menuju kamar. Menyeret koper besar berisi sebagian kecil barang-barangku ke luar rumah dan memacu motor dalam linangan air mata yang terus tergerus air hujan.
Sebelum keluar gerbang, kulihat rumahku untuk terakhir kalinya sebelum bayangan motor dan ragaku lenyap dalam cat jelaga malam. Di tengah jalan aku menangis sejadi-jadinya, meraung-raung seperti binatang. Tangis paling hebat yang pernah aku lakukan. Tangis yang kemudian disamarkan air hujan. Akhir dari tangisan batin yang sering aku sembunyikan.


Pelepasan Remah ke 4 Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: