Pelepasan Remah 41

5:37:00 PM Admin 0 Comments





Pelepasan
Remah 41


Kisah sebelumnya Klik disini


Selo, 15 oktober 2015

Peranakan iblis malaikat itu kembali
Tak banyak yang berubah dari perpisahan berbalut tahun
Bongkahan senyum itu... garis wajah itu... dan aroma tubuh itu...
Semua sama, masih sama dan mungkin akan tetap sama
Hanya satu yang berubah, hatiku.

Perasaan yang dahulu berkobar kini terasa hambar
Cinta yang dahulu menggebu kini membatu
Dan rindu yang terus bertalu telah lenyap tertelan waktu

Tak ada lagi pemeran utama, sutradara, figuran atau penulis cerita
Opera sabun telah berakhir
Semua episode masalalu berubah menjadi hantu
Diam di pojok fikiran, menjadi bayang-bayang
Samar, tapi tetap ada. Menunggu untuk diputar ulang, atau diingat sebelum akhirnya memilih lenyap

Dan kini Willy kembali, hadir lengkap untuk sekedar mengingatkan momentum yang dulu pernah berjaya diantara kita berdua.
Bersahabat dengan waktu, kini kita kembali menguliti kenangan. Meretas hal yang perlu diperjelas dan bertanya
Bertanya tentang ratusan senja yang telah berlalu
Tanpa benar-benar tahu apa yang telah tertelan waktu.


. . . . # # # . . . ...

Saptu hadir lebih cepat dari perkiraanku. Aku masih mendiamkan Andi karena peristiwa itu, dan Sobey semakin mendekatkan diri denganku. Dia memintaku untuk mengabariku apapun yang terjadi, semata-mata karena dia hawatir denganku. Aku iyakan saja permintaannya, agar dia tak menghawatirkanku.
Setelah kuiyakan permintaan Willy, ia langsung membalas pesan singkatku lagi, saat ia bertanya mau bertemu dimana? Aku jawab di Selo saja. Tempat pertama kali kita bertemu. Jika ini benar-benar pertemuan kami yang terakhir, biarlah semua ini berakhir di tempat pertama semua cerita ini berawal. Pagi, aku memacu motorku dari Solo, sampai Selo sekitar jam sepuluhan.
Sebisa mungkin aku menenangkan diri, tapi ternyata tak bisa, aku sama sekali tak bisa membuat diriku tenang. Sesekali tubuhku bergetar, menahan sensasi tak bernama yang membuat perut mulas. Aku was-was dengan pertemuan ini, tapi juga ada rasa gembira saat menatap lagi wajah rupawannya.
Kaku tubuhku saat melihat orang yang puluhan bulan alfa dari hidupku, kembali datang menyapa. Aku harap, hal ini tak lagi mempora-porandakan kehidupanku kembali. Saat melihat dirinya membelakangiku, beragam perasaan menyergapku. Beragam kenangan masalalu menghadangku. Aku lama menatap punggungnya, tempat segala kenyamanan dulu bersemayam disana. Aku merindukan saat-saat itu, tapi semua itu sudah berlalu.
Aroma itu, tatapan itu, bibir tipis itu, dan senyum simpul itu. Hampir aku tak kuasa menahan berat tubuhku. Tapi sekuat hati aku berusaha bertahan di depannya. Aku tak ingin ambruk di hadapannya. Aku tak ingin terlihat lemah di depan matanya. Tapi, dia nampak begitu indah dengan pemandangan bukit yang menjadi latar belakang.
Ku hampiri dia di tempat kami berjanji untuk bertemu. Setelah menyambut uluran salam kaku, aku tempatkan tubuhku berdiri tegang di sampingnya. Semilir angin menyapu aroma parfumnya di udara, membuatku mulai kelimpungan saat aroma itu menyapa rongga hidungku. Tubuhku bergidik pelan, aroma itu menyulut kenangan-kenangan yang telah lama aku pendam.
Aku membenci dan merindukannya di saat bersamaan.
Sesaat, aku tak kuat menahan hasrat yang begitu menggebu, aku ingin memeluknya atau mengatakan jika aku merindukannya. Tapi rasa sakit dan kecewa sekuat mungkin menahanku untuk tak mengatakan hal itu.
“Kamu, apa kabar?” suara itu. Penekanan itu. Pelafalan yang pernah absen puluhan bulan kembali menyapa indra pendengaranku.
Aku kembali bergidik. Bulu romaku meremang. Aliran darahku tersendat. Serpihan masalalu itu, sekarang menentang wajahku. Mata kami bertaut. Dan aku hanya bisa diam membeku. Ini bukan mimpi, batinku. Ku hela nafas pelan, sebisa mungkin menenangkan diri. Aku tak ingin emosi lama menguasai pertemuan ini.
Semilir dingin angin pegunungan, tak mampu menyapu rona merah di pipiku. Satu persatu kenangan berkelebat, hatiku ngilu, dadaku menggebu dan senyum hangat itu, masih setia bertahan di wajah bulatmu. Aku tak tahu bagaimana caranya menyambut pertemuan ini denganmu. Aku tak tahu. Benar-benar tak tahu.
Sekilas kuperhatikan lagi dirimu, kau masih seperti yang dulu. Tampan bagai malaikat pencabut nyawa dan masih berbahaya seperti setan penunggu neraka. Tapi kini, kau nampak jauh lebih dewasa dengan cambang kehijauan di sekitar bibir tipis merah darahmu. Ketika kulihat bibir merahmu itu, seketika aku tak kuasa untuk menahan nafsu untuk menyentuh dan melumatnya. Lalu kuingatkan diriku kembali, semua sudah berlalu. Air tak akan mengalir di tempat yang sama.
Sengaja, tak langsung ku jawab pertanyaanmu. Aku tak ingin terlihat antusias dengan pertemuan ini, walau aku menunggu pertemuan ini sejak beberapa hari yang lalu. Dalam diam, kucekoki kembali fikiranku dengan kenangan-kenangan pahit tentangmu. Kenangan-kenangan yang lebih menyelekit dari campuran jamu brotowali, isi baterai dan serbuk gergaji. Peristiwa bunuh diriku. Telah kulewati berbagai debatan batin sebelum akhirnya menyetujui tawaranmu untuk bertemu.
Hatiku yang dahulu kau tusuk dengan paku, masih menyisakan lubang yang akan tetap mengangga meski kau telah mencabut pakunya.
“Aku, baik-baik saja,” simpul jawabku. Mengambang. Samar. Sebisa mungkin menggambarkan rasa sakit yang selama ini aku rasakan.
Senyummu yang sedari tadi merekah, kini lenyap. Kau paham dengan nada itu, kau tahu jika aku tak baik-baik saja, sebagai balasan. Hanya tatapan nanar yang nampak di bola matamu. Will, aku merindukanmu, andai aku bisa mengatakan itu padamu. Tapi kutelan kalimat itu sebelum mencelat dari tenggorokan.
Aku mendebat batinku lagi.
“Syukurlah. Aku harap juga begitu,” ucapmu tulus. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan berat dan perlahan, “aku hanya ingin memastikan jika kamu baik-baik saja, Bell. Ada kalanya janji yang telah terucap tak bisa ditarik kembali,”
Bibirku memagut, alis hitam legamku bertaut, menimnag-nimang tujuan dari ucapanmu. Dalam diam aku terus menyimakmu. Masih ada, masih ada yang ingin kau katakan padaku, kataku pada diri sendiri dan kuputuskan untuk diam menunggumu.
“Mungkin kau sudah lupa dengan janji ini,“ katamu pelan seakan tak mau lagi mengenang, “Kamu milikku. Aku milikmu. Hatimu, tubuhmu, keseluruhan dirimu. Tawa, sakit, air mata, amarah, luka, semuanya adalah-”
“-tanggung jawabku,” lanjutku. Aku masih ingat. Masa-masa itu. Kenangan-kenangan itu. Opera sabun itu. Episode masa laluku dengan Willy masih terarsip rapi di sudut hati.
“Kamu masih ingat?” tanyamu bersemangat. Berharap ada keberuntungan masa lalu masih terselip di ujung lidahku.
Tapi, ku jawab dengan sekali anggukan ringan. Mataku menerawang, menelusuk hijaunya dedaunan diantara perbukitan. Aku tak kuat jika harus menatapnya lebih lama lagi.
“Janji-janji itu terus menghantui hidupku, Bell. Entah sampai kapan, tapi tak akan pernah ku tarik apa yang telah terucap.”
Aku tersenyum, tersenyum hambar. Sudah kukantongi arah pembicaraan yang dituju Willy. Kuhela nafas perlahan.
“Jika jani-janji itu menghambat hidupmu, kamu bisa melepaskannya kok Will. Janji-janji itu dibuat oleh bagian diri kita yang dahulu pernah berjaya dalam satu, tapi itu dulu,” sengaja aku beri penekanan di akhir kalimatku, “tidak berlaku sekarang, nanti dan seterusnya. Perasaan itu sudah mengkristal Will. Ada, tapi tak akan pernah kembali. Air tak akan mengalir di tempat yang sama bukan?” kataku pura-pura kuat.
Kutahan benar deru emosi di dalam dada. Ingin rasanya aku mengacak-ngacak rambutmu, menangkupkan telapak tanganku di wajah bulatmu atau sekedar menghabiskan waktu dalam dekapan tubuhmu. Tapi semua itu sudah berlalu, kataku mengingatkan diri sendiri, Bell, itu semua sudah berlalu, nggak bakal bisa balik lagi.
“Aku paham kalau kamu masih sakit gara-gara tingkahku dulu Bell. Aku minta maaf. Aku ngelakuin itu semua karena-“
“-Sudahlah Will,” potongku cepat, ”yang sudah berlalu ya sudah. Biarkan saja dia berlalu. Aku nggak hidup buat masa lalu. Aku sudah ngerti kok, kamu tenang aja. Dari awal aku sudah tahu kalau hubungan seperti itu nggak bakal ada ujungnya. Aku malah ingin berterimakasih sama kamu. Karena kamu berani mengakhiri itu semua.”
Kurasakan luka di sorot matanya. Dadaku mengkerut saat menatapnya sekilas, aku tak tega melihatnya seperti ini. Tapi keputusanku sudah bulat, aku harus menyelesaikan hal ini.
“Lama aku  mikirin hal ini, dan aku rasa itu pilihan yang tepat. Mungkin kalau aku ada di posisi kamu, aku nggak bakalan bisa nglepas kamu,” ungkapku jujur walau pahit. Sekuat hati aku paksakan diri untuk berfikir jernih, ini pertemuan terakhir kami, dan aku tak ingin penyesalan menjadi bayang-bayang di sudut hati, “kamu tetap jadi cinta terindah dalam hidupku kok Will,” kukupas senyum murni untuk pertama kali.
Aku tak ingin pertemuan ini berakhir sendu.
“Sama Bell, kamu juga jadi cinta terindah dalam hidupku” sahutnya dengan ekspresi jenaka, “kamu kuat ya sekarang.” Ujarmu pelan.
“Keras kepala iya,” sahutku cepat. Di susul berondongan tawa ringkas, tanpa tahu apa yang benar-benar lucu dari pembicaraan itu, “ada yang bilang menjadi kuat bukan berarti nggak bisa hancur. Tapi yang aku sadari kalau kekuatanku itu ada pada kemampuanku bangkit setelah berkali-kali jatuh Will,”
Kamu mengangguk perlahan, mengiyakan ucapanku.
“Tapi sesunguhnya aku memiliki kesadaran baru setelah aku berada dititik paling rendah hidupku,” lanjutku cepat. Segumpal duri muncul mendadak di tenggorokanku. Tak ada obat untuk melenyapkan luka masa lalu.
“Dan karena itu kamu berterimakasih sama aku?” kamu memotong ucapanku. Tertawa getir lalu menemukan sorot mataku, “karena aku telah membawamu berada di titik paling rendah hidupmu?” katamu seakan tak percaya. Kau sebar pandangan menerawang hingga akhirnya kau merunduk perlahan.
“Jawabannya iya dan tidak. Tapi, kurang lebih mungkin bisa kamu terjemahkan seperti itu, jika kamu mau,” jawabku pasti, senyum getir menyeruak pelan di sudut wajahku, “hidup indah begini adanyakan?”
“Ya, kamu benar,” kamu mengangguk pelan, “aku setuju sama kamu. Berulang aku berfikir tentang ini semua. Aku juga sadar kalau perasaan ini sudah mengkristal, dan akan kusimpan ini sebagai kenangan terindahku tentang kamu,” senyum tulus kini terpancar di wajah rupawanmu. Hangat yang tidak menyengat, melainkan pas. Tidak berlebih. Dan sumpah demi tuhan, senyum itulah yang membuatku luluh.
Kakiku bergetar hebat, aku hampir tak kuasa menahan kecamuk rasa yang hadir di dalam dada.
“Jadi?” tanyaku mengambang. Kedua alismu terangkat cepat.
“Jadi apanya?” responmu kebingungan.
“Hanya segini sajakah?” tawarku. Aku tahu jika masih ada yang ingin kau katakan lagi padaku.
Kau mengangkat pundakmu, “Entahlah,” sambil tersenyum samar. Menimbang-nimbang banyak hal. “ada kalanya hati berkata cukup Bell, dan kurasa hatiku sudah berkata cukup untuk hari ini. Dosa yang membayang sudah memperoleh penawar,”
Aku diam sejenak, merenung. Ia benar, Willy benar. Ada kalanya hati berkata cukup, dan ini sudah lebih dari cukup. Kulihat Willy sekali lagi, kurekam garis wajahnya. Ini pertemuan terakhir kami. Tak akan ada lagi pertemuan lagi. Semua harus berakhir disini, di tempat ini.
Menit berlalu cepat dalam diam.
“Untuk yang terakhir kali Bell,” katamu berlalu sambil memelukku erat. Perasaan untuk dimiliki kembali membebat. Kenangan masa lalu kembali menguat. Kulawan semua itu, aku tak ingin mengingat, “aku ingin minta maaf buat semuanya Bell. Aku juga ingin kamu tahu, kalau bukan hanya kamu yang hancur karena hubungan itu. Aku juga terpuruk di titik yang sama. Seperti kamu. Aku terluka, kamu terluka. Tapi apa gunanya kita hidup kalau nggak ngalamin luka? Aku sayang kamu Bell. Kemarin, sekarang, besok atau di detik yang barusan lewat. Aku tetap sayang kamu selamanya.”
Dengan sebuah kecupan di jidat, kau melepaskanku. Sejenak aku ingin rengkuhan tubuhmu untuk selamanya melekat.
Sudut mataku memanas, amarah dan asmara yang dahulu membebat kini mencair dan membanjir. Tak berani kubuka kelopak mataku, aku tak ingin melihatmu pergi untuk yang kedua kali.
Semilir angin pegunungan kembali menyapu tubuhku. Indra penciumanku masih menangkap aromamu. Kamu masih disitu, menungguku.
“Menyakitkan Bell,” ucapnya dengan suara bergetar, “ketika kita akhirnya menemukan seseorang yang paling berarti dalam hidup kita, hanya untuk belajar bagaimana cara melepasnya,”
Kubuka mataku perlahan, tubuhmu membayang. Kubiarkan aliran air membanjir, melelehi pipi. Tubuhku koyak. Tak kuat menahan derai emosi.
“Will, bisakah kita melupakan seseorang?” tanyaku sesegukan. Akhirnya aku akui, jika kau masih mendominasi. Kau masih mengisi, masih menetap di hati ini, dan mungkin enggan untuk pergi. Bahkan sampai sekarang aku tak ingin kau pergi.
Aku sadar jika aku sendiri yang membuat diriku seperti ini.
“Nggak Bell. Kita nggak bisa ngelupain seseorang. Yang bisa kita lakukan hanya berusaha untuk tidak mengingatnya lagi.”
Lalu kau berlalu.
Berbalut dengan deru motormu.
Lebih dari setengah jam aku mematung di tempat itu. Dadaku menggelegar, menguarkan beragam perasaan tanpa nama. Ada sesak dan lega yang terus berdesak. Melesak memenuhi rongga dada. Membuat air mataku terus terpompa.
Semua ini telah berakhir. Kataku pada diri sendiri. Semua ini telah berakhir...
Dan aku menangis.
Kembali menangis hebat.
Lebih hebat dari tangis-tangis sebelumnya.
Usai kepergian Willy, aku menyadari satu hal. Jika sebagian diriku tak akan pernah kembali lagi. Sebagian diriku yang dulu hidup dan berjaya untuknya, kini lenyap seiring kepergiannya. Bagian diriku yang dulu mencinta mati-matian untuknya, kini benar-benar telah mati dan terkubur dalam untuknya.
Air mata yang tadinya hadir tanpa suara, kini mulai mendominasi udara. Membasahi pipi, nafasku tersengal-sengal dalam sesegukan. Kubiarkan semua itu terjadi, aku ambruk. Tanganku menopang tubuhku di atas tanah. Untuk yang terakhir kali, aku berjanji pada diriku sendiri.
Ku biarkan desakan perasaan tak bernama itu terus keluar melalui air mata ini.
Untuk yang terakhir kali...


Kisah selanjutnya Klik disini




Daftar lengkap serial Pelepasan


Melajulah "Pelepasan"ku klik disini 

         Pelepasan Remah ke 1 klik disini
         Pelepasan Remah ke 2 Klik disini
Pelepasan Remah ke 3 Klik disini
Pelepasan Remah ke 4 Klik disini
Pelepasan Remah ke 5 Klik disini
Pelepasan Remah ke 6 Klik disini
Pelepasan Remah ke 7 Klik disini
Pelepasan Remah ke 8 Klik disini
Pelepasan Remah ke 9 Klik disini
Pelepasan Remah ke 10 Klik disini
Pelepasan Remah ke 11 Klik disini
Pelepasan Remah ke 12 Klik disini
Pelepasan Remah ke 13 Klik disini
Pelepasan Remah ke 14 Klik disini
Pelepasan Remah ke 15 Klik disini
Pelepasan Remah ke 16 Klik disini
Pelepasan Remah ke 17 Klik disini
Pelepasan Remah ke 18 Klik disini
Pelepasan Remah ke 19 Klik disini
Pelepasan Remah ke 20 Klik disini
Pelepasan Remah ke 21 Klik disini
Pelepasan Remah ke 22 Klik disini
Pelepasan Remah ke 23 Klik disini
Pelepasan Remah ke 24 Klik disini
Pelepasan Remah ke 25 Klik disini
Pelepasan Remah ke 26 Klik disini
Pelepasan Remah ke 27 Klik disini
Pelepasan Remah ke 28 Klik disini
Pelepasan Remah ke 29 Klik disini
Pelepasan Remah ke 30 Klik disini
Pelepasan Remah ke 31 Klik disini

Pelepasan Remah ke 32 Klik disini
Pelepasan Remah ke 33 Klik disini
Pelepasan Remah ke 34 Klik disini
Pelepasan Remah ke 35 Klik disini
Pelepasan Remah ke 36 Klik disini
Pelepasan Remah ke 37 Klik disini
Pelepasan Remah ke 38 Klik disini
Pelepasan Remah ke 39 Klik disini

Pelepasan Remah ke 40 Klik disini

Pelepasan Remah ke 41 Klik disini
Pelepasan Remah ke 42 Klik disini
Pelepasan Remah ke 43 Klik disini
Pelepasan Remah ke 44 Klik disini
Pelepasan Remah ke 45 Klik disini
Tongkat Estafet Kedua Klik disini
14 Fakta Di Balik Serial Pelepasan Klik disini
Untuk "Pelepasanku" Klik disini
Celoteh di balik Pelepasan Klik disini

You Might Also Like

0 komentar: