Pelepasan Remah 26

6:03:00 AM Admin 0 Comments




Pelepasan
Remah 26


Kisah sebelumnya klik disini


Jari-jariku masih bergetar tak karuan dan keringat dingin masih mengalir deras di punggungku. Aku terdiam, fikiranku melayang membayangkan segala kemungkinan yang bakal terjadi. Cangkir teh panas yang sedari tadi Willy siapkan untuk melunturkan keteganganku sama sekali tak kusentuh. Banyak notifikasi pesan masuk setelah Andi telefon, kebanyakan terganggu dengan foto-foto yang aku tandai dan minta foto itu untuk segera dihapus. Kuiyakan semua permintaan mereka sambil meminta maaf.
Weslah, santai wae Bell, lagian gur foto-foto koyo ngono lho, ra sah dipiker jero,” bujuk Willy ringan menghampiriku dari arah dapur, berusaha menenangkanku. Dia sama sekali tak terganggu dengan foto-foto yang aku posting di facebook subuh tadi.
“Tapi nggak sesimpel itu Will!” kataku gemas, aku sebal karena tak bisa bersikap seperti tak ada hal besar yang baru saja terjadi. Aku merasa baru saja ditelanjangi dan di arak keliling kota Solo.
“Tapi kan foto-foto itu udah kamu hapus dan akun kamu sudah kamu non aktifin, terus masalahnya apalagi?” katanya santai.
“Ya aku malulah sama orang-orang yang aku tandai di foto itu!” kataku geram, jengkel, frustasi, “mana setingannya aku buat publik lagi! Kan semua orang bisa liat foto-foto itu!”
“Aku aja yang jadi objek fotomu biasa aja kok,” celetuk Willy menjengkelkan.
“Ya itukan kamu! Pokoknya aku nggak mau ke Reve, aku nggak mau keluar rumah,” sambarku penuh emosi. Terus merutuki kebodohanku sendiri.
“Kalau rumahmu udah lunas sih, nggak masalah, tapikan nyatanya masih nyicil dan kamu terikat buat ngurusin Reve berdua sama Andi. Masa iya sih kamu mau enak-enakan disini dan Andi kerja dari pagi?” kata Willy santai sambil menyeruput kopi panas dari cangkir berwarna hitam putih.
“Will! Koe ki mudeng keadaanku saiki po ora?
“Aku ngerti posisimu sekarang sayang, tapi itu udah kejadian. Mau gimana lagi coba? Palingan mereka bakal gosipin kita nggak sampai seminggu terus nggak bakal mereka bahas lagi,”
“Will, aku posting foto-foto itu di facebook asliku, banyak temen-temen kuliah, temen-temen SMA juga ada!”
“Ya kalau gitu anggap aja itu comming out mu sebagai gay, kalau enam tahun lalu kamu baru ngaku sama temen-temenmu dan habis wisuda kamu ngaku sama keluargamu, ya mungkin sekarang kali jatahnya mereka tahu jati dirimu. Udah sesimple itu sebenernya masalah ini, nggak usah dibikin ribet,”
Aku terdiam lama usai mendengar ceramah singkat Willy barusan, dia memang terlalu cuek sama masalah ini, tapi karena sifatnya itu dia kerap kali memberikan sudut pandang yang beda tentang kehidupan.
“Lagian gini lho Bell,” tambah Willy duduk di sampingku, ”foto-foto itu udah terlanjur dan sepersekian persen temenmu di facebook pasti udah lihat, apalagi yang kamu tandai. Jadi ya selow aja men, woles gitu jadi orang. Nggak usah panik. Sego wes dadi bubur lho. Kalau ada yang tanya ya jawab aja apa adanya,”
“Tapi kan-“
“-Wes lah ra sah kakean alesan. Ra sah dadi pengecut! Tanggung jawablah sama apa yang kamu perbuat. Yang fair jadi orang. Habis ini kan kamu harus kerja, kalau malu ketemu sama anak-anak ya pakai masker aja. Urip ki ra sah di gawe ribet!”

. . . . # # # . . . ...

Hujan menguyur Solo dari subuh sampai asar, membuat jalanan aspal yang biasanya kelabu penuh debu menjadi kelam dalam hitam, membuat banyak hal menjadi redup dan kuyup. Air masih menggenang, dan sisa hujan masih menetes di dahan-dahan pohon pinggir jalan saat Willy memaksaku keluar sebentar untuk jalan-jalan. Dia bilang, sore hari sehabis hujan adalah waktu paling romantis untuk pacaran.
Sepotong waktu sengang di sore itu kami habiskan untuk menyusuri bangunan tua dalam gelak tawa di sekitar bandara Adi Sumarno sebelum akhirnya duduk-duduk santai berbalur dengan ilalang-ilalang sendu yang basah dan menunduk lesu karena terlampau banyak dihantam hujam, memandang wajah danau yang bergetar karena terkecup angin liar dan menikmati bau tanah becek habis tersapu hujan.
“Kadang aku ngerasa kalau aku nggak tahu apa-apa lho Bell,” ucap Willy samar, berbaur dengan suara angin yang baru saja lewat sekejab. Membawa sensasi dingin yang mengetarkan saat meraba kulit dan kemudian menghilang.
Aku terdiam. Ada kalanya memang hubungan kami berjalan seperti ini, membahas hal-hal yang terjadi di sekelumit kehidupan, tak hanya berhubungan seks, konyol-konyolan, berburu kuliner anti mainstream, atau sekedar mabuk bareng sampai teler.Kadang, walaupun hanya sebentar, kami membicarakan makna.
“Menurutku nggak tahu apa-apa itu bukan hal besar Will,” jawabku tanpa beban, merebut batang rokok yang terselip di jemari orang paling aku kasihi dan menghisapnya pelan, meresapi benar sensasi termabakau bakar itu masuk kedalam tubuhku dan keluar melalui organ pernafasanku. Sejak menjalin hubungan dengan Willy, rokok, bir, seks dan minuman keras adalah hal yang wajib hadir disekitar kita, “ketidaktahuan bukan hal yang burukkan?” tambahku riang berusaha memupus warna kusam di raut wajahnya. Pasti ada hal yang menggangunya tadi, batinku. Tapi aku tak akan memaksanya bicara sampai dia mengungkap sebab denganku.
Korek kembali memantik. Mengobarkan api penghangus lembaran cengkeh yang bersemayam tenang di dalam batang rokok bersampul putih terang, setelah meresponku dengan anggukan kecil, Willy kembali berucap dengan nada lemas, “Ya, kadang aku juga ngerasa gitu. Tapi lebih sering ngerasa sia-sia kalau nggak tahu apa-apa,” matanya menerawang menatap wajah danau yang masih diselimuti kabut tipis.
“Tapi ya kita tetep nggak boleh nyerah gitu aja dong sama ketidaktahuan,” sahutku semangat, berusaha menghempas kegalauan yang sedang menyelimutinya, “nggak masalah kita nggak tahu banyak hal. Tapi namanya juga orang hidup, selalu aja ada proses mencari, menggali, menelusuri banyak hal untuk memenuhi rasa ingin tahu kita Will. Tapi jawaban finalah yang pada akhirnya membuat kita menjadi manusia stagnan yang hidup leyeh-leyeh di zona nyaman, dimana posisi itulah titik mati kehidupan kita,”
“Kalau tipikal orang yang takut sama ketidaktahuan kaya kamu sih pasti bakal jawab kaya gitu Bell,” jawab Willy sambil menghembuskan asap rokoknya pelan, menatap sendu debur angin yang mengoyaknya kalap hingga lenyap terserap sekat udara. “hidupmu itu konsisten sayang, terprogam banget dari pagi sampai malam. Coba aku jabarin satu-satu ya, dimulai dari bagun pagi, bersih-bersih rumah, mandi, sarapan, baca berita, kerja, makan siang, baca buku, kerja lagi, pulang, mandi, nonton film, baca buku tidur, olah raga tiap weekend, dan pacaran seharian tiap senin. Tapi, kalau kamu lihat secara garis besarnya, banyak banget orang diluar sana yang menganggap ketidaktahuan itu bukan masalah besar. Apa yang masuk ke dalam perut itu lebih penting dari segalanya,”
Aku terdiam sesaat, mencerna apa yang sedang ingin dia bahas, kusesap batang rokok di jemariku lagi, “Kalau kamu ngomong kaya gitu kita bakal bahas tentang, pendidikan, parenting, masyarakat dan budaya kita kebanyakan Will. Pertama karena wajib sekolah kita baru sampai SMP, dimana lulusan SMP itu udah bisa diserap untuk masuk dalam dunia kerja, beberapa tahun setelah kerja dan merasa bisa hidup mandiri mereka bakal nikah, punya anak dan lain-lain. Itu baru satu jalur di dalam sistem kita ini, sebenernya masih banyak sudut pandang, tapi kita ambil siudut pandang yang ini aja, dari penghasilan, pendidikan, latar belakang keluarga, kultur di masyarakat, kita seakan-akan di program sistem kalau nasi itu lebih penting daripada buku. Makanan itu lebih penting daripada pengetahuan.”
“Kalau kamu mau nyalahin sistem, kamu nggak bisa Bell. Zaman sekarang, materi itu lebih penting daripada agama, uang lebih dibutuhkan daripada Tuhan. Logika sesatnya gini, kita bisa hidup tanpa Tuhan, tapi kita nggak bisa hidup tanpa uang. Konyol memang dan terdengar musrik karena menyekutukan Tuhan, tapi itu rill untuk kondisi sekarang,”
“Setuju. Emang faktanya kaya gitu, dari penghasilan yang mepet, pendidikan pas-pasan, latar belakang keluarga dan budaya di masyarakat kita pada akhirnya yang membuat pengetahuan, buku, sekolah yang tinggi itu adalah barang-barang mahal yang sulit untuk mereka gapai. Tapi ya itu harus kita malkumi sih Will, ibaratnya buku sekarang harganya sekitar 60 ribu, itu bisa dijadiin anggaran buat makan 6-7 kali. Terus dari pemerintah, perpustakaan, museum yang bisa kita ibaratin sebagai sumber pengetahuan aja nggak di garap dengan serius. Coba deh cek calender event di Solo, sebagian besar programnya masih tentang budaya. Emang nggak salah sih, tapi ada sektor lain yang juga butuh perhatian. Kemarin aku ke kebun binatang dan sumpah demi tuhan itu nggak layak banget, jadi kasin sama hewan-hewan yang ada disana. Seandainya perpustakaan, museum sama kebun binatang itu dapet perhatian yang layak, pasti bakal keren banget jadinya,”
“Kalau kamu bilang gitu sama orang-orang pemerintah pasti ending-endingnya di dana sama APBD,”
“Kalau niat sih pemerintah bisa melakukan banyak hal lho, tinggal mau apa enggak. Minyak, batu bara nggak nunjukin perkembangan yang bagus akhir-akhir ini, dan itu bukan energy yang bisa diperbarui dengan cepat, cuma sektor pariwisata yang progresnya jelas dan menurutku bakal paling nendang tahun-tahun mendatang. Banyak point yang pemerintah bisa lakukan sebenernya Will, dari sektor pajak harusnya gaji orang dengan penghasilan 1-2 juta, 4-10 juta, 10-50 juta, itu potongannya harus sesuai, nggak bisa dipukul rata. Terus mesin-mesin pompa buat nyedot minyak sama BBM harus diganti, biar lebih efektif, soalnya kebanyakan mesinya keluaran tahun 1980an semua. Terus tentang pendiskriminasian pegawai, pecat tuh orang-orang asing, ganti semuanya sama orang-orang Indonesia, banyak kok sekarang anak-anak muda yang lebih kompeten. Pertukaran juga bisa, kita minta sama orang Jepang buatin mesin pengolah energi dari panas bumi, ombak dan angin yang melimpah ruah disini, sebagai gantinya kisa kasih BBM dan lain-lain yang mereka butuhkan, pasang panel surya di atap seluruh rumah dan bangunan. Terus di TPA disediain alat buat biogas, biar bermanfaat buat desa sekitar, nggak cuma dapet baunya doang, ajarin ibu-ibu PKK ngolah limbah plastik jadi produk layak jual. Bangun perpustakaan di setiap desa. Masih butuh dana tambahan lagi? Jual tuh barang-barang tipikor, barang sitaan atau denda kasus-kasus korupsi, kalau nggak dibuatin museum sekalian, lucu juga kalau ada patung lilin orang-orang korup, dan masih banyak lagi opsi yang bisa dilakuin pemerintah kalau niat mau buat perubahan,”
“Kamu kalau ngritik sadis banget lho sayang, tapi banyak jujur dan fakta. Emangnya kamu sudah ngasih apa buat sekitar? Jadi orang jangan cuma bisa ngritik tapi nggak berbuat apa-apa lho,”
“Aku terdaftar jadi relawan di Solo mengajar Will, dan aku sama Andi juga ada usaha non profit di beberapa desa dimana kita kerjasama dengan karang taruna sekitar buat bangun perpustakaan dan zona kegiatan untuk beragam penyuluhan dan kegiatan,”
“Kenapa harus serepot itu sih Bell? Kan desa sekarang punya dana pembangunan dari pemerintah, jumlahnya ratusan juta lho,”
“Jumlahnya sih emang ratusan juta, tapikan itu juga bertahan turunnya. Lagian desa itukan masih harus ngebagi dana itu buat per dukuh di bawahnya, cuma ngaspal jalan aja sekarang habis seratus juta lho Will,”
“Iya sih, itu juga belum potongan-potongan nggak jelas,”
“Nah, itu juga ngerti. Kembali ke topik ketidaktahuanmu tadi ya sayang, pada akhirnya itu kembali ke diri kita masing-masing. Mau jadi orang maju apa penginnya cuma disitu-situ aja. Hidup nggak segampang perjalanan dari titik A ke titik B, kalau kamu ngerasa nggak tahu banyak hal ya belajar, usaha buat memenuhi ketidaktahuanmu itu. Dulu aku pernah mikir gini, paham banyak hal atau sekedar tahu banyak hal pada akhirnya membuat kita sampai di satu titik. Sadar kalau hidup itu nggak cukup lama buat memahami semuanya dan tahu kapan waktu yang tepat untuk mulai dan berhenti sambil bilang cukup dengan hati yang puas. Tapi itu sangat manusiawi, manusia itu nggak bener-bener bisa tahu kapan haus stop dan kapan harus lanjut, dan disisi lain kita juga sadar kalau banyak usaha yang kita lakukan itu pada akhirnya nggak menghasilkan apa-apa,”
“Kaya pelajaran-pelajaran di sekolahan?” kata Willy tak terlalu yakin. “di umur segini aku baru ngerasa kalau apa yang kita pelajari di sekolah itu banyak yang nggak guna di kehidupan, apalagi yang diajarin cuma dasar-dasarnya aja. Di sekolah kita nggak diajarin gimana jadi orang yang baik, dan masih jarang banget ada pelajaran enterpreneur di sekolah,”
“Aku juga ngerasa gitu sih Will,” jawabku menyetujuinya, “hidup kita bakal baik-baik saja kalau kita nggak bisa hafal salah satu rumus fisika,”
“Ya, itu fakta kok,”
Kuhisap batang rokok kuat-kuat sebelum akhirnya kuinjak batang rokok yang hampir tandas itu diantara balutan tanah basah, “Dan untuk menutup pembicaraan topik nggak penting kita pada sore ini tentang ketidaktahuan yang merembet kemana-mana,” kataku meniru gaya pembawa acara, “ijinkan saya menyimpulkan bahwa pada akhirnya, orang yang paling bahagia di dunia ini adalah orang yang tahu apa yang mampu dia miliki dan orang yang paling sedih di dunia ini adalah orang yang tak tahu apa yang mampu ia miliki,”
“Aku masuk golongan orang yang paling bahagia dong kalau gitu,” sahut Willy hangat, “soalnya aku tahu apa yang mampu buat aku miliki,”
“Stop ngubah topik pembicaraan kita!” sahutku gemas.
“Lha emangnya kenapa?”
“Aku tahu endingnya bakalan gimana kalau kamu ngubah-ngubah topik pembicaraan kaya gini,” jawabku mantap.
“Emang endingnya bakal gimana?” kata Willy menantang.
“Kamu bakal minta cium kalau nggak nyosor duluan!”
“Emang aku bebek apa pakai nyosor segala?”
“Yang suka nyosor itu bukan bebek Will, tapi angsa!”
“Tapi kamu kalau nggak disosor duluan sok jaim sih,”
“Akukan emang bikan tipikal orang yang spontan dan gampang mengekspresikan perasaan Will,” jelasku pelan, “orang itu ada jatahnya sendiri-sendiri kali,”
“Tapi kamu tahu nggak sih sayang, apa yang ada difikiranku pas kita lagi ML?”
“Ya nggak tahulah!” sambarku cepat, ”aku kan bukan cenayang, dukun apa shaman yang bisa baca pikiran orang!”
“Woles aja kali jawabnya,” sahutnya ringan, menyungingkan secuil senyum yang membuatku ingin melumat bibir tipisnya jika bukan di tempat umum, “aku ngerasa kalau kita itu satu. Padu. Tubuhku milikku, tubuhku milikmu. Nggak ada rahasia, nggak ada dusta, murni apa adanya,”
“Jujur ya Will, sampai sekarang itu aku sama sekali nggak bisa nebak apa yang ada di fikiran kamu. Dari pas kita ketemu sampai sekarang aku tuh sering banget gagap pas berhadapan sama kamu kaya gini. Tapi hal-hal kaya gitulah yang buat aku jatuh cinta habis-habisan sama kamu Will. Kamu lumer dan aku beku, kamu cair dan aku kaku,i love you, aku cinta banget sama kamu,”
“Dari dulu kamu selalu bilang kalau kamu jatuh cinta karena spontanitasku,”
“Ya karena hal itu yang buat kamu hidup baget dimataku. Kaya pas kita kejebak macet parah itu lho gara-gara ada kecelakaan. Tiba-tiba kamu turun dari mobil, buka baju terus lari-lari sambil bilang ‘Abell I Love You’, itu konyol tapi jadi yang paling membekas lho Will,”
“Mau yang lebih membekas?” tawar Willy dengan tatapan mesum.
“Udah! Nggak usah cari gara-gara,” jawabku sewot langsung beranjak ke arah parkiran.




Kisah selanjutnya klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini
Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: