Pelepasan Remah 4

7:22:00 AM Admin 2 Comments



Pelepasan
Remah 4

Kisah Sebelumnya Klik disini


Hujan melumat tubuhku dalam kuyup. Air terus mengucur deras dari baju yang melekat tubuhku, dan kini menetes-netes di wajah keramik. Di kontrakan salah satu sahabat terbaikku, aku mengais bantuan. Berharap dia mau mengurusku selama beberapa waktu kedepan saat aku kalut.
Handuk dan cangkir teh panas menyapa diriku pertama kali saat aku mengetuk pintu rumah kontrakannya. Dia yang tahu sejarah kelam dirikupun tak menyangka jika aku bakalan benar-benar menganku kepada keluargaku. Satu tahun terakhir, aku selalu membagi rencana gila ini padanya.
“Kadang aku nggak habis fikir sama kamu Bell. Menurut standar banyak orang hidupmu mendekati sempurna lho! Keluarga berada, lulus caum laude dari kampus ngetop, ganteng iya, pinter apalagi. Eh, malah ngaku sama ortu kalau kamu Gay. Bell, Bell, nyia-nyiain hidup kok kaya gitu banget,” cerocosnya sambil mengeleng-gelengkan kepala. Terheran dengan langkah yang aku pijak.
“Ndi,” kataku pasti penuh penekanan. Satu tahun terakhir ini dia selalu berusaha mengalihkan keinginan gilaku, enek jika malam ini dia akan menceramahiku lagi, “dari awal kita temenan dulu, aku selalu jujur cerita kamu tentang segala hal. Taiknya aku, bangsatnya aku, babaiknya aku. Kamu tahu. Semua hal aku ceritain sama kamu tanpa tedeng aling-aling atau editing. Jadi aku mohon, jangan marahin aku malam ini, biar aku marahin diriku sendiri hehehe... sudah lama ini jadi keputusanku, ok? Kamu juga tahu ini,” kataku pasti setelah mengeringkan rambutku. Kusambut cangkir teh panas di depanku, kudekap dengan telapak tangan mengkerutku sambil menyeruputnya perlahan.
“Kamu juga tahu kalau Bell, kalau aku selalu dukung apapun pilihanmu. Seratus persen malah. Tapi aku ngomong gini cuma ngingetin kamu satu hal aja Bell, penyesalan itu datang paling akhir. Aku cuma nggak mau kamu nyesel aja nantinya,”
“Udah nggak ada gunanya Ndi, mau nyesel apa nggak sekarang. Lagian langkah ini udah aku ambil. Tapi yang jelas aku nggak bakal nyesel sama keputusanku ini,” yakinku pasti. Kutenggak genangan teh hangat dalam mulutku, menggelontorkan masuk ke dalam tenggorokanku, berusaha menyelinapkan kehangatan di dalam tubuhku, “mungkin lima atau sepuluh tahun lagi aku bakal kembali mengingat-ingat saat ini, kenapa aku ngelakuin hal ini? Atau kenapa aku bisa seceroboh itu? Tapi bagiku itu sepadan Ndi. Dua puluh satu tahun aku jadi yang mereka mau, nurut, manut semua yang mereka pengin.
“Kamu tahu sendirilah gimana perjuanganku buat ngebahagiain mereka. Wujudin keinginan-keinginan mereka. Tapi kita juga sama-sama paham Ndi kalau manusia itu nggak pernah tahu pasti kapan mereka harus terus dan berhenti. Sampai kapanpun mereka nggak bakal puas. Ayahku punya harapan sendiri, ibuku juga, kakakkupun juga seperti itu. Selama ini, aku hidup buat wujudin harapan-harapan mereka. Mimpi mereka. Terus yang nanti bakal wujudin keinginan sama mimpiku siapa Ndi? Anakku? Ini lingkaran setan. Sama sekali nggak adil untuk siapapun. Bagiku semuanya sudah cukup. Aku hanya ingin jadi diriku sendiri. Nggak jadi orang lain, atau wujudin mimpi-mimpi orang lain. Apapun yang terjadi nanti, aku terima. Aku iklas. Aku anggap ini tiket bebas yang harus aku bayar untuk jadi diri sendiri.”
Hujan masih mengiris-ngiris angkasa saat aku dan Andi memutuskan diam untuk beberapa saat. Aku tahu jika mulutnya gatal untuk membalasku, tapi malam itu ia memilih untuk tak melanjutkan topik ini. Dan aku sanggat menghargai hal itu. Berbulan-bulan kami berdebat tentang langkah dan akibat saat aku akan mengungkapkan jati diriku. Malam inipun, aku mengira jika akan kita berdua habiskan dengan perdebatan kolot. Tapi dia hanya diam, tak ingin menambah beban untuk hari ini.
Ia lalu beranjak ke dapur, membuatkanku makan malam. Membantuku mengangkat beberapa barang ke kamar, lalu menyuruhku membersihkan diri. Guyuran air di kamar mandi menyadarkanku akan sudut bibirku yang robek dan hidungku yang memar. Hantaman tangan ayahku membuat bibir dan hidungku ringsek. Darah segar masih senantiasa menetes dari lubang hidungku saat aku mandi.
Ku biarkan rasa sakit itu mendera, luka di sudut bibir, hidung dan yang paling terasa, luka di dalam diriku. Di bawah kucuean shower kulepaskan semua emosi, aku bebaskan air mata yang tadi tertunda dan darah yang mengalir sebagai jika masalaluku telah berakhir sekaligus sebagai tanda kelahiran sosokku yang baru. Sosok yang kini sebatang kara menantang dunia.
. . . . # # # . . . ...

“Tumben kontrakan ini sepi, Daniel sama Febri nggak pulang?” tanyaku seusai mandi, berjalan menghampiri Andi di bagian belakang rumah.
“Palingan mereka nggak pulang. Daniel lagi sibuk sama program-program baru di organisasinya. Kalau Febri paling tidur di kost ceweknya, lagian hujan juga. Nih, makan,” kata Andi sambil menyodorkan sepiring omlet di depanku.
“Wah, makasih banget mas bro. Mbok yo seng kerep masake konco koyo ngene, hehehe,”
“Halah, ki ge ngompres lambemu, hahaha,” ia letakkan baskom berisi potongan-potongan es dan kain untuk membungkusnya, "pasti kenceng banget ya bapakmu tadi mukulnya, sampai jontor gitu bibirmu,”
“He’em. Ngasi ra sadar pas aku mau digampar. Sadar-sadar aku keliyengan di lantai,” jawabku datar, “koe kan reti dewe Ndi, nak bapakku ki awake gede, koyo wong arap. Sekali gampar yo langsung tepar,”
Lha terus saiki piye Bell?” tanya Andi dengan suara bergetar, membuatku sedikit terganggu dengan penekanannya yang berlebihan.
Piye apane Ndi?” tanyaku bingung, “piye rasane di gampar opo piye rencanaku ngarepe?”
Andi tersenyum simpul, “Perasaanmu Bell, gimana perasaanmu sekarang?”
“Campur aduk Ndi, tapi seng jelas, saiki aku lego. Serasa plong aja pas nafas. Tapi, sedih juga pas lihat ibu sama kakakku nangis. Mereka shok denger aku ngomong gitu. Yoweslah, meski enek konsekwensine nak aku mileh dalan iki. Penginku, mereka paham kenapa aku begini. Kenapa aku pilih jalan ini.harga yang harus kubayar mahal Ndi,”
“Hal ini nggak ngaruh sama rencana kita ke depankan?” ujar Andi memastikan.
“Tenang, aku profesional!,” jawabku congak, “apapun yang terjadi rencana kita harus berjalan sebagaimana mestinya. Itu kan mimpi kita bersama.”
“Ya syukurlah kalau gitu Bell,”
“Jadi positif kalau kita bakal bongkar toko bangunan sama toko cat disebelahnya?” tanyaku memastikan. Sudah hampir lima bulan terakhir kita membahas rencana ini semenjak kita berhasil membuka delapan belas cabang both kopi dan susu di beberapa kampus dan mall di Solo, Karanganyar dan Klaten.
“Untuk awal, kita bakal bongkar toko bangunannya terlebih dahulu. Baru kalau cafe ini kedepannya jalan, kita bongkar toko cat disebelahnya,”
“Jadi, kapan kita mulai bersih-bersihnya?”
“Nanti aku kabarin, proses negonya belum rampung,”
. . . . # # # . . . ...

Sekilas tentang hubungan Andi dan Abell, mereka berdua selalu bersama sejak TK. Andi anak tunggal dan Abell anak terakhir dari tiga orang bersaudara. Kedua ayah mereka merintis karir di perusahaan yang sama dan akrab sejak pertama kali mereka berjumpa. Di Jogja, kedua keluarga itu hidup di kompleks yang sama.
Semenjak TK, Abell dan Andi selalu bersama-sama. Sekolah di SD yang sama, SMP yang sama, SMA yang sama dan Universitas yang sama pula. Mereka tumbuh bersama layaknya seorang saudara. Andi yang lebih tua beberapa bulan daripada Abell dan memiliki postur tubuh yang lebih menjulang dan proporsional, selalu menganggap Abell sebagai adik kandungnya. Dan Abell juga menganggap Andi sebagai kakak kandungnya. Terlebih pada saat Abell mulai dijadikan bahan ejekan banyak orang karena kelainan genetik pada matanya sehingga membuat banyak orang mengira ia memakai lensa mata. Sejak lahir dulu, Abell tak memiliki pupil berwarna hitam atau kecoklatan seperti orang Indonesia kebanyakan. Ia memiliki pupil berwarna kuning keemasan dengan sedikit semburat warna biru.
Sejak SD Abell selalu menjadi bahan ledekan, bahkan hal itu semakin menjadi-jadi saat ia memasuki SMP dan SMA. Abell yang selalu diam dan tak berani melawan menjadi sasaran empuk teman-temannya. Banyak yang mengatakan jika ia anak haram antara ibunya dan orang luar, bahkan banyak yang menghinanya sebagai manusia berkelamin ganda karena dikira memakai lensa mata. Tapi, semua olok-olokan itu mereda jika ada Andi disisinya, dia yang tak segan-segan menghantam orang yang menganggunya membuat banyak orang diam dan menyimpan olok-olokan itu jika Abell sendirian.
Banyak perbedaan diantara mereka berdua, tetapi mereka tumbuh bersama sebagai sahabat karip yang saling melengkapi. Kemana-mana berdua, membolos berdua, berjalan-jalan bersama. Andi adalah sosok populer dari SMP sampai SMA dan Abell adalah kebalikannya, ia susah akrab dengan orang, kikuk dan lebih suka menyendiri. Baru di depan Andilah ia berani menjadi dirinya sendiri.
Saat lulus SMA Ayah Abell memutuskan untuk pensiun terlebih dahulu, ia lalu memutuskan untuk pindah ke pinggiran Semarang untuk menghabiskan hari tuanya. Anak pertamanya kini tinggal di Sidney dengan keluarga kecilnya, anak keduanya sebentar lagi menikah dan Abell baru saja masuk kuliah. Abell kemudian memutuskan untuk kuliah di Solo, begitu pula Andi walau akhirnya mereka mengambil jurusan yang berbeda. Dua tahun kemudian, Ayah Andi juga pensiun dan memutuskan untuk menghabiskan hari tuanya di Karanganyar.
Sejak SMA, Andi dan Abell menggeluti bidang yang sama. Mereka sama-sama suka berwirausaha, mulai dari berjualan bakso dan sosis bakar, baju, jam tangan hingga ternak kelinci pernah mereka lakukan. Bahkan pada saat mereka kelas dua SMA, Andi dan Abell mulai berani memotret di acara-acara kawinan. Hingga akhirnya mereka mulai membuka both kopi dan susu di daerah kampus mereka sebelum akhirnya berkembang seperti sekarang.
Pada saat lulus SMA, barulah Abell berani jujur tentang dirinya kepada Andi. Bekas coret-coretan pilox masih menempel di kulit dan rambut saat mereka berdua dan keenam temannya memutuskan untuk menginap di pantai sebagai ritual kelulusan mereka. Ikan bakar dan botol-botol kosong minuman masih berserakan saat kumpulan anak muda itu mulai berpencar. Ada yang tidur-tiduran di mobil. Ada yang ngopi di warung. Ada pula yang berjalan-jalan menyusuri garis pantai. Menyisakan Andi dan Abell berdua berhadapan dengan api unggun yang koyak dihempas angin. Memalui satu botol minuman beralkohol, di mulailah sesi pembicaraan ngalor-ngidul.
“Suatu hari, aku bakal bikin rumah di kaki pegunungan, deket kali atau sawah. Aku bakal punya istri cantik dan tiga anak, dua laki-laki satu perempuan. Anak kami lucu dan cerdas, pinter main game juga. Setiap akhir pekan kita makan di halaman belakang rumah, sambil lihat gunung dan sawah” kata Andi sambil tertawa. Wajahnya merah padam, alkohol mulai menguasai dirinya.
Abell juga tertawa, menyahut impian Andi di masa depan. Berulang ia menenggak minuman beralkohol di depannya.
“Kalau kamu mimpinya apa Bell? Setelah kita sukses nanti?”
“Nggak tahu Ndi,” jawabku ringkas.
“Kamu nggak pengin nanti nikah terus punya anak?”
“Pengin, tapi nggak tahu juga. Kalau masalah anak, dari dulu aku pengin punya anak,”
“Kalau istri? Kamu pengin yang gimana?”
“Yang jelas, yang mau terima aku apa adanya,”
“Nggak seneng yang seksi?”
“Enggak,”
“Yang cantik?”
“Enggak,”
“Lha terus? Kamu mau istri yang gimana Bell?”
“Yang terima aku apa adanya Ndi,”
“Udah cuma itu doang syaratnya?”
“Iya,”
“Simpel amat syaratnya Bell,”
“Soalnya aku nggak seneng sama yang ribet sih Ndi,”
“Oh, gitu?”
“He’em.”
Debur ombak menjadi pengisi hening saat Abell dan Andi memutuskan untuk diam sejenak. Alkohol dan keripik pedas bergantian masuk ke dalam lambung mereka. Di kejauhan salah seorang teman mereka bermain gitar, menyenandungkan lagu-lagu pop lama.
“Ndi,” panggil Abell penuh penekanan. Memandang sahabatnya yang rebahan di atas pasir, memandang bintang yang jarang-jarang.
“Apa?”
“Aku pengin buat pengakuan sama kamu,” jelas Abell singkat. Menjemput kesadaran Andi yang mulai mengawang.
“Pengakuan apa?”
“Ehm, gimana ya? Aku sulit buat jelasinnya,”
“Udah ngomong aja, biasanya juga kamu langsung nyerocos,”
“Tapi ini bukan hal remeh seperti biasanya Ndi, ini tentang diriku,”
“Udah deh, nggak usah berbelit kaya gini. Ribet amat sih,”
Setelah menenggak kembali alkohol di depannya, Abell lalu memantapkan niatnya, “Aku mau minta maaf dulu sebelumnya kalau perkataanku ini nanti bakal nyingung kamu atau bikin kamu nggak nyaman lagi Ndi. Tapi aku udah mutusin kalau mau jujur sama kamu. Terserah kalau kamu nanti bakal ngehindar atau musuhin aku. Lagi pula habis ini aku pindah ke Semarang, dan kamu tetep di sini,”
“Blibet banget kamu ngomongnya Bell,” potong Andi tak sabaran, “langsung ke intinya aja kenapa sih? Kepalaku udah mulai pening nih, bentar lagi tepar,”
“Aku sebenernya-,“
“-Gay?” serobot Andi cepat. Abell shok tak karuan. Ia merasa jika baru saja diguyur air es di tengah malam.
“Kok kamu-,”
“Kok aku tahu?” sambar andi cepat, Abell mengangguk pelan, masih tak berani menatap Andi, “aku udah tahu lama Bell, cuma nunggu kamu buat ngaku aja,”
“Lha kok gitu?” jawab Abell melempem.
“Ayolah bell, itu bukan masalah besar! Kamu kenal aku dari kecil, kita SD sampai SMA selalu barengan. Dan kamu ngira kalau aku bakal marah, risih atau musuhin kamu cuma gara-gara prefensi seksualmu? Aku orang bebas Bell, aku berfikiran terbuka. Lagian Gay itukan nggak nular, jadi apa masalahnya?” kata Andi santai, tak ada aliran emosi sedikitpun di ucapannya, “abell, abell,” lanjutnya sambil geleng-geleng kepala, seolah memandangku seperti anak kecil yang baru saja berak di celana, “jadi kamu nunggu moment seperti ini dengan cadangan pindah rumah dulu baru kamu mau ngaku?”
“Ehm, sebenernya bukan gitu Ndi,” Jawab Abell kikuk. Bingung dengan alasan yang mau ia keluarkan.
“Sebenernya temen-temen yang lain juga udah tahu-?”
“-Jadi satu sekolahan sudah pada tahu?” sahut Abell panik. Ia tak tahu harus bagaimana lagi jika hal itu terjadi.
“Bukan, cuma temen-temen yang ikut kita bakar-bakar malam ini aja. Sebenernya, kalau kamu nggak ngaku tadi, kita bakalan nyekokin kamu pakai minuman keras terus maksa kamu buat ngomong, hahaha. Tapi bohong. Kita nggak mungkin setega itu sama kamu,”
“Sejak kapan kalian tahu?” tanya Abell rikuh. Lesu. Sama sekali tak berdaya. “Tapi kok kalian nggak jauhin aku? Apa kalian nggak risih sama keadaanku?”
“Kamu kira kita tipikal temen yang kaya gitu apa? Apa kalau salah satu diantara kita kejerat narkoba, langsung kita jauhin? Kamu picik kalau mikir kita kaya gitu,” lalu Andi bangun, duduk bersila, menempelkan rokok di sela bibirnya lalu menyulutnya, “kita berteman karena kita saling memanusiakan satu sama lain. Kita memberi hak, kita memberi pilihan, lagipula kita juga membebaskan, nggak saling menjajah atau mengendalikan. Kita berteman secara murni Bell, tanpa saling mengharap apapun. Kita juga saling membantu dan mengingatkan, kita nggak pernah ambil pusing kamu mau jadi gay, hetero, atau biseks sekalipun. Bersama-sama, kita jadi manusia Bell. Belajar jadi manusia yang memanusiakan orang lain,”
“Makasih Ndi,” jawab Abell dengan suara bergetar. Air matanya hampir tumpah saat ia mendengar jawaban Andi barusan.
“Yaelah, cengeng amat.”
“Mau lanjut kuliah dimana?”
“Di Solo, aku pengin mulai hal baru di sana, kamu?”
“Nggak tahu, lihat ntar aja,”
Debur ombak dan angin malam melumat api unggun di tengah mereka. Alkohol menggenang di dasar botol, udara dingin menyapu kulit mereka. Tapi tidak untuk Abell, ia merasakan hangat di dalam dirinya. Hanggat yang mampu membakar semesta. Ia bersyukur untuk malam itu. Untuk persahabatan yang tak lekang, pemercik bara yang hangat.



Kisah selanjutnya Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 
Pelepasan Remah ke 1 klik disini
Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini
Pelepasan Remah ke 40 Klik disini
Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

2 comments: