Pelepasan Remah 31

7:41:00 PM Admin 0 Comments





Pelepasan
Remah 31


Kisah sebelumnya Klik disini


Enek masalah opo bos? Kok dengarenmen ngajak ketemu wong loro thok, enek seng penting po?” sapa Willy sumringah seperti biasa. Menyambut Andi yang baru saja datang.
Tapi Andi hanya membalasnya dengan senyum kecut, menatapnya lama dengan sorot mata mengambang. Makanan yang sedari tadi ia pesan sama sekali belum tersentuh, hanya air minum dan putung rokok yang bergantian mengisi bibirnya.
Dua pengamen baru saja berlalu tapi Andi masih belum mengatakan alasan mengajaknya bertemu empat mata, “Sebenernya ada apa sih Ndi?” tanya Willy lagi, sejak notifikasi pesan dari Andi masuk ke handphonenya, ia paham jika ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan. Tapi, saat mereka bertemu, Andi tak lekas berkata-kata.
“Ini tentang Abell Will,” ucap Andi seperti orang malas. Asap rokok berdesis pelan dari rongga bibirnya.
“Abell kenapa lagi?” tanya Willy dengan ekpresi jenaka. Setahu dia, tak ada masalah sama sekali dengan kekasihnya itu.
Tapi, malam itu Andi sepertinya sedang tak berselera dengan candanya. Membuat kening Willy berkerut, bertanya-tanya sebenarnya ada masalah apa.
Sakdurunge Sorry yo Will,” kata Andi memulai dengan penekanan yang menarik seluruh perhatiannya,, “jane aku yo ra gelem, tapi yo rep piye neh? Deknen mekso terus soale. Ngasi aku ora iso nolak, Ibunya Abell maksa buat ketemu sama kamu,” tambahnya dengan parau.
Ada jeda lama dimana Willy hanya diam, bingung ingin menangapi bagaimana. Ia merasa jika baru saja di siram air es saat sedang nyenyak-nyenyaknya tidur. Ia tahu sejarah pahit antara Abell dan keluarganya. Sekilas tahu bagaimana karakter orang tua kekasihnya walau hanya dari satu sudut pandang.
“Kita sama-sama tahu kalau kalian bertemu akan berakhir bagaimana,” lanjut Andi pelan, “ibunya Abell itu sedikit konservatif dan kolot, dia minta ketemu sama kamu dua hari lagi, nanti alamatnya aku kirim. Tapi kalau kamu nolak-“
“-aku bisa kok,” jawab Willy pasti.
“Kamu serius?” tanya Andi memastikan. Dia sama sekali tak menyangka kalau Willy akan mengiyakan permintaan gila itu.
“Aku sadar kok Ndi kalau hari ini pasti datang,” aku Willy dengan sorot mata menerawang, menatap lalu lalang kendaraan di depannya, “nggak mungkin keluarganya bakal nglepas Abell gitu aja, di jalan seperti ini lagi,” tambahnya dengan senyum pahit, “aku tahu kalau Abell itu tumpuan harapan seluruh keluarganya, dia pinter, ganteng, sukses, dan mandiri sekarang. Aku sadar kalau keluarganya pasti bakal bawa Abell balik lagi kesana,”
“Kita bakal debat lama kalau bahas tentang semua itu Will, tapi kalau itu keputusanmu, aku hargai,” kata Andi mantap. Ia tahu jika drama baru akan di mulai, seakan-akan ia tahu jalan cerita yang akan digelar oleh takdir, “tapi atu hal yang aku minta ya Will, tolong pikirin perasaan Abell dengan segala perjuangan dia di jalan ini,”
Willy mengangguk mantap.
“Semua aku lakuin buat dia kok,”
Tiga hari kemudian berlalu cepat. Willy datang ke Reve tepat saat Abell tak ada disana. Dengan tatapan bingung Andi menghampiri Willy yang nampak tak seperti biasa. Ia kalut.
“Aku butuh bantuanmu,” ucap Willy sungguh.
Andi terkisap, hari itu segera tiba.
Sandra menyusul mereka sepuluh menit kemudian, langsung nimbrung dengan segala kemungkinan.

. . . . # # # . . . ...

Lebih dari empat puluh enam bulan kami terikat dalam hubungan sakral berlumur dosa. Hampir setiap minggu kami membasuh tubuh dalam peluh dan desahan erotisme pengobral tiket neraka. Seakan-akan kami peduli dengan apa yang menanti kami disana.
Untaian jam berubah menjadi hari, hari bermutasi menjadi minggu, minggu menjelma bulan dan bulan berakhir menjadi tahun. Rasa cinta yang dahulu membara dan meledak-ledak. Kini tak terlalu terasa hangatnya. Ada yang berubah pada Willy, perubahan yang sulit untuk aku jabarkan. Perubahan yang membuatku butuh sepercik bara untuk kembali menghangatkan hubungan kami.
Berulang aku intropeksi diri, menurut ulang ingatanku yang mulai kusut, mencari-cari alasan apa yang mampu membuat hubungan kami bersekat. Seakan-akan ada jarak kasat mata yang terus tumbuh dan melebar di antara kami.
Aku tahu kalau Willy juga merasakan hal yang sama, hal yang membuat kami sama-sama merasakan gamang saat bersentuhan. Sudah kucoba segala hal untuk melenyapkan jarak dan sekat yang tiba-tiba menguat, mulai dari nasehat bijak dan humor segar, tapi selalu saja berakhir tak menyenangkan.
Satu persatu barang pribadinya lenyap dari rumahku dan kehadirannya mulai jarang. Ia selalu bilang kalau dia baik-baik saja, tapi aku tahu ada masalah yang ia sembunyikan dan membuatnya terluka hingga berimbas di hubungan kita. Ia tak baik-baik saja. Tapi aku tak ingin memaksa dengan bertanya kenapa, aku ingin dia bercerita sendiri tanpa ada sedikitpun paksaan.
Kelamaan, ungkapan sayang menjadi hambar dan tak lagi terasa punya makna. Aku sering menangis di tengah malam, aku merasa tersiksa oleh sesuatu yang tak bernama tetapi ada. Dua manusia yang sudah bercinta dan melekat bertahun-tahun dalam gairah tiba-tiba enggan untuk kembali bersentuhan. Ada yang berubah dengan tatap matanya, sentuhan tangannya, pelukannya dan raut wajahnya.
Tiba-tiba aku ingin menangis. Takut jika hal buruk akan menimpa kami berdua. Takut jika hubungan kami tak lagi baik-baik saja.
Lalu sampailah aku pada analogi saat orang jatuh cinta, jika jatuh cinta di ibaratkan bagai air yang jatuh dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Maka cinta kami seperti aliran cadas yang menghempas habis bebatuan curam di bawah sana. Kita jatuh, meluncur, jumpalitan, lompat indah, dengan cepat dan penuh gelora, tapi tak bertahan lama setelah aliran itu sampai tujuan dan bermuara di aliran yang tenang.
Aku tak ingin mengambang di aliran tenang, belum saatnya kita berdua berada di tahap itu. Aku ingin kita berdua seperti dulu, melakukan banyak salah, menertawakannya, menjadikannya pelajaran, mencoba banyak hal lagi dan melakukan hal-hal yang belum kami lakukan karena hidup terlalu singkat untuk kita habiskan dalam duka. Dan sekarang aku menjelma sebagai pecundang yang merenungi luka tak bernama.
Semua hal aku lakukan untuk bertahan, dari yang biasa aku lakukan hingga hal-hal yang jarang aku lakukan, mengiriminya makan siang, menyempatkan lebih banyak waktu dengannya, membentuk badan agar dia senang, liburan bersama, memberinya banyak kejutan. Tapi semua usahaku itu tak memberiku hasil yang aku harapkan. Aku mulai kalut.
Aku takut jika semua usaha yang aku lakukan untuk mempertahankan hubungan ini akan berakhir sia-sia. Aku tahu jika Willy paham bagaimana hubungan ini akan berakhir jika kita tak saling mempertahankan. Tapi, aku berusaha sekeras mungkin untuk membungkam apa yang di hadirkan indraku dan mengatakan kepada diriku sendiri jika semua akan baik-baik saja. Seakan-akan tak melihat belati yang terus mempertegas jarak diantara kita berdua.
Hubunganku dan Willy kini berada dalam tahap diam di tempat, tak ada yang benar-benar bisa aku lakukan. Beragam hal yang kita lakukan untuk memulihkan hubungan kami, malahan hanya semakin mempertegas adanya jarak yang semakin menjadi.
“Kamu lagi ada masalah?” tembakku langsung saat ia datang ke rumahku. Mengambil sisa bajunya yang masih bercampur dengan baju-bajuku. Aku tak ingin selamanya diam, aku tahu jika ada sesuatu di balik sikap willy yang serba kaku dan dingin akhir-akhir ini.
“Masalah apa?” tanya Willy balik kepadaku dengan sorot mata sendu.
“Jangan bohongin aku Will, kalau kamu ada sesuatu yang nggak bisa kamu jelaskan sekarang. Aku nggak masalah. Tapi jangan pernah bohongin aku,” kataku sungguh, aku tak ingin dia pergi dari hidupku.
Lama ia diam sebelum akhirnya mengenggam erat jari-jari tanganku, tersenyum kecut dengan sorot mata hampa, “Aku nggak lagi bohong atau nutup-nutupi sesuatu Bell, aku lagi butuh waktu buat sendiri dulu,”
“Kalau memang itu yang kamu butuhin buat saat ini, aku setuju. Aku bakal kasih kamu waktu sendiri sebanyak yang kamu mau. Tapi kamu harus ingat Will, saat semua hal itu selesai, aku ingin kamu seperti dulu lagi. Aku ingin kita seperti dulu lagi,”
Lalu dia mengecup keningku sebelum meninggalkanku sendirian di kamar dan menangis. Satu bulan berjalan tanpa arti, Willy meninggalkanku dengan sepi. Ia mulai jarang menginap di rumahku dan mulai malas membalas pesan singkatku. Mengungkungku dengan perasaan takut jika ia akan meninggalkanku.
Kuhabiskan waktu lebih sering dengan Andi dan beberapa sahabatku di Solo, tapi pikiran tentang Willy masih terus menghantui. Sampai kapan aku harus seperti ini? Apa belum cukup waktu yang aku berikan?

. . . . # # # . . . ...

Hujan di pagi hari membuat wajah Solo kelabu saat aku datang ke cafe dengan langkah tergesa menghampiri Andi yang sedang sibuk di meja kasir, “Ndi, aku mau cerita sesuatu sama kamu,” sambarku langsung, lalu menyeretnya ke lantai atas. Aku mulai frustasi dengan hubunganku dan Willy beberapa minggu terakhir ini.
“Kamu mau cerita tentang apa?” tanya Andi saat kami sudah sampai di lantai dua dan duduk menghadap jalanan.
“Willy,” kataku pasti.
“Willy? Emang dia kenapa?”
“Kaya ada yang nggak beres sama dia akhir-akhir ini, aku ngerasa kalau ada yang dia sembunyiin sama aku,”
“Ya mungkin dia lagi butuh waktu buat sendiri kali Bell, atau mungkin dia lagi ada masalah yang nggak bisa dia ceritain sama kamu. Kalian kan sama-sama dewasa, menjalin hubungan dewasa pula, banyak hal yang nggak bisa langsung kita jabarkan saat itu pula kan?”
“Iya sih Ndi, tapi kayaknya ada masalah berat yang lagi dia pendam deh.” Kataku yakin, “kurang lebih tiga minggu ini dia kaya orang asing di mataku,”
“Orang asing gimana maksutmu?”
“Empat tahun terakhir kita jalin hubungan dewasa yang amat sanggat intim Ndi. Aku tahu dia, dia paham aku. Kita sama-sama telanjang saat membangun hubungan ini. Dan sekarang kamu bertanya seakan-akan aku nggak kenal siapa itu Willy?”
“Kalau kamu kenal Willy sampai segitunya, harusnya kamu paham apa yang sedang dia butuhkan sekarang,”
“Oke-oke, Aku tahu apa yang dia butuhkan. Aku cuma butuh pendapat kedua oke?”
“Dan jawabanku sekarang sudah menggenapkan pertanyaanmu,” jawab mantap, meninggalkanku dengan lamunan.
Perasaanku tak menentu.
Aku benci hal ini.

. . . . # # # . . . ...

Dua minggu hadir kelabu dan penuh sendu, sebuah notifikasi pesan baru masuk ke Handphoneku dan memicu semangat di dalam diriku. Membuatku mengulas senyum pagi itu, Ia mengajakku bertemu, di salah satu pantai tempat kita berkencan dulu.
Akhirnya, kutemukan kembali senyum dan semangat dari dalam diriku.
“Ndi, aku mau ke Jogja,” pintaku beberapa setelah jam makan siang berakhir. Senyum sumringah masih enggan pergi dari wajahku. Ingin rasanya aku terbahak dengan diriku sendiri.
“Sekarang?”
“Iya,”
“Sendirian?”
“Willy ngajakin buat ketemu disana soalnya, kayaknya dia udah selesai sama masa sendirinya deh,” ucapku bahagia. Senyum terus mengembang di wajahku.
“Oke, hati-hati ya,”
Dalam hati, aku berharap jika hubunganku dengan Willy yang kini berwujud balok es bisa mencair dan lumer, berdoa jika percik bara dapat menjadi penyelamat hubungan kami. Saat berjalan menuju parkiran, serasa aku mengambang diantara awan menyongsong matahari di ujung sana.

. . . . # # # . . . ...

Aku sengaja datang tiga jam lebih awal dari waktu kita bertemu hari itu, aku ingin menghabiskan waktu dengan diriku sendiri. Di pantai itu, aku kembali mengurut urat lautan, memenuhi jari kakiku dengan butiran pasir berwarna jingga dan menikmati sensasi saat pasir yang aku pijak surut terbawa air laut. Ku nikmati benar deburan ombak yang begitu merdu dan kuhabiskan waktu menunggu matahari tenggelam dan terganti malam. Willy datang saat aku selesai makan malam.
Senyum sendu Willy lemparkan padaku saat dia datang menghampiriku dengan tatapan dan gerak tubuh yang membuat hatiku berdesir pelan. Tubuhku bergidik. Angin beberapa kali menghempas saat kami sama-sama berjalan dalam diam dan membuang pandang ke garis pantai yang tak berujung. Ia kemudian memintaku berhenti dan duduk bersama saat kami sudah jauh dari keramaian.
Dan ternyata dia mengucapkan kata itu.
Air mataku koyak, tubuhku terus bergetar akibat deraan beragam rasa sakit yang silih berganti menghajarku. Setelah lama terdiam akhirnya Willy menyentak, ia tak lagi ingin hubungan ini berlanjut. Walaupun aku sempat memprediksi hal ini, tapi saat menyapa kenyataan, batinku kehilangan pegangan. Aku tak lagi bisa menapak. Batinku koyak.
Senyumku mendadak lenyap, tersapu dinginnya angin laut yang terlalu dahsyat hingga mampu mengoyak hatiku. Mengulitiku seakan-akan aku telanjang. Aku remuk redam karena satu kata yang mampu menyakitiku bagai peluru. Tanganku terus bergetar tak beraturan dan aku gamang.
“Kamu serius?” tanyaku memastikan, jika ini lelucon, ini sama sekali tak lucu.
Tapi Willy hanya diam menatapku trenyuh.
Aku tak percaya. Sama sekali tak percaya dengan apa yang belasan menit lalu keluar dari bibirnya. Air mataku jatuh tanpa aba-aba, mengaris pipiku dan meresap di antara butiran pasir. Segumpal emosi tiba-tiba menghantam dari dalam diriku, membuatku sulit bernafas. Rusuk di dadaku terasa begitu menghimpit.
Iki tenanan?” tanyaku satu kali lagi. Dengan suara parau penuh getar. Aku benci melihatnya diam saja, seolah-olah aku manekin yang tak memiliki perasaan.
Dia kembali diam, tak meresponku sama sekali.
Aku benci melihatnya seperti ini.
“Terus habis ini gimana lagi? Kamu sendiri, aku sendiri, kenapa kita nggak berdua lagi aja? Aku, kamu, kita. Aku nggak bisa mikir jalan sebaik ini lagi,” kataku berontak, setelah diam usai mendengar satu kalimat pemecah keheningan setengah jam terakhir. Lalu keteguhanku mulai goyah, suaraku tak bisa lagi tenang, “aku nggak mau kita jadi gini Will,” pintaku memelas, memohon jika ini bukan kenyataan, “aku nggak bakal bisa. Kamu tahu gimana hidupku. Kamu tahu gimana perjuanganku. Aku nggak nyangka kamu bisa setega ini sama aku,” tambahku tak lagi bisa mengontrol diri.
Angin pantai tak lagi terasa lembut saat menerpa kulitku, dan deburan ombak yang dulu ku tasbihkan sebagai suara alam paling merdu, kini terdengar seperti suara penggorok nurani. Jauh-jauh hari aku mulai berspekulasi tentang hal ini. Berusaha mempersiapkan diri atas kemungkinan apapun, tapi sekuat apapun diriku bertahan dengan beragam kemungkinan, aku tetap luruh juga. Saat kenyataan itu muncul, saat rasa kecewa mendera, senantiasa aku tak bisa menerima. Aku tak mampu mengantisipasi kesendirian.
Aku cuma butuh dia, dan dia tak lagi membutuhkanku.
Tapi Willy hanya diam. Membuang pandangan ke arah laut yang menghitam. Hampir aku menghantam wajahnya dengan kepalan tangan.
Bangsat. Keparat. Kataku dalam hati, aku mulai merutuki diriku sendiri.
Palu kasat mata melayang dari angkasa, jatuh tepat di hatiku. Telak membuatnya retak. Jauh disana, di tempat yang hanya aku bisa tahu, seseorang tanpa wujud membombardil hatiku, hingga hancur bersisa serpihan. Aku meringkuk, menempelkan kedua kakiku masuk ke dalam dada. Memeluknya erat-erat, berusaha membuat tubuhku tak terpisah, walau hatiku kini luluh lantah.
Tapi Willy diam, sama sekali tak bergeming dalam kebisuan.
“Plis Will, jangan lakuin ini sama aku. Kamu tahukan apa aja yang udah aku lakuin buat kamu? Aku nggak mungkin bisa tanpa kamu,” pintaku terisak, memelas. Udara yang aku hirup tiba-tiba terasa pahit dan menyiksa, saat terhela memenuhi rongga dada, seketika aku ingin muntah.
Deburan ombak tak lagi mampu mengusir perasaan negatif yang membayang bagai hantu di sudut-sudut hatiku. Kelopak mataku kini berawan, menghitam dan mulai menghujankan air mata. Tubuhku terus bergetar karena serbuan perasaan yang menyakitkan.
“Kalau kamu jenuh sama hubungan ini,” kataku tajam, “kamu nggak berhak buang aku gitu aja. Aku punya hati, aku punya perasaan, kita sama-sama manusia Will,” kubenamkan wajahku diantara lutut yang semakin erat kupeluk. Berusaha menyembunyikan wajahku dari kenyataan. Air mataku terus turun pelan, dan aku biarkan seperti itu.
Tapi kau diam. Lagi-lagi kau hanya diam.
“Ngomong dong!” pintaku sengit, “kamu itu punya hati nggak sih? Apa yang kita lakuin empat tahun terakhir nggak berarti lagi buat kamu ya?” ocehku terus. Berusaha membuatnya bicara, “kamu itu-“
“-Cukup Bell,” katamu pertama kali setelah setengah jam berlalu dalam diam. Menyentak batinku, membungkan mulutku, “aku nggak lagi jatuh,” jelasmu membuatku menunggu dalam laku gagu, “hubungan kita udah stagnan, jalan di tempat. Kita cuma melakukan rutinitas aja, sebatas pemenuhan tanggung jawab, bertahan untuk saling menghargai. Kamu nggak layak untuk itu,”
Air mataku menderas. Rasa sakit ini lebih menyayat daripada diusir dari rumah dan tak lagi dianggap anak. Apa karena dulu aku sudah menyiapkan diri dan sekarang aku diserang tanpa aba-aba?
“Kamu akan menyesal,” kutuku pelan, kubentangkan wajah kecewaku tapi kau memasang ekpresi menjengkelkan, seolah-olah berkata: mungkin iya, mungkin tidak, siapa yang tahu?
Dan demi Tuhan, ekspresimu itu meledakan serpihan hatiku untuk kedua kali, terbang mengikuti arah angin laut yang menambah rasa sakit di hatiku. Saat itu, seakan-akan aku bisa meraba takdir yang akan aku jalani beberapa bulan kedepan. Aku merasa mengambang di tengah laut, sendirian.
“Aku mencintai kamu seperti aku mencintai diriku sendiri Will, gimana caranya aku pisah sama diriku sendiri?” ungkapku sungguh. Tak lagi aku libatkan amarah di posisi riskan seperti ini. Punggung tanganku tak lagi sibuk menghapus air mata yang tak bisa dibendung.
“Aku paham Bell,” jawab Willy lembut, memenangkan dan menyakitkan, “aku ngerti, kamu cuma butuh waktu buat-“ lalu dia diam, tak lagi melanjutkan. Membuatku bingung.
Aku mengeleng pelan. Berusaha menahan air mata yang terus terpompa.
“Ini yang terbaik buat kita. Bukan cuma buat aku sama kamu, tapi kita semua,” lalu kedua tanganmu muncul, berusaha merengkuh tubuhku. Refleks aku mundur, menyangkal gerakmu, “lanjut maka salah satu dari kita bakal mati. Aku nggak mau kita terus bersama cuma karena tak tahu bagaimana caranya menangani kesendirian. Bukan cuma kamu yang jatuh cinta habis-habisan, aku juga jatuh cinta sama kamu habis-habisan sama kamu, tapi aku harus ngelakuin ini buat kita berdua. Kamu yang ngerti ya,” pinta Willy kembali memicu air mataku.
Kembali Willy berusaha memelukku, saat aku sangkal lagi pelukkannya, ia langsung mendekapku erat. Aku menolak, tubuhku berontak. Luka dan amarah meledak. Tapi ia tetap bertahan. Memaksaku untuk berpelukan. Sesaat aku berharap jika dia bisa merasakan semuanya. Lalu aku mulai meronta, meraung-raung bagai binatang terluka, masih berusaha melepaskan diri dari pelukanmu.
“Aku mohon,” pintanya sendu, menohok hatiku, “pikirin ini baik-baik. Bukan cuma kamu yang sakit, aku juga sakit. Tapi harus ini yang aku pilih Bell, untuk masa depanmu, untuk masa depanku, untuk masa depan kita. Selamanya aku tetap sayang sama kamu, aku nggak bakal ngelupain kamu,”
Ku buang jauh-jauh wajahku saat kau tetap tak mau bergeming merengkuh tubuhku ke dalam pelukanmu. Segala macam cara aku kerahkan untuk melepaskan diri dari pelukanmu, tapi kau bertahan. Sekuat apapun aku menyangkal. Kau tetap bertahan.
Hingga akhirnya aku menyerah, kau dekap diriku semakin erat. Hangatnya pelukmu mencairkan sedikit perasaan yang telah membeku beberapa bulan terakhir. Amarah dan rasa sakitku perlahan melumer saat air mataku seakan-akan tersendat dan tak bisa lagi mengalir. Berangsur, aku lelah meronta. Aku tak lagi berkekuatan untuk menyangkal. Otot-otot tubuhku yang menegang, kini mulai melemas. Dan aku kembali menangis. Tangis memberondong yang entah datangnya dari mana, tangis yang kembali terpompa. Aku tak pernah menangis sesakit itu sebelumnya.
Kurebahkan kepalaku di dada bidangmu, dengan isakan tertahan yang tak kunjung padam, berusaha aku menerima dan menolak apa yang baru saja terjadi. Tubuhku bergidik, memikirkan masa depanku tanpamu. Semua rencana-rencana yang sudah aku tulis untuk aku jalani denganmu, kini musnah sudah. Tak menyisakanku apa-apa.
Menyisakan hampa yang menyiapkan ruang siksa untukku diriku sendiri.
Lalu kau terisak, memberiku alasan untuk kembali mengelontorkan air mata. Lenganku mengantung di pundakmu, kau mempererat jeratan tanganmu, kita resmi berpelukan dalam haru. Membiarkan hati bicara saat kata-kata tak lagi punya makna.
Menjelang malam, baru kita beranjak dari pantai. Tak ada satupun kalimat yang terucap saat kita menjemput motor di parkiran. Selama perjalanan pulang, Willy mengawalku di belakang. Berulang aku berusaha menyibak kabut yang terlampau kemelut di dalam hatiku, tapi aku tak kuasa. Kabut yang terlalu pekat itu kelamaan semakin menjadi, membuat mataku pedih, hingga kembali meneteskan bulir-bulir selama perjalanan pulang.




Kisah selanjutnya Klik disini



Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 

Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini

Pelepasan Remah ke 40 Klik disini

Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: